Harap Dalam Lirih Doa

Oleh : Siti Atikah

Ba’da Ashar, 14 Ramadan 1442 H, masuk sebuah pesan ke dalam whatsapp grup keluarga kandung ayahku. Innalillahi wa innaailahi rojiuun. Yaa Allah, rupanya kabar duka datang dari keluarga sepupu Ayah yang tinggal di Karawang. Salah satu sepupu Ayah (masih paman hitungannya bagi saya) meninggal dunia setelah beberapa pekan lalu dirawat di RS karena Covid-19. Selama setahun terakhir, sejak pandemi melanda, bergantian saja sepupu dari pihak ayahku kembali menghadap Sang Mahakuasa. Tidak hanya karena terjangkit Covid, namun juga karena penyakit lainnya.

Sungguh umur manusia menjadi rahasia Allah SWT semata. Tiada satupun dari makhluk-Nya yang tahu kapan waktu masing-masing dari diri ini tiba menghadapNya. Apalah daya manusia untuk menghalangi kedatangan Izrail, malaikat pencabut nyawa. Kita tak ‘kan pernah tahu kapan giliran kita akan datang menghampiri, merenggut segala yang dimiliki di dunia fana ini. Kita tak ‘kan pernah tahu kapan “waktu” akan berbicara bahwa saatnya telah usai….

Bicara tentang waktu, saya teringat akan lagu Bimbo yang berjudul “Setiap Habis Ramadhan”. Ada bagian dari liriknya lirih penuh dengan doa. Pengharapan seorang hamba kepada Tuhannya agar diberikan waktu bertemu dengan Ramadan di tahun berikutnya. 

Setiap habis Ramadan, hamba cemas kalau tak sampai

Umur hamba di tahun depan, berilah hamba kesempatan


Setiap habis Ramadan, hamba rindu lagi Ramadan

Mohon tambah umur setahun lagi, berilah hamba kesempatan

Setiap kali lagu ini diputar maupun saat kuingat dan kuresapi liriknya di saat Ramadan seperti saat ini, maka air mata pun tak terbendung mengalir deras hingga sesak di dada. Betapa diri ini begitu cemas dan berharap agar Ramadan yang tengah dijalani bukanlah Ramadan terakhir bagiku. Cemas karena sadar betul bahwa bekal untuk kembali ke pangkuan-Nya masih jauh dari cukup. Sadar bahwa masih banyak khilaf dan dosa yang belum terbayar dengan sujud-sujud taubat maupun penyesalan. Maka, salah satu pengharapan dalam doa sepanjang Ramadan yang tak pernah absen kuhaturkan adalah dapat sampainya lagi diri ini di Ramadan tahun berikutnya.

Adapun berdoa bagi kita hamba Allah sesungguhnya bernilai ibadah. Allah sangat menyukai hamba-hambanya yang berdoa. Berlama-lama curhat pada-Nya, bukan malah curhat di media sosial. Mengapa? Karena doa merupakan tanda penghambaan dan ketundukan kita pada-Nya. Sebuah perwujudan bahwa tiada yang patut kita sombongkan sebagai manusia karena hanya kepada Allah-lah kita bersandar dan memohon segala pertolongan. Bahkan Allah sendiri dalam Q.S. Al Baqarah ayat 186 berjanji akan mengabulkan doa hamba-hamba-Nya yang beriman dan melaksanakan segala perintah-Nya:

 “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepadaku apabila ia memohon kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu dalam kebenaran.”

Perlu diketahui bahwa 3 ayat sebelumnya dan 2 ayat setelahnya menjelaskan tentang ibadah puasa Ramadan. Maka, dari ayat tersebut sudah sepatutnya kita sebagai mahkluk ciptaan-Nya senantiasa berdoa dalam segala lini aktivitas yang kita jalani. Apalagi di bulan Ramadan, bulan istimewa yang merupakan salah satu waktu mustajab dikabulkannya doa-doa kita, dengan catatan kita harus beriman pada Allah disertai dengan menjalankan segala perintah-Nya.  Maka, sungguh sombong adanya jika kita enggan berdoa. Mengapa? Karena Allah Sang Maha Pengatur roda kehidupan di muka bumi ini, termasuk segala urusan kita.

Berkenaan dengan terkabulnya doa, maka adab-adab berdoa kiranya harus kita lakukan. Usahakan ketika berdoa dalam keadaan berwudhu serta bersikap penuh penghambaan. Sebagaimana ketika kita menghadap dan meminta sesuatu kepada sesama manusia; kepada atasan, guru, atau orang tua kita misalnya, pastinya agar permintaan terwujud, maka sikap dan ucapan kita harus santun, kan…. Nah, apalagi saat memohon kepada Allah, sudah sewajarnya kita memerhatikan sikap dan cara kita saat berdoa.

Salah satu ulama sekaligus pujangga Arab tersohor pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid yang bernama Abu Nawas, bahkan membuat bait-bait doa dalam syairnya yang terkenal dengan sebutan doa al-i’tiraf. Ini merupakan salah satu adab dan cara berdoa yang lirih ketika “merajuk” kepada Allah, dengan segala ketundukan dan kelemahan, memohon agar segala harapan dikabulkan. 

Berikut adalah kutipan doa indah tersebut yang saya ambil dari tulisan Ust. Arrofik Showi, S.Ag. dalam unggahannya di Warta Tangsel. Setiap kali saya rapalkan doa ini, khususnya pada waktu melaksanakan ibadah tarawih, entah mengapa selalu berhasil melunakkan kekerasan hati saya dan menyadari betapa kecilnya diri ini sebagai hamba Allah. 

Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa ‘alaa naaril jahiimi

(Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahim)

Fa hablii taubatan waghfir zunuubii fa innaka ghaafirudzdzambil ‘azhiimi

(Maka berilah aku taubat ampunan dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar)

Dzunuubii mitslu a’daadir rimaali fa hablii taubatan yaa dzaaljalaali

(Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan)

Wa ‘umrii naaqishun fii kulli yaumi wa dzambii zaa-idun kaifah timaali

(Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya)

Ilaahii ‘abdukal ‘aashii ataaka muqirran bidzdzunuubi wa qad da’aaka

(Wahai, Tuhanku ! Hamba Mu yang berbuat dosa telah datang kepada-Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada-Mu)

Fa in taghfir fa anta lidzaaka ahlun wa in tathrud faman narjuu siwaaka

(Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni. Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?)

Kembali ke soal “waktu kita kembali” yang menjadi rahasia Allah semata. Karena kita, yang masih diberi kesempatan hidup, tak ‘kan pernah tahu kapan saatnya tiba, apakah malam ini, besok, atau nanti, maka sebagai hamba-Nya yang beriman harus senantiasa siap dan mempersiapkan diri menyambut kedatangannya. Seoptimal mungkin kita harus bisa menjalankan rutinas dan aktivitas yang diridhoi oleh-Nya.  Memperat tali silaturahmi kepada sanak saudara dan kerabat, bersedekah kepada orang-orang yang membutuhkan, berinfaq di jalan Allah, bekerja untuk menafkahi keluarga dengan cara halal yang senantiasa diniatkan beribadah, serta terus belajar dan berbagi ilmu yang bermanfaat bagi diri maupun masyarakat.  Ketika sadar melakukan kekhilafan, segeralah untuk memohon ampunan-Nya. Rendahkan dahi, bersujud, dan berdoa.

Bagi yang telah dipanggil olehNya, maka doa dari anak keturunannya, sanak keluarga, dan kerabat adalah hal yang sangat dinanti para ahli kubur itu. Doa menjadi penerang dan penyejuk mereka di alam kubur. Rasullullah SAW bersabda, seperti yang tertulis dalam sebuah hadis bahwa:

 “Apabila salah seorang mendoakan saudaranya sesama muslim tanpa diketahui oleh yang didoakan, maka para Malaikat berkata ‘Amin’ dan semoga engkau memperoleh pula seperti apa yang engkau doa kan itu.” (HR Muslim dan Abu Daud). 

Oleh karenanya, alangkah baiknya kita tak segan mengirimkan bait – bait doa kepada mereka, saudara seiman, yang telah berpulang ke haribaanNya agar diampuni pula dosa-dosanya dan diterima amal ibadahnya. Niscayanya kita pun sedang memohon hal yang sama pada Allah dengan harapan agar dikabulkan oleh-Nya. Aaamiin. Insyaa Allah.

Semoga kita juga masih diberi umur agar dapat bertemu di Ramadan tahun berikutnya, dalam suasana pandemi Covid-19 yang sudah mereda, agar ibadah yang kita lakukan bisa lebih baik lagi kualitasnya. Aaamiin. Insyaa Allah.

-Catatan Ramadan Atik 2021-

#RamadhanWritingChallenge

#RamadhanBersamaBooks4care

#RamadhanProduktif


Photo by Jamie Wheeler on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *