Oleh Iecha
“Kamu pikir kamu siapa, berani suruh-suruh adikku?!”
Aku menunduk khidmat, tidak berani menatap orang yang berdiri dua anak tangga di atasku. Suaranya menggelegar, memenuhi lantai-lantai asrama. Lewat sudut mata, aku bisa melihat kaki-kaki lain yag berdiri tegak, yang barisannya semakin rapat.
“Lihat, ‘kan? Karena kamu suruh, dia jadi pecahin gelas. Kamu mau tanggung jawab kalau dia kenapa-napa?”
Tatapanku mengikuti arah tangannya. Di sana ada seorang lagi—teman sekamarku—yang menangis sambil memunguti pecahan gelas. Sebuah baskom berisi penuh piring dan gelas bersih tergeletak di lantai.
“Ayo, sekarang minta maaf ke Ria!”
Hampir saja aku mendengus jika tidak ingat Kak Husna—orang yang marah-marah itu—kakak kelasku. Kepalaku mendadak pening. Entah apa yang diucapkan Ria pada kakaknya, hingga aku harus meminta maaf.
Di kamar kami sudah ada pengaturan piket. Setiap hari dua orang. Aku mendapat jadwal bersama Ria. Kak Lita, ketua kamarku, menyarankan agar semua tugas piket dikerjakan bersama. Namun, jika tidak memungkinkan, bisa dibagi. Misalnya, aku piket siang dan Ria piket malam. Atau, aku menyapu dan mengepel sementara Ria cuci piring.
Hari ini, aku piket siang karena Ria ada kegiatan. Harusnya malam ini Ria mengerjakan semua tugas piket sendiri, tapi aku membantunya menyapu dan mengepel kamar. Ria hanya harus cuci piring dan gelas. Lalu, gelasnya jatuh dan aku disalahkan?
Lagipula, kenapa sih,, dia cuci piring di lantai bawah? Di pojok lantai tiga ‘kan juga ada tempat cuci piring. Apa dia sengaja mampir ke kamar Kak Husna di lantai dua, lalu curhat karena merasa aku zholimi?
“Nggak mau minta maaf?”
Telingaku menangkap suara dengungan dari para penonton. Entah mereka berpihak ke siapa. Namun, jika melihat posisi kami saat ini—juga ocehan Kak Husna—aku penjahatnya. Berharap Kak Lita muncul untuk menjelaskan duduk masalahnya pun percuma. Dia sedang ada rapat panitia perkemahan.
“Maaf,” ucapku, lirih.
“Bawa baskomnya ke kamar!”
Kakiku melangkah menghampiri Ria yang masih terisak di ujung tangga. Tanpa bicara, aku angkat baskom yang tidak seberapa berat itu naik ke kamar. Aku tidak peduli seperti apa Ria selanjutnya. Membujuknya agar berhenti terisak saja aku enggan. Sejujurnya, aku kesal karena tiba-tiba mendapat caci maki dari Kak Husna.
Penonton yang memludak memberiku jalan untuk naik. Dengungan mereka masih terdengar. Aku tidak ingin peduli. Pun, dengan tatapan mereka. Aku hanya ingin secepatnya tiba di kamarku dan meluapkan semua kekesalan sendiri.
Lila, Rani, Mina, Kiya, dan Rahma duduk mengerubung di kasur Kak Lita, di sudut kamar saat aku masuk. Mereka mungkin tidak ikut keluar, tapi pasti mendengar makian Kak Husna. Mereka terkikik sambil cepat-cepat menyembunyikan sesuatu yang aku tidak tahu itu apa. Ria masuk, tepat saat aku selesai menaruh baskom berisi piring di sudut kamar.
Mengabaikan dengungan mereka, aku lekas menaiki tangga tempat tidur. Kasurku ada di posisi atas dari ranjang tingkat ini. Rani di bawahku. Meski begitu, aku tidak terlalu akrab dengannya. Beberapa kali aku memergokinya mengintip dari ujung ranjang saat aku menulis diary.
Tubuhku terempas di kasur. Kegiatanku seharian benar-benar menguras energi. Masih juga ditambah ocehan Kak Husna. Lelah lahir batin. Muncul sesal dalam hati karena sudah memilih sekolah berasrama ini sebagai tempat melanjutkan pendidikan menengah. Baru dua bulan di sini sudah banyak hal tidak mengenakkan yang aku alami.
Selama dua bulan itu, semua cerita aku tuliskan dalam diary bergembok. Hanya dia teman ceritaku. Aku tidak terlalu dekat dengan teman-teman karena mereka berasal dari kelas ekonomi yang berbeda denganku. Dan, yah, jangan lupakan kalau mereka juga sumber masalahku di sini. Bagaimana mungkin aku bercerita pada sumber masalah, ‘kan?
Tanganku meraba bawah bantal, mencari diary-ku dan sebatang ballpoint yang biasa aku letakkan di situ. Beberapa detik aku terkesiap. Benda itu tidak ada di sana! Hanya ada ballpoint dan gembok diary-ku. Ke mana buku pink yang nyaris penuh itu? Apa jangan-jangan ….
Suara cekikikan terdengar lagi dari arah kasur Kak Lita. Aku juga mendengar suara Ria, ikut terkikik bersama teman-temanku yang lain. Kecurigaanku memuncak. Bukan mustahil diary-ku ada di tangan mereka. Sebab, mereka selalu terlihat penasaran dengan buku itu, terutama Rani.
“Udah sih, kasih tahu Kak Lita aja.” Suara Mina singgah di telingaku.
“Iya, kasih tahu aja. ‘Kan, ntar dihukum, disuruh piket sendiri,” timpal Kiya.
“Kasih tahu Bu Rona aja.” Kali ini suara Lila yang terdengar.
“Deal! Dia bilang Bu Rona kayak serem kayak Nenek Lampir.”
Tidak salah lagi! Diary-ku ada di tangan mereka. Aku memang pernah menuliskan tentang Bu Rona—pembimbing asrama—yang galak mirip Nenek Lampir. Waktu itu, dia mengomeli semua penduduk gedung asramaku hanya karena membiarkan kran air terbuka. Matanya yang melotot mengingatkanku pada Nenek Lampir. Namun, aku tidak pernah menuliskan tentang dia lagi di halaman-halaman berikutnya. Hanya cerita keseharianku.
Kepalaku pening seketika. Migrainku kambuh. Aku tidak dapat membayangkan jika mereka benar-benar membawa buku itu ke hadapan Bu Rona. Entah hukuman apa yang akan aku terima nanti. Urusanku dengan Kak Hasna dan Ria saja belum selesai.
Tanpa aku sadari, air mataku mengalir. Sungguh, terasa berat untukku, sedangkan ini baru permulaan. Aku berharap akan terbiasa dengan hal seperti ini seiring berjalannya waktu. Aku tidak ingin menyerah saat ini. Aku yang memilih sekolah di tempat ini, dan aku harus mempertanggungjawabkan pilihan itu.
Mataku terpejam. Kepalaku masih sakit. Cekikikan teman-temanku lamat-lamat hilang dari pendengaran.