Oleh Lufti Avianto
Saya yakin, setiap peristiwa itu -yang sudah ditakdirkan Tuhan- semuanya baik dan membawa kebaikan. Syaratnya, kita harus berprasangka yang baik dan mencari kebaikan apa yang bisa diambil dari takdir itu.
Ya, harus dicari. Itu syarat mutlak untuk menemukan kebaikan yang kita inginkan dan kelak akan bermanfaat buat kita.
Saya merasakan hal itu, ketika Covid-19 ini hinggap.
Seseorang yang sehari-hari dikeluhkan tentang kinerjanya di kantor, ternyata punya kebaikan yang lain, yang sebelumnya tertutupi kekesalan atas nama profesionalisme.
“Gila, bisa-bisanya dia lempar tanggung jawab ke anak buahnya,” seru seorang teman.
“Kok dia jadi pemimpin, kerjanya gitu doang,” yangan lain merendahkan.
“Gajinya gede banget lho, kerjanya payah,” yang lain menimpali.
Kebiasaan toxic membicarakan kinerja buruknya, -tidak hanya kepada atasan, bawah dan koleganya-, kerap membuat kita buta dalam melihat kebaikan yang lain. Termasuk saya.
Maka ketika Tuhan menakdirkan saya harus istirahat lebih dari tiga pekan karena penyakit ini, memaksa saya lebih banyak merenung tak hanya soal kehidupan setelah kematian, fokus penyembuhan, tetapi juga memikirkan hikmah pada setiap kejadian.
Termasuk soal rekan kerja itu.
Saat saya sakit, dialah orang yang sangat perhatian. Berulang kali dia tanya tentang perkembangan kondisi saya, berinisiatif mengumpulkan bantuan mengirimkan susu, madu dan vitamin. Berkoordinasi dengan tim kesehatan kantor. Juga memimpin doa pada rapat internal..
Dia juga sering bertanya, “Bantuan apalagi yang diperlukan?”
Saya benar-benar terharu. Mata hati saya akhirnya terbuka melihat kebaikan itu yang terasa begitu tulus. Kebaikan demi kebaikan itu, pada akhirnya mampu meluluhkan ego saya sebagai anak muda, yang sering merasa bisa berkinerja lebih baik.
Memang, secara profesional, dia memiliki banyak kelemahan. Namun dari kelemahan itu, saya justru sering mengamati bagaimana dia bertindak, kebijakan yang diambil dan cara dia memimpin timnya. Hal-hal yang menurut saya kurang tepat, saya jadikan pembelajaran yang berguna bagi saya dalam menjadi pemimpin dalam skala yang lebih kecil.
Dari sini, saya justru menjadikan dia role model yang perlu dikoreksi agar kesalahannya tak saya ulangi kelak, seandainya saya jadi pemimpin.
Dan kebaikan yang telah melekat pada dirinya, tetaplah harus ditiru.
Photo by Jehyun Sung on Unsplash