Cerpen Prasetyaningsih: Siapa yang Mencoba Membunuhku?

Aku terbangun di rumah sakit tanpa mengingat apapun. Bahkan namaku sendiri. Kata Ibu, aku mengalami kecelakaan mobil minggu lalu. Semakin berusaha mengingat, kepalaku akan terasa sakit. Hingga akhirnya Ibu melarangku untuk mengingat kecelakaan itu. Sejak kejadian itu, aku menjadi sering ketakutan terutama saat gelap. Menurut dokter, itu bisa disebabkan karena sebelum terjadi kecelakaan aku disekap di ruang gelap. Ya, aku diculik sebelum ditemukan terlibat dalam kecelakaan beruntun di jalan tol. 

Mungkin kalian bertanya, aku tidak ingat apapun mengapa percaya orang itu ibuku? Ya awalnya aku tidak yakin. Setelah melihat foto dan bukti lain aku baru percaya. Lagipula, untuk apa dia mengaku-ngaku sebagai ibuku? Merawat orang sakit seperti aku? Menurut Ibu, ayahku sudah meninggal sejak aku kecil. Dia hanya menunjukkan fotonya saja. Dia —ayahku— sangat mirip sekali dengan wajahku. Yang membedakan hanya rambutnya saja.

Sudah sebulan sejak aku ditemukan, belum ada satupun ingatan yang kembali. Aku sudah keluar dari rumah sakit, tapi masih harus konsultasi dengan psikolog untuk mengatasi trauma gelapku. Ibu selalu menemaniku ke mana pun aku pergi. Oh ya, aku anak tunggal, jadi hanya tinggal berdua dengan Ibu. 

Hari ini untuk kesekian kalinya aku menjalani hipnosis. Meski aku masih merasa takut pada kegelapan, tapi aku berharap dengan hipnosis akan bisa mengatasi hal itu. Ibu tidak menemaniku karena harus mengurus toko.

Hipnoterapis memulai sesi hari ini dengan menyetel musik klasik agar aku bisa rileks. Sugesti mulai diberikan agar aku tidak merasa takut gelap. Hipnosis memang tidak dilakukan untuk mengembalikan ingatan. Akan tetapi setelah ketakutanku hilang, mungkin saja ingatan itu kembali dengan sendirinya.

Di akhir sesi tiba-tiba aku merasa sesak. Seperti ada yang mencekik. Dalam bayanganku, tangan itu lembut tapi juga kuat menekan leherku. Di lengan orang itu ada tato bunga matahari, yang sepertinya pernah kulihat entah di mana. Aku terbangun dengan terengah-engah.

“Ada apa?” tanya Dokter padaku.

“Aku melihatnya, Dok. Orang yang mencekikku.” Lalu mengalirlah cerita soal bayangan itu.

“Bisa jadi itu bagian dari ingatanmu. Tapi jika itu sakit, jangan dipaksa. Dia akan kembali dengan sendirinya jika ketakutanmu sudah hilang,” kata Dokter.

Aku mengiyakan itu karena memang rasanya sakit sekali. Bukan hanya kepalaku, tapi leherku juga masih terasa seperti ada bekas cekikan.


Saat aku pulang, Ibu belum ada di rumah. Karena bosan akhirnya berkeliling rumah. Siapa tahu tiba-tiba ada hal yang aku ingat. Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah bingkai foto. Di dalamnya aku melihat tato yang sama seperti yang aku lihat dalam bayanganku tadi. Kuambil foto itu dan kuamati lebih detail. Seperti air mengalir ingatanku tiba-tiba kembali.

Aku mengingat siapa yang menculik dan menyekapku. Aku juga ingat kenapa kecelakaan itu bisa terjadi. Ketika kudengar suara pintu depan dibuka, kepanikan melandaku. Pigura itu terjatuh saat aku berlari menuju kamar. Aku mengunci pintu dan mengganjalnya dengan meja. Nafasku menderu. Dia yang aku anggap sebagai ibuku memanggil dari lantai bawah.

“Indah, kamu sudah pulang, Nak? Ibu tahu kamu di dalam,” katanya.

Aku semakin ketakutan. Bagaimana kalau dia menemukanku di sini? Aku tidak mau mati sekarang. Sialnya, ponselku tertinggal di bawah, aku tidak bisa menghubungi siapa-siapa. Kudengar langkah kakinya menaiki tangga. Sebentar lagi dia akan sampai di atas. 

Aku membekap mulutku agar tangis ini tidak terdengar keluar. Dia sudah ada di depan pintu, aku merasakan auranya. Aku semakin panik saat ingat dia punya kunci duplikat kamar ini. Dengan kalut aku membuka pintu ke arah balkon kamar dan nekat melompat dari lantai dua tepat saat pintu kamarku terbuka.

Aku masih hidup! Aku langsung berlari tanpa alas kaki. Jalan beraspal melukai kakiku, tapi aku tak peduli. Aku harus menyelamatkan diri dari ibuku —lebih tepatnya kembaran ibuku. Aku merasakan ada yang mengikuti, dan benar saja. Saat aku melihat ke belakang, mobil ibuku terlihat. 

Aku berlari semakin kencang. Aku berteriak, tapi perumahanku sepi. Tuhan, tolong aku.

Napasku semakin berat sedangkan ibuku semakin mendekat. Aku tak kuat lagi berlari. Aku hanya bisa menangis. Saat mobil ibuku menabrak tubuhku aku hanya bisa berteriak. 

“Aaarghh!”

Masih sempat kulihat senyum sinis ibuku, sebelum akhirnya mata ini menutup. Untuk selamanya.


Photo by Markus Gjengaar on Unsplash

One Comment on “Cerpen Prasetyaningsih: Siapa yang Mencoba Membunuhku?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *