Dua Kali Ramadan yang Berbeda

Oleh: Pipit Fitria

Pandemi telah mengguncang bumi Indonesia. Tepatnya saat memasuki bulan Maret, Indonesia resmi menjadi tuan rumah virus terganas hingga memasuki tahun kedua di bulan Ramadan 2021. Betapa tidak, pandemi sukses melumpuhkan orang-orang yang memiliki imunitas rendah untuk tumbang bahkan hingga menyentuh tanah basah dengan berpindah ke alam yang berbeda. “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.”(QS. Al Ankabut : 57).

Sungguh sangat menjadi perhatian bagi siapa saja yang peduli dengan kesehatannya. Pasalnya, musuh terbesar kesehatan dunia saat ini tidak dapat terlihat oleh mata, tidak dapat tersentuh oleh tangan, dan tidak dapat didengar serangannya oleh telinga. Sungguh sangat misterius telah melumpuhkan siapapun yang mengabaikan kesehatannya.

Dua kali Ramadan, ujian dunia tengah merasakan kewaspadaannya terhadap virus ini mulai dari menjadi protokol kesehatan dengan ketat, seperti; menjaga jarak, mencuci tangan dengan menggunakan sabun, memakai masker, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Pemerintah pun sudah membuat aturan akan larangan untuk bepergian keluar kota. Tetapi yang paling disayangkan adalah masyarakat yang masih mengabaikan hal tersebut.

Dua kali Ramadan menjadikan kita hidup bertetangga dengan virus yang tak kasat mata dan terganas. Dua kali Ramadan pula kita hidup dengan cara yang tak biasa yaitu menjaga protokol kesehatan yang mana hal itu menjadi cara pandang baru terhadap kesehatan yang tak boleh diabaikan begitu saja.

Banyak cara yang dilakukan untuk menjaga diri salah satunya dengan bersyukur jika sampai hari ini kita masih bisa menikmati sejuknya Ramadan, nikmatnya buka puasa, dan sedapnya saat sahur. Betapa kenikmatan syariat Allah melalui Ramadan dapat dirasakan dengan cara bertetangga dengan Covid-19, yang mana Allah memberikan ujian itu adalah sesuai dengan kemampuan setiap hamba-Nya. Bukanlah Allah memberikan itu semua karena bencinya, atau murkanya. Allah menguji hamba-Nya sebagai bentuk rasa sayang yang Allah tunjukkan melalui musibah, untuk mengukur sejauh mana rasa syukurnya.

Sebagai seorang hamba terkadang ada rasa mengeluh bahkan terhadap nikmat yang sudah Allah berikan sekalipun. Untuk kali ini saja, Ramadan begitu sangat berbeda. Dua kali Ramadan merasakan musim pandemi. Apakah tandanya Allah tengah murka terhadap hamba-Nya? Karena pandemi ini berlangsung sudah lebih dari setahun.

Pandemi telah menghambat akses pergerakan dari berbagai lini. Sebut saja dari segi ekonomi, pendidikan, bisnis, dan lainnya. Akses untuk keluar masuk kota pun terbatasi sehingga tidak dapat bertemu kerabat jauh dengan mudah.

Saya pun harus bersabar dengan keadaan ini sebab keluarga yang ada di luar kota hanya bisa bersilaturahim melalui media sosial, tentunya akses yang dilalui sangat terbatas. Meskipun demikian, hal itu adalah bagian dari menyayangi keluarga untuk tetap menjaga kesehatan di manapun berada.

Covid-19 bukan lagi dianggap sebagai sebuah dongeng yang kemudian kita tidak percaya dan akhirnya abai. Ia benar-benar mengintai bahkan meresahkan posisi muslim saat khusyuk dalam ibadahnya. Ramadan kali ini pun menyentuh kebiasaan yang sama tetapi berbeda kesan yang terjadi di masyarakat. Bagaimanapun itu, kita tetap harus diyakini bahwa apa yang terjadi itu atas kuasa-Nya, tidak ada yang bisa mencegahnya bahkan menundanya. Semuanya telah tertulis di dalam kitab yang nyata, Lauh Mahfudz.

Di musala biasa tempat saya menyandarkan diri, telah membatasi kegiatan Tarawih dan keagamaan lainnya yang seharusnya lebih ramai dari Ramadan biasanya. Tetapi Ramadan kali ini berbeda. Meskipun tidak terlalu ketat seperti Ramadan tahun lalu, sebagian besar masyarakat sudah mulai mengurangi prokes di daerah kabupaten. Sebab informasi Covid-19 tersebut belum terlalu santer seperti tahun sebelumnya sehingga terkesan abai.

Masyarakat pun sudah mulai bosan dengan segala keriuhan dalam menjaga protokol kesehatan. Kegiatan ibadah di bulan Ramadan pun mulai padat kembali dengan aktivitas meski hanya beberapa hal saja yang tetap dijaga yaitu memakai masker. Seharusnya tetap menjadi perhatian bersama untuk senantiasa menjaga kesehatan dan mengikuti anjuran pemerintah. Akhirnya, pola menjaga kesehatan itu kembali lagi kepada diri sendiri untuk senantiasa mawas dan peduli. Bukan hanya untuk orang lain, melainkan untuk diri sendiri.


Photo by Ben White on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *