Dua motor itu berkejaran di jalan raya. Bila yang satu berhasil dilalui, maka yang di belakang tidak mau kalah. Mencoba untuk menyusul. Jika ‘si belakang’ berhasil mendahului ‘musuhnya’, maka si musuh mulai atur strategi, melihat kondisi jalan. Tujuannya cuma satu, mengungguli si belakang.
Tulisan di atas fiksi yang bisa ditemui dalam kehidupan nyata. Mereka yang biasa berada di jalan, para biker yang sering mengukur jalan akan menemukan pemandangan ini.
Bersaing, ingin unggul dari yang lain adalah naluri manusia. Sudah merupakan tabiat manusia. Dilihat dari sisi ini, kebut-kebutan di jalan raya adalah hal yang lumrah. Tapi tidak positif bahkan membahayakan pengendaranya dan orang lain.
Dalam sejarah, kita sama-sama tahu, Umar bn. Khaththab ra selalu ingin unggul dari Abu Bakar ra.
Orang-orang miskin di masa Rasulullah juga ingin bersaing dengan orang-orang kaya. Ingin juga bisa tunaikan zakat, bersedekah, menyembelih hewan kurban.
Bahkan para sahabat ingin sekali beribadah pol-polan seperti Rasulullah Saw.
Siapa pun bisa menempatkan diri sebagai pesaing bagi orang lain. Bahkan seorang wanita bisa mengungguli kaum pria. Anak kecil pun bisa jadi rival orang dewasa.
Saya punya teman-teman yang luar biasa. Ada yang tiap malam tunaikan tahajud. Yang lainnya, tekun sekali murojaah dan lainnya.
Dari sinilah dimulai. Lihatlah orang sekeliling. Siapa yang unggul. Siapa berprestasi. Kapan bisa best seller seperti dirinya. Masa kalah sama anak kecil. Kecil-kecil sudah Hafizh 30 juz. Sudah setua itu bisa khatam hafal 30 juz. Kemana saja kita.
Photo by Florian Schmetz on Unsplash