Oleh Siti Atikah (Atik)
Suatu pagi, pada hari Minggu di awal bulan, aku bangun tidur kesiangan karena pulang larut malam setelah kondangan ke salah satu rekan kerja dan lanjut kumpul dengan teman-teman kerja pula. Untunglah aku sedang dapat “jatah bulanan” sehingga tak apalah sesekali bangun siang, hehehehe. Adikku yang berusia hanya terpaut dua tahun dariku pagi itu memulai obrolan tentang perjalanan dia kondangan juga sehari sebelumnya ke Bekasi. Singkat kata, ternyata baik aku ataupun dia, dan pastinya setiap orang memiliki masalahnya sendiri. Misalnya merasa tidak dianggap oleh rekan kerja, seperti yang aku dan adikku ternyata sedang alami kala itu. Yaah, namanya hidup. Nggak semua orang suka dengan kita, kan. Jadi, hadapi ajalah, yang penting tetap bekerja dengan baik. Begitu kalimat yang diucapkan adikku pagi itu saat membuka obrolan kami.
Entah mengapa, obrolan pagi itu malah membawa kenanganku tentang hidup di kos-kosan semasa kuliah hingga awal bekerja sekitar 20 tahun yang lalu. Aku yang kuliah di UIN Jakarta pada tahun 2000an dari awal masuk kampus hingga wisuda tak pernah pindah kosan. Dua tahun pertama aku kos bergabung satu rumah dengan keluarga pemilik kos berdarah Minang, yaitu Ibu dan Pak Muzahar, yang memiliki 4 anak perempuan: Uni Mitha, Uni Iin, Yuyun, dan Lely. Aku dan 4 penghuni lain tinggal di lantai 2 rumah Keluarga Muzahar. Ada 3 kamar di atas. Aku satu kamar dengan Desy dan Kak Icun. Lalu ada Tety dan Anita yang kukenal di kegiatan Propesa (program pengenalan mahasiswa) ikut kos di kamar sebelahku. Sementara, satu kamar lagi adalah kamar Yuyun dan Lely, anak dari Keluarga Muzahar. Yuyun juga kuliah tahun pertama di kampus yang sama dengan kami saat itu.
Dengan tinggal satu rumah dengan pemilik kos, aku menjadi akrab dengan keluarga Muzahar. Ikut menonton dan tertawa bersama. Sering ikut mencicipi berbagai masakan Minang yang lezat buatan Ibu. Mendengar kisah yang dituturkan oleh Bapak, Ibu, dan anak-anaknya. Bahkan aku dan teman-teman pernah 2 atau 3 hari dititipkan rumah itu karena mereka sekeluarga ada acara di luar kota.
“Tik, Des, Ibu titip rumah, ya… Tolong jaga, jangan bukain pintu buat orang ngga dikenal.” Ucap Ibu kepadaku dan Desy.
Deg-degan, sumpah, deh. Khawatir ada kejadian tak diinginkan. Syukurlah, semua aman terkendali. Meskipun demikian, akhirnya pada tahun ketiga aku dan Desy memilih pindah turun ke kontrakan persis di belakang rumah keluarga ini, yang juga merupakan bagian dari kosan-kosan Keluarga Muzahar.
“Tik, Kakak sama Kak Tina akhir semester ini lulus. Kamu sama Desy mau gantiin tempat Kakak di bawah?” tanya salah satu penghuni tersebut saat aku sedang duduk di pinggir jendela lantai dua pada suatu sore.
Maka dengan sigap kujawab, “Iya, Kak. Mau! Nanti aku bilang ke Ibu, ya, kalo kami pindah ke situ gantiin tempat Kakak.”
Di belakang rumahnya, keluarga Muzahar memiliki 3 kontrakan. Saat pindah ke bawah, aku tinggal satu rumah bersama 8 penghuni lainnya. Sementara Desy di kontrakan sebelah bersama 4 penghuni lainnya. Kontrakan yang paling pojok dihuni oleh pasangan muda dari Malaysia, Kak Abu dan Kak Hawa bersama dengan 4 anaknya yang lucu-lucu. Ramai dan riuh setiap hari.
Penghuni kos-kosan itu setiap tahun sering berganti, hanya aku dan Desy yang menjadi penghuni setia hingga kami wisuda.
“Atik, Desy, kalian berdua mah bakal jadi penghuni abadi kosan Muzahar, nih!” canda Uni Mitha suatu kali menggoda kami.
“Jangan salah, Ni. Gue baru keluar kosan ini sampe nanti gue nikah sama Om An!” Jawab Desy yang super konyol menggulirkan canda bahwa dia akan menikah dengan Om An, adik sepupu dari Ibu Muzahar.
Diantara kenangan yang tak terlupakan di kosan adalah ketika tahun terakhir aku menjalani masa kuliah. Saat itu aku, Desy, Lula, Titin, Marlina, Yanti, dan Nita sering kali membuat kisah karena kekonyolan kami masing-masing.
Dimulai dari Desy, sahabatku sejak Aliyah, memiliki postur paling besar di antara kami. Jika sedang usil, ia sering kali melakukan jepit ala taekwondo kepada seluruh penghuni kosan yang menertawakan keapesannya mengejar cinta atau kepedeannya saat berjoget dangdut dan India.
“Ampuun Desy, badan seksi gue remek dah di-smackdown loe!” teriak Titin yang paling sering terkena jurus Desy akibat sering menggoda Desy.
Titin adalah cewek berdarah Karawang yang sering kami panggil “Emak” karena kerempongan dan kehebohannya pada setiap lini kehidupannya di kosan. Yang paling seru adalah kejadian pada suatu Subuh saat ia hendak mengantar adiknya tes ujian masuk STT Telkom di GBK sementara saat itu mati lampu.
“Aduuuh, ini teh udah jam berapa coba. Pake mati lampu, jadi ngga keliatan. Atiiiik, tolong dong, mana bedak gue, manaaaaa! Desiii, coba itu sepatu gue tadi di sini kemana, ya…. Tolong bantu cariin Pliiis….” Semua orang dibuat rempong dengan segala persiapannya. Emak…. Emak….
Kemudian ada Nita, mahasiswi Syariah Perbankan Islam yang kelihatannya serius dan judes, ternyata koplak bin konyol dalam setiap kata dan ucapannya selama di kosan. Sementara Yanti, yang merupakan adik kelas satu fakultas dengannya, seringkali menjadi korban tertawa sampai sakit perut menghadapi tingkah polahnya. Seperti saat Nita berpura-pura menjadi presenter gosip mewawancarai Yanti yang berperan menjadi artis, Yanti tak bisa menahan tawa dan sakit perut melihat wajah dan komentar konyol Nita. Sampai-sampai Nita pun melakukan adegan kepret-kepret air seakan Yanti kesurupan yang malah menambah gelak tawa kami yang menikmati kekonyolan mereka.
“Mba Zaskia, kok dari tadi ditanya senyum-senyum aja? Mba, Mba, kenapa Mba? Waaah kesurupan nih. Aer… Aer… mana Aer?” Ucap Anita dengan gaya ala presenter plus dukun abal-abal yang tengah mewawancarai Yanti yang berperan menjadi Zaskia A. Mecca.
Lalu ada Lula, sahabatku satu kelas dan satu jurusan di kampus yang berdarah Sukabumi ini sering dianggap saudara kembarku. Kami berdua berbagi kisah cinta, baik yang sampai maupun tak sampai, cinta monyet ala mahasiswa. Di kosan, ia dianggap “Teteh” bagi para penghuni kosan karena ia paling sering menjadi pendengar setia dan ikut tertawa geli saja melihat kekonyolan yang lain. Meskipun begitu, Lula termasuk yang paling cepat meneteskan air mata.
“Aaaah, tuh kan, rembes deh, nih. Iiih ngga demen deh kaya’ gini,” ucapnya setiap nonton sinetron Cinta Fitri atau kebablasan baper karena masalah pribadi. Hehehehe.
Tak lupa ada Ayang, gadis tajir melintir dari tanah Maja, Kabupaten Tangerang, namun sama sekali tak pernah menunjukkan ketajirannya. Ia selalu saja tak pernah bisa menahan tawanya yang meledak-ledak setiap melihat kekonyolan yang dilakukan Nita, Desy, atau siapapun yang muncul di hadapannya. Bahkan, karena ledakan tawanya yang paling terdengar saat kami mengomentari semua orang ketika menonton acara di salah satu TV swasta, Ayanglah yang apes terkena omelan Yuyun, anak Ibu Muzahar, menegur supaya tidak berisik karena sudah larut malam. Untungnya saat itu, aku, Desy, Lula, dan Titin, yang terbilang paling tua umurnya di kosan, sudah ada di kamar ketika Yuyun datang menegur. Hahahahahha.
Terakhir adalah Marlina, yang sering kami panggil “Tante” karena kemiripan wajahnya dengan Desy. Namun, sikapnya yang kalem dan senyum-senyum melihat tingkah Desy dan yang lainnya menjadi penyeimbang bagi suasana yang riuh gegap gempita di kosan itu.
“Dengerin Tante, ya, anak-anak. Jangan ikutin Desy. Dia ini emang kecentilan.” Canda Marlina suatu hari ketika bergaya sedang menasihati anak-anak kosan yang langsung disambut jurus smackdown oleh Desy. Hehehehehe
Kini, kami semua tinggal di kota yang berbeda. Bahkan Marlina pulang ke kampung halamannya di Lampung. Begitupun dengan Titin yang juga berdomisili di Karawang. Yanti sudah setahun lebih tinggal di Jepang karena suaminya bekerja di sana. Sesekali paling hanya aku yang bisa menyambangi Nita, Desy, dan Lula karena masih di daerah Jabodetabek, meskipun sejak pandemi ini absen kulakukan. Aku termasuk orang yang percaya bahwa silaturahmi dapat memperpanjang rezeki. Jadi, tiap kali ada kesempatan, maka aku selalu berusaha keliling menyambangi satu persatu sahabat-sahabatku.
Untuk melepas kangen, beberapa waktu lalu Titin pun membuat WhatsApp group buat kami. Meski tidak terlalu ramai WhatsApp group ini karena kesibukan kami dengan pekerjaan dan anak-anak kami saat ini, namun sapa-menyapa masih selalu ada demi melepas kangen dan berbagi tawa. Bersama mereka pun kini kudapatkan semangat dan dukungan meski hanya lewat pesan WhatsApp demi melalui kehidupan baruku sebagai single mom yang tak pernah aku atau mereka duga sebelumnya.
Kembali lagi ke obrolanku pagi itu dengan adikku, yang juga kebetulan pernah satu kosan dengan mereka semua. Ia melanjutkan pernyataannya padaku, “Mba, semakin bertambahnya usia kita, maka hendaklah kita pun dewasa dalam menghadapi berbagai situasi. Jika di lingkungan kerja ada yang tak menganggap kita berarti, tak mau berteman dengan kita, ya udah, biarin aja. Yang penting, tetaplah bekerja dengan baik dan berbuat baik dengan sesama.”
Aaaah… just that simple sebenarnya. Saat merasa tak dianggap di lingkungan kerja atau bahkan dijauhi, maka tak perlu misuh-misuh. Mungkin memang ada yang perlu kita perbaiki dan kita juga tak bisa memaksa semua orang untuk menyukai kita, kan… Maka, tetaplah berbuat baik. Saat merasa sendiri, ingatlah bahwa Allah tak pernah membiarkan kita sendiri. Penjahat aja tetap ada temannya. Masa’ sih kita, ngga? Ya, kan? Maka, lagi-lagi aku pun bersyukur dengan segala kondisiku saat ini dan berusaha terus menjaga silaturahmi dengan sahabat-sahabat lama, seperti Titin dan kawan-kawan kosan yang takkan terlupa. 🤗
6 Juli 2021
Hari Ke-1, Lock Down Writing Challenge, Books4care, Kinaraya.com
#atikberbagikisah
IG : atikcantik07
Photo by Trong Truong on Unsplash