Saya belajar dan mulai menulis bermula dari rasa iri. Iri pada teman-teman yang tulisannya dimuat di media cetak. Padahal isi tulisan mereka, saya juga tahu. Bedanya mereka menulis, saya tidak.
Coba mempelajari tulisan-tulisan mereka. Ada yang menghadirkan sebab akibat. Juga menyajikan pemikiran dan dilanjutkan pada alenia berikutnya contoh-contohnya.
Mulailah kirim tulisan ke media cetak itu. Hingga berpuluh-puluh kali terkirim, tak satu pun dimuat.
Walau tidak dimuat, tidak patah semangat. Saya malah jadi percaya diri untuk menulis. Merasa mampu menulis.
Belajar memang sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Belajar pada siapa saja, termasuk pada teman.
Saya pernah berkunjung ke rumah Ustadz Yusuf Mansur. Ustadz yang biasa dipanggil UYM ini sedang menemani putrinya; Wirda yang sedang tahsin dengan Syaikh Khonas.
Usai putrinya tahsin, giliran ayahnya yang tahsin surat Al-Faatihah.
Masya Allah, orang sekelas ustadz masih mau diperiksa bacaannya. Memperhatikan penjelasan makhroj yang benar.
Tapi ternyata bukan UYM saja yang mempunyai sikap haus ilmu. Aa Gym pun demikian.
Menurut informasi teman yang sering hadiri pengajian Aa di masjid sebuah bank di Jakarta, Aa selalu datang lebih awal. Lebih awal dari waktunya untuk sampaikan tausiyah. Aa dengar ceramah ustadz yang ‘bertugas’ sebelum dirinya. Usai ustadz itu berceramah, Aa menemuinya seraya ucapkan terima kasih atas tausiyahnya