Oleh Iecha
Sosoknya kecil, mungil, dan sangat lincah. Jiwa ragaku bergetar di setiap perjumpaan kami. Apakah ini cinta? Tentu saja… bukan!
Aku ingat saat itu, suatu sore di akhir Juni. Juni yang cerah tanpa setitikpun hujan. Jakarta bergeliat dengan perhelatan akbar: perayaan hari jadi daerah selama satu bulan. Kami bersepakat mengunjungi perhelatan itu, sekadar meramaikan dan melihat-lihat. Oh ya, belanja jika ada sesuatu yang menarik perhatian.
Usai salat Ashar, aku dan Mami sudah rapi di depan rumah. Kami menunggu Bu Sekretaris RT –sebut saja Bu Sekte- untuk berangkat ke perhelatan akbar di kawasan Kemayoran. Sambil menunggu, aku dan Mami menghitung berapa angkutan umum yang harus kami naiki untuk sampai di wilayah itu, dan berapa uang yang harus kami keluarkan.
“Naik bajaj aja,” kata Bu Sekte, yang mucul dari rumahnya, di samping rumahku.
“Berapa?” tanya Mami.
“Paling tiga lima.”
Deal! Tiga puluh lima ribu untuk sekali perjalanan jauh lebih murah dibanding kami naik metromini dua kali, dan melanjutkan dengan bajaj lagi. Kami beranjak ke pinggir jalan, menunggu sosok oranye itu muncul.
Belum sampai lima menit, di hadapanku sudah benda roda tiga warna oranye, dengan kepala supirnya yang menyembul keluar. Benda ini memang sering wara-wiri di jalanan depan gang, meski bukan jalan raya. Orang-orang menggunakannya untuk transportasi di dalam lingkungan, dan sesekali keluar.
“Tiga puluh, ya.” Supir buka harga.
“Dua lima, deh,” tawar Bu Sekte, khas emak-emak.
“Ya udah, naek.”
Kami bertiga naik. Bu Sekte di pojok, kemudian Mami, dan aku di sisi dekat pintu. Konon, ada SOP untuk menaiki kendaraan ini: tas harus dititipkan ke orang yang duduk di tengah atau pojok, dan sebaiknya tidak mengeluarkan ponsel. Pintu bajaj hanya tertutup setengah, bagian atasnya terbuka. Orang-orang yang punya niat jahat akan dengan mudah menyambar barang yang ada di pangkuan dan genggaman orang yang duduk paling dekat pintu.
Bajaj melaju. Dari bilangan Menteng Atas, supir mengarahkan lewat Jalan Tambak. Kami melewatinya dengan mulus. Sesekali memang supir bermanuver, salip kanan kiri. Semua berjalan biasa saja, karena tidak ada kendaraan besar dan jalan tidak terlalu ramai. Masuk jalan Salemba Raya, semua berubah.
Jalan ini lebar, bus-bus besar lalu lalang, begitupun dengan Trans Jakarta. Saat bajaj yang kami naiki menyalip sedan mewah, di situ jiwaku bergetar. Kenekatan supir bajaj memang sudah bukan rahasia, tapi kalau sampai menyenggol sedan mewah, berapa uang yang harus kami keluarkan untuk reparasinya? Tentu saja mustahil supir bajaj yang keluar uang.
Lolos dari mobil mewah bukan berarti perjalanan selanjutnya aman, damai, dan tentram. Saat bajaj kami bertemu lampu merah, supirnya berhenti di depan zebra cross. Aku tahu, ia ingin menjadi yang pertama lolos dari lampu merah. Namun, posisi di situ juga jauh dari kata aman. Aku benar-benar khawatir ada kendaraan yang terlalu ke kanan, dan menyambar bajaj yang kami naiki. Jantungku berdegup kencang seiring tubuhku yang bergetar karena getaran mesinnya.
Oranye barbar? Tentu saja. Entah apakah semua yang oranye ditakdirkan barbar, yang jelas, aku sudah membuktikan kebarbaran dua oranye: kucing dan bajaj. Waktu masih SD, aku pernah membonceng sepupu naik sepeda mengitari RW. Nyaris sepanjang jalan mobil terparkir di kedua sisinya, yang membuat sepeda kami harus berjalan di tengah. Saat itu, jalanan kosong, aku yakin aman untuk mengambil jalur agak ke kanan.
Baru saja aku melewati mobil yang parkir di kiri, sesosok bajaj menyerempet. Datangnya begitu saja. Tahu-tahu suaranya sudah mendekat, dan stang sepedaku sudah masuk ke dalam bajaj. Beruntung aku dan sepupu sempat melompat, setelah terseret beberapa meter. Sepedaku terseret lebih jauh. Stang dan bannya bengkok. Kami pulang jalan kaki, dan bajaj itu ngacir tanpa dosa.
