Cerpen Lia Nathalia: Merindu Laksmi

I know I laughed when you left. But now I know, I only hurt myself…” suara melengking Sam Cooke, seirama dengan not-not tinggi, masih mengalun. Sam dengan penjiwaan yang penuh penyesalan, mengiba-iba meminta kekasihnya kembali.

Penyesalan itu selalu datang belakangan, karena kalau duluan, namanya registrasi.

Entah sudah berapa kali nada-nada Bring It On Home To Me itu diputar berulang kali via aplikasi online, sambal pelan-pelan kopi hitam pekat, tanpa gula kuseruput sedikit demi sedikit.

Entah sudah berapa batang rokok habis, tanpa kusadari, tapi boro-boro inspirasi, untuk konsentrasi saja aku sudah berjam-jam berusaha tapi belum berhasil jua.

“Sialan, lagu ini membuat konsetrasiku buyar,” gerutuku dalam hati. Lebih sial lagi, senyuman Laksmi makin membuatku salah tingkah. 

“Amit-amit, jangan sampai aku jatuh hati dengan orang seperti itu. Jauh-jauh deh,” sesumbarku dengan dada terbusung. Iyalah, mana mungkin bisa aku jatuh cinta pada perempuan tak sopan dan berpenampilan biasa-biasa saja kalau tidak ingin disebut kurang.

Aku adalah salah satu cowok ganteng sefakultas, bahkan mungkin sekampus. Cewek yang ingin kupacari tentu saja yang cantik, cerdas dan kalau bisa dari keluarga yang setaralah dengan keluargaku. 

“Ngaku sajalah Gus, kalian pacaran kan?” tanya Peter dan Norman hamper berbarengan, yang tentu jawab tidak dengan tegas.

Bunga, adik perempuanku, juga sibuk mengatur bagaimana aku bisa selalu bertemu perempuan itu. Ada saja alasan Bunga, kadang minta diajari sesuatu atau mengajak main ke rumah kami karena dia memasak makanan istimewa. 

Di depan semua orang aku membantah habis-habisan soal hubungan spesial dengan Laksmi. Namanya memang mirip istri Dewa Wisnu dalam pewayangan dalam segi keimanan, kebijaksanaan, tapi dari segi tampilan fisik, layaknya sejauh bumi dari langit bedanya dengan penggambaran Dewi Laksmi, dewi kesuburan dan  kecantikan. Kalau soal keberuntungan, aku pun kurang paham nasibnya.

Tapi semakin aku membantah, aku makin tertarik mengenal Laksmi. Hanya sekedar cari tahu, karena menurut kabar, Laksmi tak mudah didekati secara pribadi.

Dia termasuk berotak encer dan kalau soal belajar, memang lebih enak satu kelompok dengan Laksmi, Peter dan Norman karena masing-masing punya kelebihan dalam berbagai mata kuliah. 

Memang perempuan itu menonjol, lebih tepatnya mendominasi kami anggota kelompok lain. Peter dan Norman tak berkutik kalau Laksmi sudah punya mau. Aku yang selalu coba mendebat, akhirnya kalah juga. Tapi mungkin karena itu pula, lama-lama aku makin senang berdiskusi dengannya. 

Singkatnya, entah bagaimana awalnya, kami sepakat untuk pacaran. Kadung malu dengan kata-kataku sebelumnya, aku makin kencang membantah isu kedekatan kami. Tak kusadari, Laksmi terluka.

“Suatu hari kau akan menyadari bahwa kau sangat mencintaiku, tapi pada waktu itu, segalanya sudah tak mungkin lagi,” kata Laksmi menahan kesedihannya.

Dengan pongahnya aku berpikir, tak mungkinlah Laksmi menolakku sampai kapanpun. “Siapa yang mau dengan perempuan keras kepala seperti dia?” batinku.

Hari ini, kuakui Laksmi menang lagi. Aku masih merindukan senyumnya, perdebatan dengannya, ketika dia tak mungkin ada bersamaku. 

“Apakah mungkin kau kembali membawa cintamu untukku?” tanyaku dalam diam.


Photo by Giorgio Trovato on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *