Harapan di Bulan Ramadan

Oleh: Pipit Fitria

Pernah aku menangis tersedu-sedu dalam sebuah harap dan cemas. Setiap kali ramadan berakhir, aku berpikir bahwa itu adalah ramadan terakhir. Sudah tak ada lagi tempat dan kesempatan kita untuk melambungkan doa dan melangitkan harapan.

Setiap manusia tidak ada yang menginginkan hidup sia-sia, kecuali bagi orang-orang yang tidak percaya akan hari akhir. Maka ia akan dengan mudah melakukan perbuatan buruk di manapun tanpa pernah menyadari apalagi bertaubat. Dengan kesudahan yang baik adalah impian dan dambaan bagi setiap orang.

Suatu ketika aku pernah berdoa setiap memasuki ramadan, aku berdoa dengan harap dan cemas agar dapat dipertemukan kembali dengan ramadan yang akan datang. Teringat dosa-dosa yang kulakukan belum sempat aku bertaubat kepada-Nya hingga pada akhirnya dengan puji syukur, Allah yang berkenan mengabulkan.

Sungguh sedih dengan pemandangan orang yang meninggal di bulan Ramadan. Apalagi jika tidak menjadikan ramadan sebagai bulan ampunan dan keberkahan untuk memperbaiki diri. Orang yang rugi adalah yang tidak mendapatkan ampunan dari Allah walaupun umurnya melampaui datangnya ramadan. Sungguh sangat menyedihkan!

Keajaiban yang aku rasakan adalah khataman bacaan Alquranku. Aku bukanlah orang yang dekat dengan Alquran, tetapi dengan keberkahan Ramadan. Ramadan tahun lalu aku berhasil menyelesaikan bacaan Alquranku yang berjumlah 30 juz tepat sejumlah 30 hari Ramadan. Perasaanku sangat gembira, bukanlah hasil yang harus dibanggakan. Tetapi di situ aku merasa sudah berhasil melawan hawa nafsuku sendiri yang mengajak untuk tidak bertilawah seiring dengan adanya waktu berhalangan bagi wanita. Maka otomatis aku tidak tilawah 1 hari 1 juz melainkan terkadang 1 hari 2 juz menyesuaikan hari dan sisa juz yang belum aku baca, lalu aku bagi dua sehingga sehari tersebut aku harus menuntaskan bacaan Alquranku.

Aku memang tidak mendapat hadiah dari khataman Alquran tetapi kepuasan tersendiri bahwa sebagai muslim memang harus dekat dengan Alquran apalagi saat bulan Ramadan. Itulah momen yang tidak boleh dilewatkan sedikit pun. Dekat dengan Alquran menjadikan kita sebagai muslim yang tahu akan kitabnya sendiri sehingga kehidupan di dunia ini mudah untuk dijalani.

Pernah suatu ketika, ayahku pernah berkata; “Puasa itu adalah panas. Bentuk panas yang berasal dari tubuh sehingga manusia itu harus dapat menahan dari hawa panas yang ada di dalam dirinya. Hawa panas itu bersifat alami atau dari ruhani.”

Aku mengangguk pelan. Pesan yang dilontarkan bapak telah menyihir hatiku agar lebih dapat menahan amarah ketika berpuasa. Aku beristighfar ketika mengingat dosa yang sudah banyak dilakukan. Seolah dosa saat berpuasa itu nyata di depan mata. Banyak orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan dan mengejar amal yang tertinggal. Semua sibuk dalam ibadah munajatnya kepada Allah. Banyak yang hal yang diminta termasuknya adalah menjadi manusia yang lebih baik.

Siapapun berhak untuk mendapatkan diri sebagai manusia yang bertakwa sesuai dengan pesan di kalimat akhir QS. Albaqarah bahwa Allah menginginkan kita menjadi manusia yang bertakwa sebagaimana perintah puasa tersebut sudah dahulu dicontohkan oleh generasi sebelum kita. Dengan berpuasa, maka harapan untuk menjadi manusia yang lebih sadar dirinya akan timbul dan kembali kepada fitrah yaitu Laa Ilahaa Illallah.


Photo by the dancing rain on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *