Kasih Ibu Sepanjang Masa

Oleh Wulandari

Pada tahun 1980-an, masa itu adalah masa paling indah bagi keluarga kami juga masa paling sulit. 

Ayahku bekerja disalah satu perusahaan pertambangan di Bangka, tepatnya di PT. UPTB  Belinyu Mantung sebagai salah satu karyawan yang bekerja di bagian laboratorium.

Kala itu aku belum lahir, ibuku baru memiliki tiga orang anak dan tinggal di rumah dinas. Dari gaji yang didapat ayah mampu membeli televisi hitam putih waktu itu stasiun televisi masih TVRI sedangkan stasiun swasta lainnya belum ada sehingga bagi yang ingin menonton Channel lain haruslah menggunakan  parabola, kulkas dan motor.

Pada masa itu memiliki motor  Honda 2-tak, kulkas dan televisi adalah hal yang mahal, bisa dibilang termasuk kelas menengah apalagi jika sampai memiliki mobil dan telepon rumah.

Tapi hal itu tidaklah membuat keluarga kami menjadi sombong, jika orang lain akan menutup pintu rumahnya rapat-rapat agar tetangga atau anak-anak tetangga tidak ikut menonton dari luar. Atau menjadikan televisinya ladang uang untuk mereka yang mau menonton.

Ibuku memilih membuka lebar pintu rumahnya dan membiarkan anak-anak tetangga yang kurang mampu menonton, tidak ada pungutan biaya menonton karena ibuku tahu bagaimana rasanya hidup sengsara. 

Rutinitas yang dijalani ibuku setiap hari seperti ibu rumah tangga lainnya, tidak ada yang istimewa. 


Tapi semua itu tak berlangsung lama, karena setelah PT. UPTB mulai kolaps pihak perusahaan memilih melakukan phk dan ayah juga menjadi salah satu karyawan yang di phk.

Kehilangan pekerjaan membuat ayah harus merelakan rumah yang ditempati. Sejak saat itu keluarga kami pindah dari rumah dinas, televisi dan parabola dijual untuk membantu biaya sekolah saudara-saudaraku dan yang tersisa  adalah motor Honda. 

Meski ayah mendapat uang pesangon uang tersebut tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan sekolah enam orang anak, belum lagi kebutuhan makan sehari-hari. Lagi pula waktu itu sebagian dari uang pesangon digunakan untuk membangun rumah di tanah warisan ibu.

Akhirnya ibu dan ayah memilih tinggal di kebun yang jauh dari pemukiman warga, memilih menjadi petani sayur mayur menjauh dari hiruk pikuk keramaian. 

Ibuku akan menjual hasil panen ke pasar dan terkadang menjual ikan milik kerabat. Sedangkan ayah memilih menjaga saudara-saudaraku yang masih kecil. 

Tugas mencari nafkah kini beralih pada punggung ibuku, baginya tak mengapa harus bekerja banting tulang mencari sesuap nasi asal kebutuhan makan dan biaya sekolah anak-anak terpenuhi. 

Harus terbangun di pagi buta dikala semua orang masih terlelap dalam mimpi, ibu sudah menyiapkan dagangan untuk dijual. 

Terkadang ibu akan pergi ke desa-desa sebelah mencari  hasil panen jika sayur mayur yang ditanam di kebun tidak mencukupi untuk dijual. 

Terkadang ibu menggunakan sistem barter dengan petani di sana, ibu akan membawa pakaian baru, alat masak dan sembako yang bisa ditukar dengan hasil panen mereka. Ibu bilang orang-orang di desa itu senang karena hasil panen yang dibeli tidak merugikan mereka. Tak jarang ibu pulang membawa ayam dan makanan dari petani yang merasa banyak dibantu oleh ibu.

Ibu selalu mengajarkan untuk berdagang secara jujur, jika berhubungan dengan timbangan haruslah panas dalam artian berat timbangan tidak boleh kurang, harus pas dan kalau bisa lebihkan beberapa gram.

TBC


Photo by dylan nolte on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *