Oleh Cicih M Rubii
“Berhenti, Bang!”
Begitu roda angkot berhenti, aku segera turun. Uang receh kuserahkan melalui jendela pintu depan. Seorang bapak yang duduk di bangku depan terbatuk-batuk menghirup asap rokoknya sendiri. Aku hanya membuang muka. Jengah.
“Ojek, Neng!”
“Becak, Neng!”
Semua tawaran itu kuabaikan. Aku hanya menggeleng sambil tertunduk.
Bergegas berjalan menyusuri jalan beraspal. Masih ada 600m lagi menuju gerbang sekolah. Aku harus cepat, jika tidak mau gerbang ditutup. Kuangkat sedikit rok abu-abu panjang yang kukenakan, aku percepat langkah.
Dari kejauhan terdengar bunyi bel. Penjaga sekolah sudah berdiri di depan gerbang. Aku berlari lebih cepat.
“Tunggu, Pak!” ujarku ngos-ngosan.
Tas hitam kuletakkan begitu saja depan kelas. Lalu segera bergabung menuju lapangan upacara.
Aku mengikuti upacara dengan hati gamang. Hari ini hari pertama Ulangan. Tapi aku belum memegang kartu ujian.
“Rubii, bayar SPP nanti, ya! Ibu belum ada uang,” ucap ibuku tadi malam.
Aku hanya mengangguk. Tak mungkin memaksakan keadaan.
“Setelah ini, kalian masuk ke ruang ujian masing-masing sesuai kartu ujian. Bapak sudah membagi acak, kelas 1 bisa saja gabung dengan kelas 3,” intruksi kepala sekolah membuyarkan lamunan.
DEG!!
“Gawat. Kok kelasnya diacak?” ujarku panik.
Beberapa siswa terlihat bergerombol di depan kantor TU untuk meminta kartu ujian. Menghadap kepala sekolah membuat perjanjian pelunasan.
Duh, harus bagaimana ini? Ikut antri mengambil kartu ujian sekarang, atau nanti saat istirahat? tanyaku diliputi ragu.
Waktu semakin siang. Aku hanya mematung, menatap mereka dengan bingung.
Jika harus antri dulu, bisa-bisa aku tak ikut ulangan jam pertama. Bakal repot lagi urusan, batinku masygul.
Aku mengintip sebuah kelas. Bertuliskan ‘Ruang 2B’. Ada beberapa teman sekelasku duduk di sana. Sebagian lagi kakak kelas. Ada 2 bangku kosong, di depan dan di tengah.
Aku memantapkan hati untuk masuk. Aku duduk di bangku tengah yang kosong.
“Hei, kamu seruangan denganku?” tanya Sofa tersenyum.
Aku mengangguk dan membalas senyuman Sofa. Lalu menunduk dan pura-pura sibuk menyiapkan alat tulis.
Tak berapa lama kemudian, pengawas ujian masuk. Bu Sumi, guru Matematika yang terkenal killer.
Kelas seketika sepi. Hatiku berdetak sangat cepat. Suara detak jam dinding seperti bunyi petasan yang menggelegar di telingaku.
Duh, bagaimana jika ada pemeriksaan? Bagaimana jika ada yang datang membawa kartu dan mengusirku? batinku kalut.
Mataku bersiborok dengan pandangan Bu Sumi. Aku mengangguk hormat. Bu Sumi mengalihkan pandangan lalu melanjutkan langkahnya ke belakang.
Aku mengerjakan soal ulangan dengan cepat. Bersyukur tak ada pemeriksaan kartu. Taka da yang datang menggusur posisiku. Semua aman.
Setelah selesai mengerjakan, aku keluar kelas dan langsung menuju ruang TU. Keadaan sudah sepi. Dengan mudah aku bisa mendapat kartu ujian.
“Oh, Ruang 2A ternyata!” ucapku lega.
Dengan langkah ringan, aku masuk ke ruang 2A. Ini ruang ujianku yang sebenarnya.
“Semoga saja pengawasnya bukan bu Sumi. Bakal repot kalau ketahuan” gumamku agak cemas.
Driiiiiiiiing…!
Bel berbunyi, kami segera menata diri di bangku masing-masing. Semua bangku terisi.
Beberapa saat kemudian pengawas masuk dengan langkah berwibawa. Di tangannya satu kantong berkas ujian.
“Ha…? Bu Sumi?” Mataku mendelik tak percaya. Apa yang kutakutkan menjadi nyata.
“Rubii, kamu kok di sini?” tanya bu Sumi memandangku penuh selidik.
“Sini kamu, ke depan!” perintahnya menggelegar.
Seketika kakiku gemetar. Jantungku seakan berhenti berdetak. Wajahku memucat.
Terbayang di mataku hukuman dari Bu Sumi, dikeluarkan dari kelas atau berdiri di depan kelas.
“I-Iya buu!” ucapku gugup.
Tak ada pilihan lain aku harus ke depan. Mempertanggungjawabkan semua yang kulakukan tadi pagi.
Mata Bu Sumi tak lepas, seakan menelanjangi seluruh tubuhku. Aku lemas, tak kuat menapakkan kaki.
“Bagikan kertas ulangan ini. Ibu mau ke toilet” perintah bu Sumi. Lalu terburu-buru berlalu mennggalkan kelas.
Aku berpegangan ke bangku di depanku, mataku berkunang-kunang.
Terbayang wajah ibu yang teduh. Pasti sedang memanjatkan doa, untukku.
TAMAT
Photo by Siora Photography on Unsplash