Ayah yang Gagal

Oleh: Lufti Avianto

Sebagai seorang ayah, saya pernah merasa gagal dalam mendidik anak.

Penyebabnya, saya terlalu banyak menetapkan ekspektasi dan target tanpa melihat keadaan anak pada usianya. Padahal, bisa jadi pencapaian anak-anak saya di usianya saat ini, jauh lebih baik dari saya di usia yang sama saat kecil dulu.

Meski saya berdalih; anak-anak harus lebih baik dari saya. Tapi tanpa melihat kemampuan anak di usianya, menetapkan target yang berlebihan, bukanlah hal yang bijak.

Kemudian saya merenung. Pada banyak bagian, saya merasa gagal. Saya cenderung menetapkan target secara berlebihan, menerapkan cara yang seharusnya mereka lakukan sesuai dengan keinginan saya tanpa menghargai proses belajar mereka sendiri, juga cenderung ingin hasil yang terlihat baik dalam jangka waktu yang pendek.

Padahal, saya meyakini satu teori dalam pengasuhan: Kalau mau anak-anak kita baik, maka perbaikilah diri sendiri dulu, sebab teladan, lebih baik dari seribu nasihat.

Pada kenyataannya, saya gagal memberikan teladan kepada anak-anak dalam hal-hal sederhana sekalipun.

Kalau mau anak rajin shalat, maka tegakkan pada diri sendiri dulu.

Kalau mau anak rajin mengaji, maka mulailah dari diri sendiri untuk berakrab pada Al-Qur’an.

Kalau mau anak bersikap lembut, berhentilah membentak.

Kalau ingin anak jujur, maka jangan sekali-kali berbohong.

Dan tentu saja, setelah upaya memberi teladan itu, selebihnya, kita pasrahkan pada Yang Mahakuasa -agar anak-anak kita dikaruniakan kebaikan karakter.

Saya tahu teori-teori tentang pengasuhan ayah, tapi dengan banyak alasan dan keadaan, saya kerap terjatuh pada kesalahan yang sama dan berulang-ulang. Hati kecil saya kerap berbisik, “Saya gagal mendidik mereka menjadi pribadi yang saya harapkan. Rasanya ingin mengulang lagi waktu saat mereka belum dilahirkan. Lalu belajar dari awal bagaimana menjadi ayah yang baik.”

Tapi, hati yang lain lagi, lantas berbisik membesarkan hati, “Saya memang bukan ayah yang sempurna. Pun belajar menjadi ayah, tak ada sekolahnya. Belajar dari kesalahan dan mulai memperbaiki diri, akan jauh lebih baik daripada terus menyesali diri, apalagi tak peduli.”

Ya, saya kira tak ada salahnya mencoba memperbaiki keadaan. Saya belajar menjadi lebih matang. Bahwa dari memperbaiki keadaan ini saya belajar menyadari, saya memang bukan ayah yang sempurna bagi anak-anak. Tapi saya ingin jadi yang terbaik buat mereka.

Lalu saya menengok memori ke belakang, belajar mensyukuri dan menghargai capaian-capaian yang mungkin terlihat sederhana.

Di usianya kini, si sulung sudah kerap ikut pertandingan bela diri. Ada banyak medali. Ada keberanian yang dia mulai pupuk untuk tampil dan unjuk gigi. Sedangkan saya dulu di usia itu, rasanya tak ada prestasi apa-apa.

Dia juga memiliki hafalan Qur’an yang sama dengan saya saat ini. Dia hampir 11 tahun dan saya 37 tahun.

Anak-anak juga tak canggung membantu kami mengerjakan pekerjaan rumah di akhir pekan seperti menyapu, mengepel, mencuci piring atau menjemur pakaian. Mereka juga terbiasa merapikan mainan dan buku, atau membereskan sisa makanan.

Saya lupa mensyukuri hal-hal sederhana itu.

Mungkin saya terlewat merayakan Hari Ayah Sedunia. Tapi semoga, saya tak terlambat belajar menjadi ayah yang baik.


Photo by Daiga Ellaby on Unsplash

Dipublikasikan pertama kali di Kumparan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *