Kresek

Oleh: Lufti Avianto

Kresek itu tergantung di setang motorku. Sepertinya dicantolkan seseorang, mungkin tetanggaku, tadi malam. Aku baru tahu, ketika akan sahur untuk puasa Syawal.

“Siapa yang kirim ya? Ada yang kabari nggak?” Aku heran sambil menyambar kresek itu, lalu membukanya.

Martabak manis dengan isian cokelat dan kacang yang sudah dingin dibekap angin malam.

Istriku menggeleng, tanda tak ada satupun orang yang mengabari kalau sudah mengirimkan martabak. Aku mengernyit dan menatap wajahnya lekat-lekat, ia menggeleng lagi.

Sejak kami melaporkan diri ke satgas covid di lingkungan perumahan, Pak RT jadi paling sibuk membantu kami berkoordinasi dengan puskesmas setempat, membeli oksigen kalengan -karena aku mengidap asma-, menggalang doa di grup perumahan, dan memerintahkan satpam komplek untuk memberi layanan ekstra: mengantar paket apapun untuk kami. Biasanya, paket apapun, entah belanjaan online atau makanan yang dipesan dari aplikasi daring, harus kami ambil sendiri ke pos satpam.

Sejak itu, ada saja paket, juga kresek, yang ada di teras rumah atau nyantol di setang motorku.

Kresek itu beraneka isinya. Ada salak, jeruk. Juga aneka jajanan pasar seperti batagor, somay, kue pancong dan kue ape. Ada juga masakan matang, bahan pokok seperti beras, telur, daging giling, minuman, madu, vitamin bahkan sabun cuci.

Sebagian kami tahu identitas pengirimnya, seperti sahabat, teman kantor, tetangga. Sayangnya, sebagian lagi tidak: ia memilih menjadi penderma rahasia. Seperti malam itu, kresek berisi martabak manis, yang sudah dingin namun terasa hangat di hati kami sekeluarga.

Malam lainnya, hal ini terjadi lagi. Seorang sopir ojek, tiba-tiba menelepon, menanyakan rasa yoghurt yang aku inginkan. Aku tahu, ada orang yang membelanjakan lewat aplikasi daring untukku. Saat aku tanya ke sopir ojek itu, dia bilang lupa nama pemesan dan tak bisa melihat riwayatnya di aplikasi karena ia sudah harus mengirimkan order lainnya.

Rasanya mustahil, kupikir. Itu pasti karena si pemesan tak ingin diketahui identitasnya. Aku hanya bisa bersyukur dan berdoa untuknya, ketika kresek itu tiba di rumah.

Aku menganggap banyaknya doa dan bantuan itu, sebagai anugerah. Namun sayangnya, khusus makanan, kami tak bisa berbagi kepada tetangga kanan-kiri atau satpam seperti yang biasa kami lakukan.

“Mereka bakal ngeri-ngeri sedap kalau terima makanan dari kita,” aku berseloroh. Kini, kami harus pintar-pintar menghabiskannya agar tak ada makanan yang sia-sia.

Perhatian memang indah dan menyenangkan. Aku pernah menyempatkan diri mengantar dua paket nasi briyani kambing, untuk keluarga sahabatku yang saat itu juga tengah menjalani isolasi mandiri di rumah. Rasanya, menyenangkan sekali bisa merepotkan diri untuk memberi perhatian kepada orang lain. Itu mungkin juga yang dialami mereka, yang memberi perhatian kepada kami. Perhatian yang tak kami minta balasnya, tapi datang untuk memberi dukungan agar kami lekas pulih.

Tuhan mungkin punya cara-Nya sendiri menggerakkan hati hamba-Nya.


Photo by Sean Bernstein on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *