Oleh Lufti Avianto
Dua hari menjelang Ramadhan.
Aku sudah membereskan pekerjaan hari ini. Laptop sudah kumatikan, kabelnya sudah kugulung, lalu semuanya sudah kujejalkan pada tas selempang biru dongker itu. Berkas di meja juga sudah rapi jali, aku bersiap pamit pada rekan-rekanku.
Kubikel di pojok sore itu tentu akan aku rindukan. Aku, pemilik kubikel yang menyenangkan karena selalu diterpa matahari sore pada golden hour itu, akan cuti. Ini adalah waktu yang sangat aku idam-idamkan.
“Mas, udah mau pulang?” rekan kerjaku satu timku menyapa.
“Iya, ini udah mau siap-siap pulang,” kataku sambil mencangklong tas. “Gue pamit ya. Sampai ketemu bulan depan. Maap lahir batin.”
Ia mengangguk, lalu aku ngeloyor ke ruang sebelah, dimana ruang kerja rekan-rekan kerjaku yang lain, juga atasanku, berada. Aku pamit kepada mereka, sambal mengucapkan selamat menjalani ibadah puasa, juga selamat berhari raya.
Ya, aku diizinkan cuti satu bulan selama Ramadhan, hingga hari raya. Tentu ini sebuah anugerah luar biasa aku bisa diizinkan ‘menghilang’ dari rutinitas kerja untuk fokus beribadah selama bulan suci.
Aku rasa, aku telah bekerja keras selama 11 bulan, dan aku pantas mendapatkan cuti sebulan penuh. Tentu saja, cuti tahunan yang 12 hari itu tak cukup. Aku beruntung, masih memiliki sisa cuti lima tahunan, sehingga genap jumlah cutiku 30 hari. Jadi, aku akan kembali masuk kerja setelah hari raya.
Sore itu, aku pamit dengan riang gembira. Bayangan aku akan fokus beribadah dengan target-target ibadah sunnah dan wajib sudah kupersiapkan jauh hari sebelumnya. Tak hanya target baca al-Quran beberapa kali, aku juga menargetkan menghafal beberapa juz. Lalu shalat tarawih full, shalat dhuha dan tahajjud yang juga full. Bersedekah, dan juga I’tikaf di 10 hari terakhir untuk meraih keridhaan Allah swt di malam al-Qadar.
Masyallah, indah dan nikmat betul rasanya. Aku terharu dan menitikkan air mata, membayangkan betapa syahdunya ibadah Ramadhan yang kuidam-idamkan itu.
Sebagai pekerja kantoran, tentu ini adalah momen langka. Aku beruntung bisa mendapatkannya di tahun ini.
Tiba-tiba. “Gimana Maaaas….” Suara di video conference membuyarkan lamunanku. Bisa-bisanya di tengah online meeting, aku melamun.
“Eh iya, saya ikut aja bagaimana baiknya,” aku tergagap, dan jawab sekenanya. Lalu sibuk kembali menengok lamunan itu.
Ya Rabb… siapa yang nggak ingin fokus beribadah selama 30 hari bulan Ramadhan? Aku membatin.
Selama aku masih bekerja pada orang lain, selama itu pula aku harus menuruti banyak aturan. Sempat tebersit cita-cita untuk memiliki usaha agar bisa mengatur hidup lebih leluasa, tentu saja itu bukan perkara mudah bagi orang yang selama ini menjadi pekerja. Butuh mental yang lebih beran iuntuk mendobrak kenyamanan selama ini.
Akhirnya, seperti kekhawatiran-kekhawatiran yang selalu menghantui selama menjalani ibadah Ramadhan pun menjadi kenyataan. Aku sulit menjalani dengan maksimal. Antara waktu bekerja, pergi-pulang di jalan, dan juga tanggung jawab lainnya, tertatih mengiringi Ramadhan ini dengan kelezatan dan kekhusyuan ibadah.
Baca al-Quran berkejaran dengan hari yang ada. Tarawih pun tak sepenuhnya kudirikan. Ada kalanya badan ini terasa remuk tak bisa bangkit meski hanya menjalankan dua rakaat saja. Tahajjud juga sering terlupa, juga sedekah yang masih terasa enggan.
Ya Rabb, bagaimana bila ini Ramadhan terakhirku, apakah Engkau akan merahmati kualitas ibadahku yang apa adanya?
Tak terasa, Ramadhan tersisa beberapa hari saja. Aku masih sibuk mengurus dunia –sesuatu yang telah Dia jamin, bahkan sebelum aku terlahir ke dunia.
Photo by Steve Halama on Unsplash