Pernah juga, saat akan berangkat kuliah bersama teman, kami naik sepeda motor melalui jalan Percetakan Negara. Temanku sengaja mengambil jalan di kanan, supaya tidak terganggu oleh orang-orang yang mau belok ke gang. Entah dari mana datangnya, muncul bajaj dari sisi kiri, menyalip sepeda motor yang kami naiki untuk berputar arah. Alhamdulillah, temanku sigap. Sepeda motor berhenti, bajaj berputar arah dengan nyaman, dan kami semua selamat.
Masih banyak kejadian yang membuatnya jadi sosok paling menakutkan yang pernah ada versi aku. Bahkan, saat aku bersepeda, aku memilih mengerem mendadak meskipun setelahnya akan jatuh, hanya karena mendengar suara bajaj. Aku tahu, bukan hanya bajaj yang memiliki suara seperti itu. Vespa juga. Namun, tetap saja dalam pikiranku suara itu hanya milik bajaj.
“Bajaj kan benda mati, Cha,” kata teman-temanku, saat tahu aku memiliki trauma pada bajaj.
“Iya, tapi kalo ada supirnya, dia jadi benda hidup.”
Hufth… susah menjelaskannya. Benda itu terlalu menakutkan jika aku berada di luar, dan kami kebetulan bertemu. Lain hal jika aku di dalam bajaj. Ketakutanku tidak seberapa. Namun, itu dulu, sebelum bajaj yang aku naiki turun dari flyover Senen menuju jalan Gunug Sahari.
Jalan ini benar-benar padat. Jalan yang tidak seberapa lebar menjadi rebutan antara angkutan umum, angkutan setengah umum, mobil pribadi, dan sepeda motor. Tidak ada batas antara kendaraan biasa dengan Trans Jakarta. Saat lampu lalu lintas di Gunung Sahari berubah hijau. Semua kendaraan berlomba-lomba menerobos, sebelum lampu itu kembali berubah jadi merah.
Bajaj yang kami tumpangi menyalip dengan gesit. Jantungku kembali berdegup kencang, khawatir bajaj akan menyenggol kendaraan lain. Jika kendaraan kecil atau mikrolet,. Paling-paling hanya ribut dengan pengemudinya atau disuruh ganti rugi. Beda ceritanya jika yang dihadapi kendaraan besar. Bajaj sangat ringkih, tersenggol kendaraan besar bisa terguling.
Pandanganku menangkap bus besar warna hijau tentara, Mayasari, beberapa meter di depan. Awalnya aku tidak terpikir bajaj kami akan menyalip, tapi itulah nyatanya. Bajaj ambil kanan tanpa peduli kendaraan lain, kemudian berusaha membalap Mayasari yang sedang melaju.
Napasku tertahan. Ini benar-benar lebih menyeramkan dari naik rollercoaster. Jarak bajaj dengan Mayasari mungkin hanya selebar spionnya karena di kanan ada mikrolet. Kalau Mayasari itu lengah dan menggeser diri ke kanan, kami sudah pasti tersenggol dan terguling, sementara kendaraan di jalur sebelahnya melaju dengan cepat.
Aku pikir, kebarbarannya sudah cukup sampai di situ. Aku ingin menarik napas yang tadi tertahan, meskipun harus menghirup udara pekat yang keluar dari knalpot-knalpot. Baru beberapa hirup, bajaj itu kembali membuat napasku terhenti, mungkin juga aliran darahku.
Lampu lalu lintas di perempatan Hotel Golden berubah warna jadi hijau, bajaj kami yang akan berbelok ke kanan memotong jalur busway. Trans Jakarta sudah melaju, hanya berjarak sedikit dari bajaj. Bajaj tancap gas, masuk ke jalan Angkasa dengan kecepatan dewa. Aku yakin, di luar sudah banyak yang berteriak dan mengucap sumpah serapah.
Tiba di Pekan Raya Jakarta, lututku terasa lemas. Aku turun dari bajaj dengan jiwa raga bergetar karena mesin bajaj dan manuver gila-gilaan. Menteng Atas ke Kemayoran cuma butuh waktu kurang dari satu jam. Sambil menunggu Bu Sekte bayar bajaj, aku menarik napas dalam-dalam. Terasa “nyawaku” terkumpul lagi sedikit demi sedikit, dan aku bisa menikmati PRJ dengan gembira.
Kini, oranye itu tinggal kenangan. Bajaj oranye diganti bajaj berwarna biru, berbahan bakar gas. Mesinnya juga lebih halus, sehingga orang-orang tidak bergetar sepanjang perjalanan. Bahkan kini ada juga angkutan serupa bernama Kancil, yang sedikit lebih besar dari bajaj biru dan berpintu sampai atas. Cerita tentang oranye akan menjadi kenangan yang menggetarkan bagi setiap pelanggannya.
Photo by Adli Wahid on Unsplash