Oleh: Lufti Avianto
Sudah tujuh tahun, aku bekerja di kantor pemerintahan. Seperti kebanyakan pekerja pada umumnya, aku berangkat di saat matahari belum terlihat benar, dan pulang saat hari sudah gelap. Begitu rutinitas setiap hari.
Tantangan bukan itu saja. Bagi pekerja yang memilih luar Jakarta sebagai tempat tinggalnya, tentu jarak rumah-kantor tak bisa dikatakan dekat. Tak heran, rekan-rekan di kantor berseloroh bagi orang-orang seperti kami, “Dari rumah, ke manapun sih dekat. Rumah sakit, mall, bank, sekolah anak, semuanya dekat. Cuma yang jauh ke kantor aja.”
Benar. Jarak rumah kami ke kantor sekitar 30 kilometer. Jadi, sehari kami mengukur jalan pergi – pulang, sekitar 60 kilometer. Ada yang memilih naik commuter, mobil omprengan atau kendaraan pribadi. Aku memilih yang terakhir, dengan sepeda motor.
Kau bisa bayangkan, layaknya jarak Bandung – Jakarta yang tiap hari kutempuh dalam tiga sampai empat jam sehari dengan sepeda motor?
Maka jangan tanya bagaimana tingkat stres kami. Di jalan, banyak sekali tantangan. Mulai dari jalanan macet, hujan, kendaraan lain yang ugal-ugalan, kecapaian, dan segala macamnya.
Maka, sejak beberapa tahun terakhir, wajar kalau aku memikirkan keluar saja dari pekerjaan ini. Pikiranku sederhana, dengan keterampilan utamaku menulis, bukankah kita bisa bekerja di rumah saja? Bukankah aku bisa lebih produktif bekerja di rumah daripada mengukur jalan empat jam sehari dengan badan yang keletihan?
Boom!
Allah Swt memberiku kesempatan yang ingin kurasakan. Bakat introvertku tak pernah mendapatkan penyaluran terbaiknya di luar masa pandemi. Aku jadi sering –bahkan setiap hari– bekerja di rumah ketika masa awal pandemi Covid-19 ini melanda. Termasuk ketika bulan suci datang, kami semua melakukan kegiatan di rumah.
Ibadah puasa, bila hanya menahan lapar dan haus dilakukan di rumah saja, tentu terasa jauh lebih mudah. Dua anak kami, 10 dan 6 tahun, menjalaninya tanpa hambatan berarti. Tantangannya justru ada pada bagaiamana memeriahkan Ramadhan meski kita berada di rumah saja dengan keluarga kecil ini saja? Ini yang tak mudah.
Sudah menjadi kebiasaan anak sulung kami, ia akan shalat tarawih di masjid di dalam komplek perumahan setiap malam Ramadhan, menunggu waktu syuruq setelah shubuh, atau beritikaf di masjid pada 10 malam terakhir Ramadhan. Namun tahun lalu, itu tak bisa kami lakukan.
Shalat tarawih full dilakukan di rumah. Si sulung bertanya, “Kenapa kita nggak shalat di masjid?”
Kerinduan itikaf di Masjid Kubah Mas pun tak lagi bisa kami penuhi. Ia bertanya lagi, “Kok kita nggak ke nginep di Masjid Kubah Mas lagi?”
Takbiran dan Shalat Idul Fitri, kami lakukan secara sederhana di pagi 1 Syawal di rumah. Bahkan yang tak kalah menyedihkan, kami tak bisa berkunjung ke rumah orangtua untuk berkumpul di hari fitri. Anak-anak mengeluh, “Kenapa kita nggak ke rumah nenek?”
Yang kami lakukan, seperti meeting rutin kantor di saat pandemi, yakni dengan video conference bersama saudara dan orangtua. Tentu saja itu tak cukup. Tak ada peluk dan cium, tak ada kebersamaan menyantap opor dan ketupat, tak ada berbagi cerita.
Tahun ini, meski pandemi belum benar-benar sirna, tapi tampaknya tak seketat Ramadhan tahun lalu. Kami sudah diizinkan shalat berjamaah di masjid, perjalanan dalam kota masih ditoleransi –meski mudik masih dibatasi– tempat umum sudah dibuka. Semua dengan standar protokol kesehatan yang ketat. Tapi, itu sudah jauh lebih baik.
Aku mencoba mengambil hikmah dari peristiwa ini. Lebih banyak bersyukur bahwa kami baik-baik saja di tengah kondisi ini. Lebih banyak merenung dan mengevaluasi diri. Dan lebih mempersiapkan diri, kalau pandemi merenggut salah satu di antara kami atau orang-orang yang kami cintai.
Photo by Nirmal Rajendharkumar on Unsplash