Braakkk
Suara berderak menyadarkanku. Kupaksa membuka mata yang terasa berkabut, lalu bangkit dari lantai. Kuabaikan rasa nyeri yang menyengat di punggung. Kepalaku terasa berat. Terhuyung-huyung kumasuki ruang demi ruang dalam rumah. Kosong.
Aku kembali ke ruang depan, mencari-cari ponselku. Hatiku kembali mencelos menemukan benda itu dalam kondisi pecah di lantai. Sepertinya tak hanya dibanting, tapi juga diinjak-injak untuk memastikan aku tak bisa menghubungi siapa-siapa. Kudorong pintu rumah yang juga tak kalah mengenaskannya. Engselnya sudah copot separuh, retak di beberapa bagian. Suara pintu yang terbanting angin tadi yang membangunkanku
Sekuat tenaga kuseret tubuh ini untuk mencapai jalan besar. Rumah yang kutinggali dua tahun terakhir berada di gang yang sepi, hanya ada satu dua rumah di dekat kami, jarang kutemui penghuninya. Kupikir kami lebih aman berada di sini, jauh dari orang-orang yang mengenalku dan Naya.
“Ibuuu…. Naya takuuut!” jerit Naya ketika melihat lelaki itu datang dengan wajah beringas.
“Kamu tak bisa lagi bersembunyi, Sunti! Naya juga anakku!!! Aku akan membawanya pergi!!!”
Karma berteriak dengan kalap setelah bisa menemukan kami. Entah bagaimana ia akhirnya bisa mengetahui tempat tinggal kami. Baru kusadari ujung bibirku berdarah. Masih dengan tubuh remuk mataku lari ke sana kemari mencari becak yang bisa kutumpangi. Tanpa ponsel, aku tak bisa memanggil ojek online seperti biasa. Di kota kecil ini angkutan umum terbatas, paling banyak becak dan ojek motor. Setelah berjalan lebih dari dua ratus meter dari ujung gang, baru kutemukan becak yang parkir di tepi jalan dan pengayuhnya sedang tertidur.
“Pak…Pak…Ma-maaf…bisa antar saya?” Dengan nada mendesak kubangunkan si bapak yang langsung terkaget-kaget bangun dan turun dari atas becak. Kusebutkan tujuanku dan memintanya mengayuh dengan cepat. Tak kupedulikan tatapannya yang bertanya-tanya melihat kondisiku.
Sepanjang jalan aku menahan rintihan akibat nyeri yang kurasakan. Sepertinya aku terjatuh dan menimpa ujung meja kayu dengan keras, setelah Karma menamparku berkali-kali, kemudian menendang punggungku ketika aku berpaling dan hendak meraih Naya yang menangis ketakutan, ke dalam pelukan.
Setiba di stasiun setengah berlari aku menuju loket, menanyakan kereta paling cepat menuju Surabaya. Dari Surabaya aku masih harus memburu kereta menuju Jakarta. Aku harus mengejar waktu sebelum jejak Karma semakin sulit ditemukan. Aku sudah tak sadar cukup lama, karena hari sudah sore, sedang lelaki itu muncul di rumahku pagi tadi.
Karma tak benar-benar ingin merawat Naya. Sebaliknya, ia mencari-cari kami selama ini dengan tujuan melampiaskan dendam padaku.
“Naya bukan anakmu!” desisku menahan perih setelah ujung mataku terantuk pinggiran lemari yang runcing akibat dia mendorongku suatu malam.
Hari sudah gelap ketika aku sampai di Surabaya. Uang tersisa di dompet harus dihemat agar setibaku di Jakarta bisa bertahan hidup beberapa hari. Tak ada seorang pun yang bisa kumintai pertolongan. Sudah lama aku sebatang kara, dibesarkan di rumah pengasuhan. Bahkan aku mengenal Karma sebagai sesama penghuni panti.
Kupikir aku akan bahagia setelah menemukan pangeranku, ketika seorang lelaki meminangku. Bersama Syam, hidup ini terasa cukup, meski kami harus berjuang dari nol. Rupanya Karma sakit hati karena telah lama menginginkanku sebagai istrinya.
“Seharusnya aku satu-satunya yang berhak atas kamu, Sunti! Bukan lelaki itu!”
Aku tengah mengandung Naya ketika semua mimpi berakhir. Malam itu hujan lebat disertai petir yang bersaut-sautan, sementara Syam belum kembali dari tempatnya bekerja. Ia terburu-buru pulang setelah aku mengeluh perutku kesakitan lewat telepon. Di perjalanan, sebuah pick up menabrak motornya dan melarikan diri tanpa jejak. Ia pun pulang ke rumah kami tanpa nyawa.
Segera setelah Naya lahir, Karma menikahiku. Kupikir sifatnya telah berubah dan ia sungguh-sungguh mengasihi kami. Ternyata semua sekadar halusinasi, ia masih Karma yang dulu. Pulang hanya untuk melampiaskan kemarahan padaku, memukuliku hingga bilur-bilur di sekujur tubuh yang mulai mengering kembali memerah. Memaksaku melayaninya di tempat tidur dengan buas. Selebihnya ia akan mencari kesenangan di luar.
Hingga suatu hari ketika mabuk ia menyebutkan bahwa dirinya yang bertanggung jawab atas kematian Syam. Aku tak lagi sanggup bertahan, kuputuskan meninggalkan rumah dan membawa Naya, yang baru berusia tiga tahun, pergi ke ujung pulau ini pagi itu. Jauh dari Jakarta.
Aku sampai di Jakarta menjelang siang. Kuminta ojek memacu motornya, menuju tempat yang kuyakini menjadi tujuan utama Karma. Perkampungan itu masih sama seperti terakhir aku mendatanginya beberapa tahun lalu. Padat, aroma busuk menyeruak di udara. Wajah-wajah menatapku penuh tanya, celetukan menggoda terdengar dari beberapa lelaki yang kulewati. Perempuan-perempuan tampak mengaso di depan wisma masing-masing, setelah semalam bekerja keras.
Aku pernah kemari untuk menjemput Karma yang sudah berhari-hari tak pulang, setelah kawannya mengabarkan kalau ia habis dipukuli karena berebut seorang wanita dengan pengunjung lain. Wisma yang kutuju sudah berubah warna catnya, tapi aku masih mengenalinya.
“Mau apa kamu ke sini?!” seorang perempuan langsung menyambutku. Rahma, perempuan yang selalu jadi tujuan akhir Karma.
“Aku hanya ingin anakku. Di mana dia? Harusnya kamu jaga Karma baik-baik agar tidak lagi menganggu kami!”
Aku tak lagi menahan nada suaraku. Lelah, sakit dan ketakutan membayangi. Entah bagaimana nasib Naya.
“Kenapa pula aku harus memberitahumu, heh?!”
“Harusnya kamu senang, bisa memiliki Karma seutuhnya. Keberadaan kami hanya menghabiskan waktu yang sedikit kau punyai!”
Aku tahu, Rahma selalu bisa memenangkan hati Karma. Dengannya laki-laki itu tak pernah berbuat kasar, namun melampiaskan frustasinya yang tak berhasil mengangkat Rahma dari lembah nista ini kepadaku. Untuk melepaskan Rahma dari tempat ini, Karma harus membayar ratusan juta. Kalau ia nekad membawa perempuan itu lari, ia tak mungkin lolos dikejar bajingan-bajingan anak buah penguasa tempat ini. Bagaimana pun, Rahma salah satu tambang emas baginya.
“Di mana anakku dibawa pergi, Rahma!!!” suaraku yang nyaring tak mengusik penghuni lain yang mulai mendekat dan menatap kami. Tak lama kemudian mereka menyingkir, tak mempedulikan lagi apa yang terjadi.
Perempuan itu terbahak dengan wajah memuakkan, hingga ingin aku mencakar, menjambak rambut panjangnya, dan mendorongnya ke tembok. Ia menatapku dengan pandangan mengkasihani.
“Aku tak bertemu dengannya sebulan terakhir. Kalau jadi kamu, aku akan berhenti bernapas….”
Aku menunggu kelanjutan ucapannya dengan tangan terkepal hingga buku-buku jariku memutih. Nyeri di punggungku bekas hantaman Karma kembali terasa.
“Karma akan merawat anakmu baik-baik. Aku sudah bisa melihat kalau anak kecil itu punya paras yang cantik, pasti tak lama lagi ia menjelma menjadi gadis yang sangat menarik…” Wajah Rahma menyeringai menjijikkan.
“Saat itu lah, anakmu akan berharga berkali-kali lipat dibanding aku, hahahaha…” Tawanya membuat perutku menggelegak. Kutarik bajunya dengan tatapan mengancam, kuayunkan sebelah tanganku untuk memukulnya. Lalu seseorang menahan tanganku dari belakang.
“Jangan buang waktu! Aku tahu kemana anakmu dibawa. Kamu harus segera ke tempat itu sebelum kapal membawanya ke pulau seberang….”
Kupalingkan badan dan kutemui sosok lelaki setengah baya. Ia mengangguk meyakinkanku hingga aku melepas cengkeramanku pada perempuan menyedihkan di depanku. Gegas kutinggalkan tempat itu berbekal petunjuk dari lelaki itu.
“Anakmu yang akan menebusku dari tempat terkutuk ini, Sunti! Camkan itu! Hahahaha…”
Setelah satu jam aku menerobos kemacetan ibukota, sampailah aku di tempat yang disebutkan lelaki itu. Jantungku berdentam-dentam, Tak bisa kubayangkan, kalau Naya gagal kuselamatkan. Setengah berlari aku menyusuri lorong-lorongnya. Mataku nyalang, mencari-cari. Hanya kutemi satu dua orang yang mengacuhkanku, membuatku makin gila. Sempat kutemukan sebuah pisau berkarat yang telah dibuang di pinggir jalan lorong itu, kugenggam erat-erat sebagai satu-satunya senjataku bertahan.
Ketika lorong-lorong itu berakhir, dari kejauhan kulihat sosok yang kucari, memasuki sebuah bilik. Kulihat sekeliling, memastikan tak ada orang lain. Dengan mengendap-endap kudekati bilik itu, mencoba mencuri dengar suaranya. Jantungku serasa terhenti, ketika kudengar teriakan berbalut tangisan yang kukenali.
“Ayah jahat! Ayah jahat! Naya mau pulang sama Ibu! Huhuhuhu….”
“Diaamm! Ibumu sudah mati!”
Aku menahan napas. Tekadku sudah bulat. Tak apa kalau harus bertaruh nyawa, yang penting anakku lepas dari bajingan itu.
“Tidaaakk… Ibu masih hidup! Ibu pasti jemput Naya! Huhuhu…”
Aku mengintip dari lubang kecil di tembok bilik yang terbuat dari triplek kusam. Samar-samar kulihat anakku menutup wajahnya dan pundaknya naik turun karena tangis. Lelaki itu membelakanginya, entah melakukan apa. Aku bersiap mendorong pintu itu dan akan menyuruh Naya lari.
“Ibumu itu perempuan sundal! Lebih baik dia mati!!!”
Aku tak tahu apa yang terjadi ketika tiba-tiba suara teriakan Karma mengagetkanku yang tengah mendorong pintu itu. Kutemukan lelaki itu mengerang kesakitan, memegangi perutnya, lalu jatuh ke lantai.
Naya memegang sebilah gunting di tangannya, berlumuran darah.
Keren kak. Mantep 👍👍👍