Shalat Salah Alamat

Oleh Lufti Avianto

Pengalaman memalukan ini terjadi persis 20 tahun yang lalu, ketika aku masih kelas III SMA. Ketika itu, seperti biasa, agenda berbuka puasa bersama alias bukber, menjadi agenda wajib tahunan tiap kelas.

Sebagai ketua kelas–dan anak Rohis–aku kebagian peran penting: mengorganisasi kegiatan bukber, juga mengisi kultum, ceramah agama singkat menjelang berbuka.

Aku dan beberapa pengurus kelas, kemudian mengadakan rapat persiapan. Dipilihlah sebuah rumah seorang kawan yang bisa menampung kami sekelas, di daerah Cipayung Jakarta Timur. Kemudian, kami membagi beberapa tugas dalam panitia kecil. Ada seksi konsumsi tentu saja, seksi kebersihan, seksi perlengakapan, dan sebagainya.

Tiba saat kegiatan bukber berlangsung, hampir semua anak bisa hadir. Kami sempat mengadakan games agar semakin akrab dan kompak. Satu jam sebelum berbuka, aku yang telah didaulat sebagai penceramah, bertugas menyampaikan ceramah agama singkat, lalu dilanjutkan dengan tanya-jawab seputar keagamaan.

Ya, walapun bukan lulusan pesantren, berkat kajian-kajian keislaman yang sering dilakukan melalui kegiatan ekskul Rohani Islam (Rohis), sedikit-sedikit aku bisa menjawab pertanyaan teman-teman sekelas tentang beberapa hukum mendasar seperti praktik ibadah, puasa dan sebagainya.

Maklum, cap “anak Rohis” seperti membedakan kami dengan anak ekskul lainnya dalam urusan pergaulan. Sebetulnya, namanya masih remaja yang punya kecenderungan berbuat salah, aku jadi agak beban ketika kawan-kawan melabeli kami “anak Rohis”. Kayaknya, kami manusia yang setengah malaikat yang tak boleh melakukan kesalahan.

Acara bukber, berjalan lancar. Sampai-sampai, setelah acara makan malam setelah shalat maghrib berjamaah, aku bergegas makan dan berniat melakukan shalat tarawih. Sementara anak-anak lainnya, masih ngobrol dan bernyanyi di teras rumah.

“Carlo, gue boleh numpang sholat?” aku meminta izin untuk meminjam kamarnya.

Dia agak heran dengan tatapan bukannya tadi kita sudah shalat Maghrib berjamaah di ruang tamu? Tapi Carlo tetap menunjuk kamarnya agar aku bisa shalat.

Di kamar, ternyata ada beberapa kawan perempuan yang sedang ngobrol di ranjang. Kamarnya agak besar. Aku memilih sudut lain menjauh ketiga kawan perempuan itu, lalu melakukan shalat tarawih 11 rakaat.

Mereka memperhatikanku dengan heran. Aku cuek saja segera menuntaskan shalat tarawih sendiri, karena merasa akan malas melakukannya sendiri di rumah. Jadi aku pikir, daripada ngobrol dan nyanyi-nyanyi nggak jelas di teras sehabis bukber, bukankah lebih baik aku tarawih?

Dua puluh menit kemudian, shalat tarawih dengan bacaan surah-surah pendek pun usai. Aku segera melipat sajadah dan henda keluar kamar. Sebelum keluar, salah satu kawan perempuan bertanya, “Lo shalat apaan, Luf?”

“Taraweh,” jawabku pede, singkat, tanpa memperhatikan raut wajah mereka.

Mereka melongo.

Di luar, aku berpapasan dengan Carlo. “Lo shalat apaan sih, lama banget?”

“Taraweh,” jawabku datar.

“Woi, adzan Isya aja belom udah taraweh?” berbarengan dengan itu, tiga kawan perempuan keluar kamar dan beberapa lainnya menyaksikan kejadian ini.

Aku terperanjat. Mereka tertawa terbahak-bahak.

Duh, malunya!


Photo by afiq fatah on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *