Cerpen Wulandari: Karma

Akhir-akhir ini, banyak sekali kejahatan. Apalagi, jika kau keluar di malam hari, nyawa seakan tak ada harga. Rasa sakit hati, dendam dan benci memicu seseorang untuk berbuat kejahatan.

Menghela napas, aku benar-benar muak membaca berita yang menyiarkan kasus pembunuhan. Tak jarang seorang  istri tega membunuh suaminya atau sebaliknya, atau membunuh darah dagingnya sendiri. Ada juga yang terpaksa membunuh untuk membela diri.

Dunia ini sudah gila dan aku yakin jika segala hal yang terjadi di dunia ini ada sebab akibatnya. Ketika kau berbuat baik pun orang akan membalas kebaikanmu begitu juga sebaliknya.

Lebih baik menikmati suasana tenang di kantor daripada memikirkan hal yang tak penting. Tiba-tiba saja, aku mengingat lagi kejadian indah tadi malam. Benar-benar tak akan terlupakan, Hatiku merasa bahagia, lega dan puas. 

Sayangnya, kebahagiaanku menghilang saat melihat salah satu rekan kerja datang menghampiri. Sialan, mengapa brengsek satu ini selalu mendekatiku? Pasti ada gosip  terbaru yang akan dia ceritakan.

“Sri,” Pras menyusul dan berjalan di sampingku, “apa kau sudah tahu kalau Pak Restu Manajer kita tewas dibunuh?” 

Langkahku terhenti saat mendengar nama Pak Restu, benarkah dia sudah mati? Setidaknya dunia ini berkurang satu orang iblis berkedok malaikat. 

“Benarkah? Semoga beliau tenang di alam sana,” doaku, diaminkan oleh Pras.

“Bagaimana kalau kita ikut melayat? Kudengar, karyawan yang dekat dengan Pak Restu juga akan melayat.” 

Aku mengiyakan ajakan Pras untuk ikut melayat. Bagaimanapun, Pak Restu adalah atasan kami. Lagipula aku penasaran dengan keluarga Pak Restu.


Perusahaan memberi izin selama tiga jam untuk karyawan yang ingin melayat ke kediaman Pak Restu. Bahkan, perusahaan mengirim bunga ucapan bela sungkawa.

Ketika tiba di lokasi, sudah banyak pelayat yang datang. Ada beberapa polisi yang berjaga, atau mungkin sedang menyelidiki kasus kematian Pak Restu. 

Seorang wanita yang terisak sambil memeluk anak kecil yang terus memanggil,  berharap agar ayahnya segera bangun. Beberapa pelayat memberi pelipur lara, meminta istri Pak Restu untuk sabar menghadapi cobaan.

Aku tahu seperti apa sakitnya kehilangan orang terkasih, karena aku juga pernah merasakannya. Air mataku menetes mengingat semua kenangan saat bersama keluargaku dan kenangan terakhir sebelum mereka pergi untuk selama-lamanya.

Aku menyaksikan proses pemakaman sampai selesai, juga mencuri dengar obrolan para pelayat tentang almarhum pada pihak keluarga bahwa beliau adalah orang yang baik. 

Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Meski begitu, tentu saja aku tidak akan berkomentar apa pun. Terlalu baik sampai-sampai bisa mengelabui semua orang. 


Deru mobil berhenti ditengah-tengah hutan ilalang, ada bangunan tua yang terbengkalai. Sosok berjaket hitam tersenyum melihat pria paruh baya yang tertidur karena obat bius.

Sosok itu menggotong si pria ke dalam bangunan tersebut. Menghempaskan tubuhnya ke lantai lalu berjalan ke arah nakas tua mengambil pisau dan air mineral yang telah disiapkan. Mengguyurnya ke wajah pria tersebut agar segera sadar.

“Si-siapa kau?” pria paruh baya itu terkejut, ketakutan melihat siluet pisau di tangan kiri orang yang menculiknya.

“Aku, malaikat mautmu.” 

Secepat kilat sosok bermasker hitam itu menghujam perut pria tersebut.

“Ampun, tolong jangan bunuh aku.” Permohonan tak diindahkan malah pisau kembali menusuk perut hingga usus dan organ dalamnya keluar jatuh berserakan bersama darah segar mengalir.


Photo by Jr Korpa on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *