Pagi itu cukup cerah untuk mengawali petualangan hari ini. Aku seorang gadis yang bernama Alena memiliki kepribadian introver dengan gaya casual cenderung ke tomboy ingin melakukan me time dengan mencoba kegiatan baru sendirian. Ya, bukan aku tidak memiliki teman, hanya saja kali ini aku agak bosan dengan kegiatan keseharianku yang duduk sepanjang hari dan berhadapan langsung dengan layar laptop untuk menulis novel-novel horor, setelah itu pulang untuk bertemu dengan temanku dan mengelilingi mall hingga aku merasa bosan.
Kali ini, aku ingin terbebas dari siapapun dan ingin merasakan hidup di alam liar meskipun hanya satu malam untuk menyegarkan kembali otakku yang sudah sangat bosan dengan kegiatan harian yang seperti ini.
Hari ini aku menggunakan kaos oblong oversize warna hitam yang diselimuti kemeja flanel kotak-kotak dan celana jeans bertipe boyfriend serta dilengkapi sepatu snikers tak lupa tas ransel sebagai pelengkap dan rambut sepundak yang kuikat jadi satu. Setelah menatap bayanganku di depan cermin bayang dan dirasa pas untuk gaya hari ini, lantas kuraih kunci rumah lalu menguncinya dari luar dan tak lupa pula mengambil barang-barang yang akan dibawa untuk kemping.
Kulangkahkan kaki menuju motor matic hitam kesayangan dan segera menambahkan kecepatan sebelum matahari benar-benar garang hingga membakar kulit menuju dermaga yang mengantarkanku ke sebuah pulau tak berpenghuni yang telah kusewa selama semalaman untuk kemping, seraya menikmati dinginnya angin malam dan merdunya suara ombak pada malam hari sebagai referensi novel horor yang akan dibuat setelah pulang dari sana.
Setibanya memasuki area dermaga, kuparkirkan motor kesayangan di salah satu tempat parkir yang telah tersedia untuk pengunjung yang ingin menuju pulau yang sedang kuincar untuk melakukan kemping di sana. Setelah memarkirkan motor, lantas kulangkahkan kaki menuju perahu yang telah menungguku sejak tadi untuk mengantar ke pulau. Jaraknya tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu sepuluh menit.
“Besok, perahu akan tiba pada pukul lima pagi,” ucap pak Amir selaku orang yang mengantarkanku menuju pulau ini.
“Ok, Pak,” balasku.
“Apa kamu tidak apa-apa sendirian di sini, Nak? Bapak merasakan ada sesuatu yang buruk akan menimpamu,” ucap Pak Amir dengan nada khawatir.
“Aku tidak apa-apa kok Pak, aku tau caranya bela diri dan jika ada terjadi sesuatu aku akan menelepon Bapak,” balasku dengan senyuman hangat agar meyakinkan pak Amir agar tidak usah khawatir padaku.
“Baiklah, semoga kamu dalam lindungan Tuhan. Bapak pergi dulu, ya?” sambungnya.
“Oke.”
Kulihat perahu yang mengantarku tadi perlahan menghilang dari peredaran pandangan.
“Masih terlalu pagi untuk tidur, sebaiknya aku berkeliling dulu untuk menambah referensi novel,” ucapku pada diri sendiri.
Kulangkahkan kaki menuju gua yang terletak di sebelah kanan dari bibir pantai dan kurasa di sana cukup bagus untuk membangun tenda mini yang kubawa dari rumah. Sembari menunggu malam, aku pun mengumpulkan ranting pohon dan berniat menjadikannya api unggun.
Setelah kurasa lebih dari cukup ranting yang dikumpulkan, aku memasang tempat tidur gantung di antara dua pohon ketapang yang di bawahnya ada tenda mini dan di depannya ada ranting pohon yang telah tersusun rapi menunggu untuk dibakar.
Lantas, akupun mengambil ponsel pintar untuk memotret pohon ketapang dan mengambil beberapa objek yang menurutku unik.
“Hmmmppp.”
Suara apa itu, ya? batinku.
“Hmmmppp.” Telingaku kembali mendengar suara yang sama seperti tadi.
Seketika, aku turun dari tempat tidur gantung dan mengambil pisau kecil sekadar jaga-jaga.
Akupun berjalan perlahan sambil membungkuk, mendekati suara yang tadi terdengar. Jaraknya semakin dekat dan ketika melewati bibir goa, ternyata di sana ada ada gazebo yang cukup nyaman untuk diduduki. Aku memicingkan mata untuk melihat apa yang terjadi di sana. Terlihat seorang perempuan yang mulutnya disumpal dengan kain serta kaki dan tangannya yang diikat dengan tali.
Perempuan itu terlihat begitu mengenaskan di sana. Penampilan yang karut-marut seperti orang yang baru saja mendapat siksaan.
“Eh, tunggu dulu! Bukankah itu perempuan, ya?” ucapku meyakinkan pada diri sendiri.
Melihat situasi yang cukup memungkinkan untuk bergerak, aku pun segera menuju gazebo sambil mengendap sebagai bentuk antisipasi kalau pelakunya masih ada.
“Psttt …. aku akan memotong talimu, tapi kamu jangan banyak bergerak,” ucapku kepada wanita itu.
Aku pun melakukan aksi heroik dengan mengambil pisau kecil yang kubawa, tadi lalu melepaskan tali si perempuan itu.
“Aish! Sial! Tali ini terlalu keras untuk pisau sekecil ini,” umpatku di sela-sela melepas tali.
Dengan perjuangan yang begitu keras, talinya bisa terbuka.
“Terima kasih banyak. Aku bisa terlepas dari siksaan dunia seperti ini,” ucap perempuan itu. “Ayo! Kita harus pergi dari sini. Ada psikopat gila yang suka membunuh perempuan,” lanjutnya.
“Bagaimana bisa kita kabur, sedangkan tidak ada perahu di sini?” tanyaku bingung.
“Ada! Dua hari lalu sebelum aku diikat di gazebo ini, aku sempat dibawa ke dalam gua dan di ujungnya ada perahu yang menghadap langsung dengan laut,” balasnya.
“Baiklah, tapi aku harus mengambil barang-barangku ….”
“Tidak usah! Ayo cepat sebelum psikopat gila itu datang dan membunuh kita,” imbuhnya.
Seketika dia pun langsung meraih tanganku dan memaksa untuk mengikutinya menuju mulut gua.
“Kurasa kita akan aman di sini,” ucap perempuan itu, tapin tak kugubris.
Setelah beberapa kilometer di dalam gua, tiba-tiba terdengar suara dari luar.
“SIALAN KAU PEREMPUAN JALANG! KEMARI KAU ATAU KAU AKAN KUBUNUH!!” murka suara laki-laki yang bisa kudengar dari dalam gua saking tinggi intonasi suaranya.
“Kita harus bagaimana ini?” tanyaku panik.
“Tenang saja. Kita hanya perlu berjalan menuju ujung dari gua ini,” jawabnya santai. “Ah, kita harus belok ke kiri agar segera sampai,” lanjutnya.
Akupun diam dan mengikutinya dari belakang. Namun tiba-tiba perempuan itu membalikkan badannya dan menghunuskan pisau yang entah sejak kapan ada ditangannya.
Brakkk. Pisaunya tepat mengenai jantungku.
Darah segar serta bau amis memasuki aroma penciumanku dengan sisa-sisa kesadaran, akupun lari dengan keadaan pisau masih menancap di rongga dada. Aku mendengar perempuan itu mengejarku. Seketika, aku berlari menuju batu yang cukup besar dan bersembunyi di sana.
“Hahaha, ada di mana kau, perempuan bodoh?!” Ucapan perempuan itu terdengar cukup mengerikan membuat bulu kuduk berdiri.
Aku merapatkan badanku ke dinding batu ketika langkah perempuan itu terdengar semakin dekat.
“Aku tau kamu bersembunyi di sana. Keluarlah sebelum aku menyiksamu lebih dari ini.”
Dengan kesadaran yang masih bisa ditolerir dan perihnya luka tusukan pisau yang dirasa semakin menyiksa, aku menunggu waktu yang tepat.
“HAHAHAHA. AKU MELIHATMU PEREMPUAN JALANG!!!”
Aku mengambil pisau kecilku dan brukkk! Satu tikaman tepat di mata dan satu lagi tikaman tepat di jantungnya.
“Arghhh! K-kau?! Berani-beraninya kau!” ucap perempuan itu. Setelah itu, dia tak sadarkan diri.
“Heh, kau pikir kau bisa membunuhku? Aku adalah pembunuh yang sudah lama tidak melakukan kegiatan seperti ini,” kataku, remeh.
Tiba-tiba hantaman benda tajam di punggung membuatku kehilangan kesadaran.
Photo by Joshua Sortino on Unsplash