Gara-Gara Kembar

Oleh Etika Aisya Avicenna

Setiap masa pasti memiiki cerita tak terlupa, termasuk kisah di masa kecil yang penuh kenangan saat muncul kembali dalam ingatan. Saya terlahir kembar di Wonogiri, sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Tempat kelahiran saya itu terkenal dengan bakso, jamu, dan nasi thiwul (nasi yang terbuat dari singkong). Keluarga besar tak menyangka kalau ibu saya hamil anak kembar karena setelah ditelusur, kami tidak memiliki garis keturunan kembar.

Kelahiran saya dan Norma, saudari kembar saya, disambut dengan penuh suka cita. Bahkan Babe (panggilan sayang untuk almarhum ayah saya), hampir pingsan ketika melihat dua putrinya saat baru lahir. Kakak sulung saya, Mas Dhody, yang waktu itu masih berusia 5 tahun mendadak jadi over protective ketika ada tetangga maupun keluarga datang menjenguk kedua adik kembarnya. Dia berusaha menghalangi, tak ingin kedua adik kesayangannya diambil orang.

Sedari bayi, saya dan Norma selalu memakai baju yang sama atau sewarna sehingga setiap bertemu dengan orang di luar rumah, sudah bisa dipastikan kami akan menarik perhatian. Tak jarang orang-orang akan mendekati dan berkata, “Ih, nggemesin.” Kalau beda warna baju, biasanya saya memakai warna merah sedangkan Norma hijau. Hal inilah yang membuat saya sekarang sangat menyukai warna merah dan Norma menjadikan warna hijau sebagai warna favoritnya.

Sejak TK, kami berdua sudah dilatih untuk mandiri bahkan sudah bisa memasak sendiri, minimal mi instan atau merebus air. Setiap ke sekolah seringnya jalan kaki berdua dari rumah karena lokasi sekolah juga tak begitu jauh, hanya sekitar 150 meter. Kami begitu kompak setelah memasuki usia sekolah, tidak pernah bertengkar seperti saat masih balita yang sering saling lempar botol susu.

Salah satu momen tak terlupakan saat masih TK adalah ketika pemotretan untuk rapor. Waktu itu fotografernya tidak tahu kalau saya dan Norma kembar. Norma difoto dua kali dan saya belum difoto. Karena kurang tahu, saat selesai pemotretan saya baru lapor ke guru kalau belum difoto. Sontak guru pun tertawa. Keesokan harinya fotografer datang ke rumah kami untuk foto ulang. Ternyata sang fotografer adalah sahabat dekat Babe. Akhirnya saya difoto di studio dadakan yang terletak di samping rumah. 

Gara-gara kembar, kami juga sering menjadi pengiring pengantin. Dalam tradisi pernikahan adat Jawa, diistilahkan dengan “patah sakembaran”. Biasanya kami membawa kipas kecil, berjalan di depan kedua mempelai, lalu duduk di sisi kanan dan kiri pengantin tersebut. Saat pengantin bersanding di kursi pelaminan, kami pun melaksanakan tugas mengipasi mereka meski hanya sesekali. 

Entah sudah berapa puluh pasang pengantin yang mendaulat kami menjadi “patah sakembaran” karena kami kembar jadi benar-benar unik dan menjadi momen penuh kenangan buat sang pengantin. Bahkan ada sepasang pengantin yang rela mengulur acara resepsinya karena menunggu kami selesai sekolah. Oh iya, tak jarang kami diberi amplop berisi uang dari pengantinnya sebagai tanda terima kasih. Lumayan sebagai tambahan uang saku atau tabungan.

Menjadi anak kembar itu asyik. Alhamdulillah, saya sangat bersyukur terlahir kembar. 


Etika Aisya Avicenna

Terlahir kembar pada 2 Februari. Saat ini berprofesi sebagai statistisi (ASN). Senang membaca, menulis, jualan online di @supertwinshop, dan jalan-jalan. Ada puluhan karya anggota FLP DKI Jakarta ini yang sudah diterbitkan baik solo, duet, maupun antologi, seperti: “The Secret of Shalihah”, “Diary Ramadhan”, “Dongeng Nyentrik Alesha”, dan lainnya. IG:  @aisyaavicenna 


Photo by Gabriel Crismariu on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *