Cerpen Virgin Tirta Putri: Ikatan Merah

Setiap melihat Anis, mataku akan secara otomatis melirik jari kelingkingnya. Kemudian aku akan bernafas lega karena tidak ada benang merah yang mengikat jari kelingking yang kurus dan lentik itu. Namun, hari ini aku tidak bisa bernafas lega, dua bangku di depanku, Anis sedang mengobrol dengan teman sebangkunya.

Dia sedang tertawa. Seperti biasa, Anis terlihat sangat cantik ketika tertawa. Senyum lebarnya akan memperlihatkan barisan gigi yang rapi dan lesung di kedua sisi pipinya. Kedua matanya akan menyipit dengan kedua ujungnya yang berkerut. Ketika Anis berusaha menghentikan tawanya dengan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Saat itu aku melihatnya jari kelingking itu telah dilingkari oleh benang merah. Kemunculan benang merah itu menandakan bahwa tidak lama lagi Anis akan bertemu dengan seseorang yang telah ditetapkan oleh takdir untuknya. Yang jelas, orang yang berada di ujung ikatan itu bukanlah aku. 

Aku bisa melihatnya. Benang merah yang menghubungkan takdir manusia. Benang merah yang konon katanya menghubungkan kita dengan jodoh kita. Benang merah yang dipintal sendiri oleh dewa-dewa. Karena itu pandanganku tidak pernah kosong, benang-benang merah tipis selalu melayang-layang lemah di udara saling silang menyilang. Aku tidak tahu apa fungsi sebenarnya dari kemampuan ini dan apa tujuan kemampuan ini diberikan padaku. Terutama sekarang, saat kemampuan ini hanya menciptakan kekhawatiran untukku saja.

Aku melirik lagi jari kelingking Anis dan menghela nafas, kali ini karena rasa kecewa. Tahun keduaku di SMA menandai dua tahun aku menjadi pengagum rahasia Anis. Sekalipun kami selalu sekelas sejak kelas 2 SMP aku tidak pernah terlibat percakapan dengan Anis lebih dari dua kalimat. Lebih tepatnya aku tidak pernah berbicara banyak selama di kelas karena sifatku yang kelewat introvert dan pendiam. Ringkasnya aku adalah seorang pengecut. Sebenarnya tidak ada bedanya, aku bisa melihat benang merah itu atau tidak bisa melihatnya. Sekalipun aku tidak bisa melihat benang merah itu dan tidak tahu bahwa kami tidak berjodoh, aku menjadi pengagum rahasianya karena aku tidak punya keberanian.


Selama aku sekolah, aku tidak pernah ikut jam pelajaran olahraga karena masalah kesehatan. Aku lahir dengan tubuh dan jantung yang lemah, membuatku tumbuh dengan tampang pesakitan. Tubuh tinggi tapi sangat kurus dan kulit yang selalu pucat. Kadang, aku merasa melihat hantu ketika bercermin padahal itu cuma pantulan wajahku.

Dengan fisik yang lemah, nama Ares menjadi tidak cocok untukku. Nenekku yang memberi nama itu padaku, Ares merupakan nama dewa perang Yunani. Mungkin nama ini merupakan bentuk harapan dari nenek agar tubuhku semakin kuat di masa depan. Yang tidak diketahui nenekku, Ares sebenarnya tokoh antagonis dalam mitos Yunani.  Mungkin saja rasa insecure-ku bermula dari fisik yang terlalu lemah untuk anak laki-laki, atau nama yang terlalu berat untuk tengkorak hidup sepertiku. 

Aku berbaring di tempat tidur UKS sekolah memandang langit-langit putih kusam yang di beberapa sudut sudah dihiasi sarang laba-laba. Busa tempat tidur UKS lumayan tipis, aku nyaris merasa meletakan tulang belakangku di atas papan. Kepalaku pusing, menjadikan pandanganku sedikit berputar. Benakku melayang mengingat benang merah yang mengikat di jari kelingking Anis.

“Apa ada yang bisa kulakukan ya, agar mereka tidak bertemu,” gumamku. 

“Siapa yang tidak bertemu?” Suara yang tidak asing itu mengagetkankku. 

Seorang gadis muncul dari balik tirai menyusul suara itu. Aku sudah terbiasa dengan tatapan menyelidik bola mata cokelat itu. Gadis itu adalah Yesa, salah satu anggota PMR sekolahku. Kedatangannya ke Ruang UKS memberitahuku jam pelajaran olahraga sudah berakhir dan sekarang sudah jam istirahat.

Karena jam pelajaran olahragaku dan jadwal jaga UKS-nya yang berdekatan, aku dan Yesa telah menjadi kawan UKS sepanjang semester ini. Setidaknya, begitulah aku menyebutnya. Mulanya kami lebih banyak menghabiskan waktu dalam diam dan hanya bicara saat diperlukan atau kalau ada topik yang menarik. Biasanya aku akan merasa canggung jika terlalu lama diam bersama orang lain. Namun, pada dasarnya Yesa tidak terlalu peduli dengan keberadaanku. Aku pun merasa tidak memiliki kewajiban untuk membuatnya nyaman dengan sikapnya itu. 

“Bukan, bukan siapa-siapa” balasku. 

Yesa tidak bertanya lebih lanjut, ia berjalan melewati tempat tidurku menuju meja UKS. Rambut hitamnya yang diikat ekor kuda menjuntai menyentuh pinggangnya melambai-lambai ketika ia berjalan. Aku dan Yesa memang selalu bertemu di UKS. Yesa juga orang pertama yang bisa kuajak bicara cukup panjang. Namun, itu bukan berarti kami dekat. Kami tidak pernah sekelas, bahkan kami tidak saling menyapa jika berpapasan di luar UKS. Namun, aku cukup tahu jika Yesa adalah orang yang objektif dan adil terlihat dari bertanggungjawabnya dia dalam menjalankan tugas dan titelnya sebagai murid peringkat atas di sekolah. Mungkin, jika aku bertanya padanya, dia tidak buru-buru menganggapku gila.

“Yesa,” panggilku dari balik tirai.

“Hmmm,” gumam Yesa disusul dengan suara gesekan kertas membuatku tahu dia tidak terlalu memfokuskan perhatiannya padaku. 

“Misalnya nih, cuma misalnya lho ya, kamu bisa melihat dan mengetahui takdir terus ternyata takdir itu berjalan tidak sesuai dengan harapanmu. Kalau begitu, apa yang bakal kamu lakuin?”

Suara gesekan kertas yang terhenti memberitahuku bahwa pertanyaanku barusan menarik bagi Yesa. Yesa tidak memberi jawaban untuk beberapa saat, sepertinya dia memikirkan pertanyaanku dengan serius. 

Well, bukannya takdir memang seharusnya tidak berjalan sesuai dengan keinginan kita?” jawabnya kemudian. “Tapi, seharusnya ada bagian takdir yang bisa dipengaruhi oleh usaha manusia ‘kan? Berarti selalu ada kesempatan untuk merubahnya.”

“Bagaimana kalau ini adalah bagian yang tidak bisa kamu ubah? Seperti soal jodoh. Setiap orang ‘kan sudah diikat benang merah dengan jodohnya masing-masing,” timpalku.

“Kalau cinta adalah syarat buat jadi jodoh, artinya jodoh adalah aspek yang bisa diubah dari takdir,” jawabnya. “Tergantung usaha manusianya juga ‘kan. Kalau usahanya kurang atau tidak berhasil, tinggal bilang saja bukan jodoh,” lanjutnya. 

Sudah kuduga, jawaban murid berprestasi tidak akan mudah dicerna oleh murid standar sepertiku.

“Kamu itu lagi ngomongin tentang Unmei No Akai Ito, ya?” tanya Yesa kemudian.

“Huh?” responku jelas kebingungan.

“Mitos benang merah takdir yang katanya kalau pasangan takdir itu diikat dengan benang merah,” jelas Yesa. Jawaban Yesa membuatku curiga, apa Yesa punya kemampuan untuk membaca pikiran orang lain atau mendeteksi kemampuan khusus orang lain. Namun, ada kemungkinan juga Yesa hanya kelewat pintar.

“Bisa dibilang begitu,” balasku. Jelas itu yang sedang aku tanyakan ke kamu, aku bisa lihat benang merahnya!.

“Jarang banget ada cowok yang tertarik sama mitos romantis,” ucap Yesa dengan nada mengejek. “Kenapa? Kamu lagi patah hati?”

Aku mengikhlaskan nada mengejeknya itu, tidak merasa kesal. Lagipula kesimpulan Yesa kurang lebih benar. Aku sedang patah hati bahkan sebelum memulai. Aku tidak menjawab Yesa dan kembali fokus menatap langit-langit.

“Kamu tahu,” ucap Yesa memecah keheningan singkat di antara kami. “Konsep benang merah itu sebenarnya dimulai dari cerita rakyat Tiongkok. Ceritanya tentang seorang pemuda yang bertemu dengan Yue Xia Lao, Dewa Pemintal Benang dalam wujud orang tua. Banyak versinya sih, tapi ada versi yang menceritakan agar dia tidak berjodoh dengan perempuan yang tidak diinginkannya. Pemuda itu berusaha memotong benang merah yang menghubungkan mereka. Itu berarti ada kemungkinan takdir bisa dirubah sekalipun sudah diikat benang merah.”

Sepertinya Yesa menceritakan hal itu padaku karena rasa bersalahnya sudah meledekku. Hatiku dengan segera memaafkannya karena ceritanya barusan memberiku ide. Benar juga, kalau memang diikat dengan benang, mungkin ada cara untuk memotongnya. 


Masalah utamanya adalah bagaimana caranya memotong benang takdir? Tidak ada satupun toko online maupun offline yang menjual gunting benang takdir ‘kan? Namun, aku bisa melihatnya pasti ada suatu cara agar aku bisa mempengaruhi benangnya, setidaknya mungkin aku bisa menyentuh benangnya. Dengan keyakinan ini sore ini aku akan menguji cobanya, mall adalah tempat yang tepat. Di pusat keramaian, orang bisa menjadi anonim dengan mudah. Aku memilih mall yang jauh dari sekolahku agar tidak ada kemungkinan aku berpapasan dengan anak satu sekolah dan memulai rumorku sebagai penguntit atau pencopet. Aku pikir, aku sudah cukup aneh tanpa rumor-rumor.

Karena banyaknya orang di sekitarku, banyak juga benang merah yang melayang-layang dalam pandanganku. Aku bersandar di salah satu pilar mall mengamati satu benang yang melayang setinggi mataku. Aku tidak mengetahui siapa pemiliknya. Dengan perlahan aku mencoba menyentuh benang itu. Namun, tanganku melewatinya begitu saja seperti mencoba meraih udara. Aku mencobanya pada beberapa benang lain dan hasilnya sama saja. Mungkin akan berhasil jika aku memegang benang yang dekat dengan ikatannya, pikirku. 

Aku segera menuju restoran fast food terdekat dan bergabung dengan antrean terpanjang. Seorang perempuan antre di depanku, jari kelingkingnya telah diikat benang merah. Benang itu menjulur ke belakang menyambung pada seorang laki-laki di barisan antrian lain.

Wow, ternyata jodoh bisa begitu dekat tapi kita tetap tidak sadar, pikirku. 

Dengan perlahan aku mencoba menyentuh benang dekat kelingkingnya. Namun, sia-sia. Aku lagi-lagi meraih udara. Walaupun sudah di dekat ikatannya, aku tidak bisa menyentuhnya. Kalau benang yang di jari kelingkingnya? Ada kemungkinan aku bisa langsung melepaskan langsung dari kelingkingnya, bukan? pikirku. Namun masalahnya sekarang, tidak mungkin untukku tiba-tiba meraih tangan perempuan ini dan meraba-raba kelingkingnya ‘kan? 

“Ares.” 

Aku terkejut melihat Yesa berdiri di sampingku. Aku melihat sekilas rasa jijik di matanya. Laki-laki sepertiku berlama-lama memandangi tangan perempuan asing di tempat umum. Yesa pasti menganggapku mesum sekarang. 


Kami duduk berhadapan di salah satu outlet es krim. Aku mentraktir Yesa satu bowl es krim dengan tambahan dua scoop es krim. Aku yakin Yesa tidak akan memulai rumor yang macam-macam. Namun, matanya masih memandang curiga padaku. 

“Jadi, apa ada hal yang mau kamu jelaskan ke aku?” tanya Yesa. 

Ya, ada, sahutku dalam hati. Namun sekalipun aku menceritakannya padamu aku tidak yakin kamu akan percaya. Jadi aku menjawab Yesa singkat. “Tidak ada.”

“Yakin, nih?” tanya lagi sambil mulai menyendok es krimnya. Aku mengangguk. Fokus Yesa pun beralih pada es krimnya. 

Aku melirik tangan kiri Yesa yang berada di atas meja. Tidak ada benang merah yang mengikat di jari kelingkingnya. Itu berarti Yesa belum bertemu dengan orang yang ditakdirkan menjadi pasangannya. 

“Kamu itu punya fetish sama tangan, ya?” tanya Yesa. Wah, sepertinya menjadi pintar bisa membuat orang berbicara tanpa filter.

“Nggaklah,” jawabku langsung. Yesa melihatku lagi dengan rasa curiganya. Aku menghindari matanya dan percakapan kami terhenti lagi.

Tiba-tiba Yesa berhenti menyendok es krimnya. Matanya melebar menatapku.“Kamu, jangan-jangan … bisa melihat benang merah, ya?” tanya Yesa kemudian. Sepertinya Yesa memang bukan orang sembarangan.


Karena Yesa terlalu pintar akhirnya aku mengakui semuanya pada Yesa. Tentang kemampuanku melihat benang merah dan keinginanku untuk memotong benang merah di jari kelingking Anis. Reaksi Yesa di luar dugaan, dia tidak menertawakanku atau menuduhku mengada-ada. Dia mendengarkanku dengan serius, bahkan sampai membiarkan sebagian es krimnya meleleh.

“Jadi kamu di sini ingin mencari tahu apa kamu bisa menyentuh benangnya atau tidak?” tanya Yesa setelah ceritaku selesai.

Aku mengangguk. “Tapi sepertinya aku tidak bisa menyentuhnya.”

“Sejak kapan kamu bisa melihat benang merah?” tanya Yesa sepenuhnya merasa penasaran. “Apa kamu bisa melihatnya sejak lahir?”

“Aku tidak bisa melihatnya sejak lahir. Aku bisa melihat benang merahnya saat aku SD. Aku tidak ingat sih umur berapa, mungkin kelas 3 atau 4.”

“Bagaimana cara kamu mengetahuinya? Maksudku, kalau itu benang merah takdir?” tanya Yesa.

“Awalnya aku tidak tahu,” jawabku. “Aku tahu itu benang merah takdir karena orang tuaku bercerai.”

Walaupun aku tidak memiliki ingatan yang bagus, tetapi memori itu selalu menjadi kenangan terkuat dalam benakku. Aku tidak akan melupakan ketika pertama kalinya aku bisa melihat benang merah. Aku melihat benang merah di jari kelingking kedua orang tuaku. Benang merah itu tidak tersambung. Orang tuaku bercerai ketika aku kelas 6 SD, dan tidak lama setelah itu baik ayah dan ibuku menikah lagi. Mereka menikah dengan orang yang dihubungkan  oleh benang merah itu. 

Namun, aku tidak menjelaskan sedetail itu pada Yesa. Yesa pun terlihat menyesal mendengar jawabanku dan tidak menuntutku untuk bercerita lebih banyak. Mungkin dengan kecerdasannya dia sudah bisa menduga apa yang terjadi. Maka dari itu, dia merasa tidak enak dan tidak bertanya. 

“Apa kamu bisa melihat benang merahmu sendiri?” tanya Yesa kemudian.

Aku menggeleng. “Aku bahkan berpikir mungkin aku tidak bisa melihat benang merahku sendiri. Kalau aku bisa melihatnya mungkin aku akan jadi pemuda di cerita rakyat itu. Aku akan curang dan itu tidak adil.”

“Sekarang pun kamu sedang mencoba untuk curang dan tidak adil. Kamu sedang berusaha menyabotase takdir orang lain. Tahu, nggak?” balas Yesa. 

Aku mengiyakannya dalam hati. Tentu saja, aku sepenuhnya sadar bahwa aku sedang berbuat curang sekarang. Sungguh paradoks dengan keyakinanku selama ini.

“Lagian, daripada kamu repot-repot motong benang, kenapa kamu tidak coba mendekati Anis aja? PDKT gitu. Kalau dia suka kamu ‘kan beres,” lanjut Yesa.

“Dia bukan jodohku. Lagipula, dengan cowok sepertiku ….” Aku membalas tanpa bisa menyelesaikan kalimatku. 

“Kenapa? Kamu nggak jelek, kok,” balas Yesa, membuat mataku terbelalak. Gadis ini, apa dia serius bilang begitu? “Aku jarang sih, terlibat pembicaraan dengan tema cowok, tapi ada juga cewek-cewek di sekolah yang membicarakanmu dan nggak ada satupun dari mereka yang cerita hal jelek tentang kamu.”

Aku terkejut mendengar Yesa dan jujur merasa senang. Aku tidak peduli kalau Yesa cuma berbohong untuk menghiburku. Mendengar bahwa ada orang berpikir baik tentangku itu saja sudah cukup. 

“Jadi, daripada keliaran di mall dengan risiko dikira mesum, kenapa kamu nggak coba PDKT sama Anis?” tanya Yesa lagi.

“Sudah terlambat sekarang, benang merahnya Anis sudah muncul,” jawabku.

“Kamu cuma cari alasan, kamu takut ditolak atau tidak percaya diri?”timpalnya.

Dua-duanya, jawab hatiku sekaligus mengiyakan ucapannya. Aku menyadari selama ini aku cuma cari-cari alasan untuk membenarkan sifat pengecutku. Namun, kali ini aku tahu aku benar-benar terlambat. “Nggak usah menghiburku tentang ini. Aku sudah tahu pemuda yang ada di cerita rakyat itu pada akhirnya selalu berakhir dengan perempuan yang sudah ditakdirkan karena mereka terikat dengan benang merah.” 

Yesa terdiam, tapi sepertinya dia mengerti maksudku. “Well, aku tidak tahu banyak soal benang merah apalagi kemampuanmu. Aku juga nggak bisa bilang kalau kamu bisa mendekati Anis. Tapi, aku rasa aku bisa bilang ini ke kamu, kamu pasti tahu di versi mana pun pada akhirnya pemuda yang mencoba mencurangi jodohnya itu jatuh cinta pada perempuan yang jadi jodohnya. Itu artinya perasan manusia bisa berubah dan akan selalu berubah. Apa kamu tidak kepikiran mungkin saja yang menyebabkan benang merah itu muncul bukan cuma soal takdir tapi juga perasaan manusia itu sendiri? Mungkin akhirnya dia bisa mencintai atau menerima seseorang. Makanya, sebelumnya kamu tidak bisa melihat benang merah di jari Anis dan sekarang bisa.”

Aku terdiam karena jawaban panjang Yesa. Sebenarnya, aku tidak pernah benar-benar memikirkan benang merah takdir. Kecuali fakta bahwa aku bisa melihatnya dan hal ini menyebabkan perceraian orang tuaku. 

“Kamu tahu mungkin selama ini aku salah menilai kamu, Yesa,” ucapku sejujurnya pada Yesa. 

“Aku juga merasa seperti itu,” balasnya sambil tersenyum. “Kukira kamu introvert yang cuma sok edgy, tapi kamu benar-benar kesulitan selama ini. Harusnya aku lebih peduli dengan orang lain baru menilainya.”

Aku mengangguk dan tersenyum kecil untuk menunjukan bahwa aku menyetujui ucapannya. Tanpa sengaja aku melihat benang merah yang keberadaannya semakin jelas di jari kelingking Yesa. Mataku mengikuti arah benang merah itu, benang merah itu tidak melayang-layang di udara namun statis di atas meja kami. Tangan kiriku ada di atas meja.


Photo by Ava Sol on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *