Allah Menjawab Lebih Baik

Oleh Lufti Avianto

Peristiwa yang terjadi sebulan setelah Ramadhan 1431 Hijriyah atau akhir September 2010, mungkin tak akan kulupa.

Di kantor majalah Islam itu, pemimpin redaksi memanggilku ke ruang kerjanya. Aku tahu, ini soal kelanjutan masa depanku di kantor itu. Enam bulan lalu, aku adalah wartawan baru di kantor itu, yang pindah dari majalah berita ternama. Dan ketika aku tiba, sang pemimpin redaksi itu berjanji, aku harus menjalani enam bulan masa uji coba. Katanya, itu hanyalah formalitas belaka sebelum diangkat menjadi karyawan tetap. Aku turuti saja.

Tapi, setelah enam bulan berlalu, bukan surat pengangkatan sebagai karyawan tetap yang aku terima, melainkan surat ‘pisah’. Jelas tanpa pesangon apa-apa, padahal dalam hitungan hari, aku akan segera menjadi seorang ayah.

Apa yang paling memukul harga diri seorang lelaki –seorang suami dan juga calon ayah– selain ia kehilangan pekerjaan?

Siang itu, ketika surat pisah di tangan, ingin rasanya aku angkat meja kerja sang Pemred, dan aku timpakan ke wajahnya. Tapi beruntung, kesadaranku masih terjaga sepenuhnya. Aku urungkan niat itu karena teringat calon anakku yang akan segera lahir ke dunia, dan aku tak ingin ia mewarisi sifat buruk itu.

Aku keluar ruangan, dan bergegas membereskan barang-barang. Karena esok harinya, 1 Oktober 2010, aku sudah resmi berhenti. Sore itu, aku pamit ke beberapa orang saja, dan pulang dengan membawa sakit hati yang luar biasa.

Aku tahu persis, penyebab aku urung diangkat sebagai karyawan tetap adalah fitnah rekan kerja seniorku. Ia menggunjingkan gajiku yang lebih besar darinya. Ia tak suka cara kerjaku yang dianggap tak militan. Ia mengadu ini-itu ke sang pemred –yang kebetulan berbeda pandangan politiknya denganku– dan berdampak pada keduanya yang menjaga jarak. Tanpa pengadilan dan klarifikasi, vonis itu kemudian datang.

Di rumah, istriku menghibur setelah aku cerita dengan perasaan luluh lantak karena kezaliman itu. “Kalau kita punya satu doa yang pasti akan dikabulkan, masa iya kita mau menyia-nyiakannya dengan mendoakan keburukan bagi orang yang telah zalim pada kita? Lebih baik doanya untuk kebaikan kita aja.”

Aku tercenung. Di antara kusutnya pikiranku saat itu, terselip kebenaran yang aku terima. Rasa sakit kemudian berubah pelan-pelan menjadi harapan bahwa Allah takkan tinggal diam. Dia telah gariskan untukku rejeki, jauh sebelum aku diciptakan.

Hari-hariku pun berlalu, dengan menyimpan doa, “Ya Rabb, gantilah pekerjaanku ini, dengan pekerjaan yang lebih baik. Yang lebih sesuai idealismeku, yang lebih membawa kesejahteraan bagi keluargaku, yang…”

Tiba-tiba aku terdiam dan merasa, kok aku seperti banyak menuntut? Tapi bukankah Allah tempat meminta segala, bahkan yang terdengar mustahil bagi manusia? Hatiku berdialog sejenak di antara doa itu. Dan kemudian merasa, bukankah Dia lebih senang pada hamba-Nya yang meminta dengan lirih dan penuh pengharapan? Dan bukankah tak ada yang mustahil bagi-Nya?

Lalu aku lanjutkan dengan doa yang lebih spesifik, berulang-ulang pada usai shalat fardhu, pada bulan Ramadhan, full tanpa jeda. Termasuk bagi orang yang telah zalim padaku, aku pasrahkan saja kepada-Nya keputusan nasib mereka. Allah yang lebih berhak atas hamba-Nya.

Tiga tahun kemudian, Ramadhan tahun 2013. Sejak awal bulan mulia itu datang, aku sudah menekadkan satu doa yang tak henti aku lafalkan. Aku berharap Dia benar-benar memberi pekerjaan yang aku butuhkan, juga idamkan. Karena saat itu, aku sedang mengikuti seleksi yang panjang dan melelahkan.

Setelah rangkaian tes itu, akhirnya aku dinyatakan diterima di sebuah kantor di Jakarta. Hanya ada dua posisi yang tersedia kala itu, dan aku salah satu dari dua orang yang diterima di antara ratusan pelamar.

Seperti lolos dari lubang jarum, aku juga keluargaku, amat bangga dengan pekerjaan itu, pekerjaan yang sesuai dengan doa-doa yang aku panjatkan. Dan Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya dengan menjawab lebih baik dari yang aku minta.


Photo by Jonatan Pie on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *