Oleh: Tyasya
Ini adalah ceritaku tentang masa lalu. Tepatnya saat aku masih sekolah jenjang SD. Aku masuk SD saat berusia kurang dari tujuh tahun. Kok bisa? Ya, jaman dulu tidak ada batasan usia masuk SD. Pun juga tidak ada syarat harus bisa membaca dan berhitung. Benar-benar baru belajar ya, di kelas 1. Awalnya aku semacam “dititip” saja oleh Ibu. Jika memang tidak bisa mengikuti pelajaran maka aku akan kembali ke TK. Menurut kalian, aku lanjut atau balik TK?
Seratus untuk yang jawab lanjut. Alhamdulillah Allah berikan kemudahan. Aku bisa mengikuti pembelajaran dengan cukup baik. Bahkan bisa mendapatkan peringkat satu di kelas. Oiya, aku lupa memberitahu kalian sesuatu. Ibuku adalah salah satu guru di sekolah itu. Jadi, saat aku masuk kelas 1 SD, Ibuku ngajar kelas 6. Awalnya aku merasa biasa saja meskipun satu sekolah dengan Ibu.
Sewaktu kelas 3 SD, aku sempat tidak masuk beberapa hari menjelang ujian karena sakit cacar. Kalian tahu sendiri kalau sakit cacar itu tidak boleh terkena angin. Ya sudahlah aku di rumah saja. Alhamdulillah saat ujian tiba, aku sudah sembuh dan bisa mengikutinya. Namun, hasilnya tidak sebagus biasanya. Mungkin efek sakit jadi belajarnya tidak maksimal.
“Nak, hasilnya tidak seperti yang Ibu harapkan. Kenapa?” tanya Ibu Wali Kelas.
“Mungkin saya belajarnya kurang maksimal, Bu,” jawabku.
“Kemarin ada materi terakhir yang kamu tidak masuk, Ibu titipkan Imah. Udah diberikan tapi, kan?” tanya Ibu Wali Kelas.
“Materi apa ya, Bu?” Aku balik bertanya.
“Ooh mungkin Imah lupa. Ya sudah, semester depan belajar lagi yang lebih giat,” kata Ibu Wali Kelas.
Aku juga berpikir sama, mungkin Imah lupa. Tidak pernah terbesit dalam pikiran kalau ada yang tidak ingin aku berhasil. Akan tetapi, sewaktu aku kelas 5 SD, ada hal yang membuatku sedih. Kala itu, aku tidak sengaja mendengar beberapa orang memperbincangkan tentangku.
“Halah, Tya dapat peringkat paling gara-gara Ibunya guru di sini,” ucap Imah.
Deg!
Aku jujur sangat kaget ada yang berpikiran picik seperti itu. Demi Allah selama ini aku belajar sendiri, tidak pernah Ibu memberikan bocoran soal dan semacamnya agar nilaiku bagus. Peringkatku juga tidak selalu nomor 1, ada kalanya turun dapat nomor 2. Aku pun biasa saja. Perbincangan itu aku pendam sendiri, aku tidak mau Ibu sedih. Hal itu menjadi semacam pelecut semangat untukku lebih berprestasi.
Saat aku naik kelas 6, Ibu memilih untuk turun kelas. Mungkin saja Ibu menyadari perbincangan negatif di belakang, tapi aku tidak mau membahasnya. Aku fokus belajar untuk Ujian Nasional. Aku ingin buktikan kalaupun nilaiku bagus, itu hasil jerih payah sendiri. Bukan karena campur tangan Ibu.
Alhamdulillah meski tidak mendapatkan nilai UN tertinggi, tapi aku bisa masuk SMP favorit di Ibu Kota Kabupaten sana. Selama SMP juga aku tetap bisa mendapatkan peringkat kelas, meski tidak selalu nomor satu. Lihat, kalian yang berpikiran negatif tentang nilaiku selama ini, aku bisa kan? Meski tidak ada Ibuku di sekolah ini, aku bisa berprestasi. Kalian mau bilang apa sekarang?
Aku bangga jadi anak seorang guru, dan Ibuku tidak pernah mengajarkan untuk curang. So, wake up man. I do it by my self.
Photo by Jon Flobrant on Unsplash