Ketika Langkah Terhenti

Oleh Restu Maulida

Menyebutkan masa lalu, yang muncul dalam benak adalah kamu dan  setiap sudut kota Bandung yang pernah kita jelajahi dengan tawa dan cinta yang membuncah di dada. Saat itu hanya ada kita dan bunga-bunga yang harumnya setiap hari mewangi. Sempat terlintas, apakah bahagia ini akan selamanya?


“Aku mencintaimu,” ucapmu dengan binar kesungguhan. 

Aku hanya terdiam tak sanggup percaya. Selama ini kalimat itu yang dinanti oleh wanita 25 tahun yang tidak pernah merasa cukup cantik untuk dicintai dan sekarang tiba-tiba ada pria yang serius menyatakan perasaanya. 

Hari-hari selanjutnya adalah hanya bahagia. Dalam hati berkata saat ini adalah episodeku sebagai pemeran utama setelah sebelumnya selalu menjadi figuran dalam kisah-kisah indah adik-adikku saat mereka menikah atau momen-momen menyenangkan teman-temanku saat mereka bercerita tentang kehidupan cinta dan rumah tangga. 

Yang kuingat adalah tatapanmu yang seolah selalu terpesona. Padahal rasanya  tak pernah ada yang menganggap tubuh gemuk dan kulit hitamku menarik. 25 tahun hidup dalam kotak ketidakpercayadirian membentuk persepsi pribadi tentang pesimisme mendapatkan pasangan. Kehadiranmu mengubah segalanya. Dunia yang selama ini selalu suram menjadi penuh warna-warni bunga. 

Satu waktu engkau meraih tanganku. “Mulai sekarang, Mas yang akan memotong kukumu,” Seolah tak peduli dengan rasa malu yang kurasakan saat kuku di jari-jari gemukku engkau potong dengan hati-hati, lalu dikikir pelan-pelan  “Nahh sekarang kuku kakinya!” …

Aku sungguh-sungguh berharap engkaulah yang akan menemani seumur hidupku. Rasanya tak akan sanggup melewati detik tanpa kehadiranmu. Lebay memang tapi seperti yang kuucapkan malu-malu padamu di suatu sore, “Aku mencintai Mas tidak 100 persen … tapi 110 persen!” yang kau balas dengan tawa tergelak sambil mencium keningku gemas.

Kesibukanmu membuat kita tidak bisa bertemu setiap hari. Sering janji menjemput sehabis bekerja batal sehingga aku harus pulang sendiri. Kompensasi, adalah istilahmu untuk menebus janji-janji yang tak bisa ditepati. Akhirnya saat ada waktu bersama engkau pijit-pijit kakiku sambil berkata, “Maaf yaaa kaki yang mesti jalan jauh karena Mas akhir-akhir ini jarang menjemput.” Ya ini adalah kisah nyata bahagiaku.

“Neng, Kangmas selesai tawaf wada. Selama umroh tiap hari depan Multazam berdoa agar kita bisa segera bersama. Tadi salat Jum’at terakhir sebelum pulang, di antara khutbah, Kangmas berdoa agar pernikahanku dengan Maulida binti Sudarya bisa terlaksana dengan lancar.”

Pesan Whatssap terakhir yang ku terima dari kekasih tercinta. Yang tak lama disusul telepon dari keluarganya bahwa dia sudah tiada. Meninggal di bandara saat transit di Malaysia tanpa tanda-tanda sebelumnya. 

Berat Bib… sungguh berat. Duniaku tak sama lagi tanpamu, yaa habiby. Tak dapat diwakilkan oleh kata-kata betapa aku kehilanganmu. Kerlap-kerlip lampu jalan kota Bandung tak seindah saat bersamamu. Aroma hujan sore hari yang engkau sukai itu kini terasa pedih di hatiku.

Langkahku terhenti di sini. 


Photo by Irina on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *