Ramadan dan Bacaan Alquranku

Oleh: Pipit Fitria

Aku seorang bungsu dari 7 bersaudara. Tepatnya, kedua saudaraku lebih dahulu menghadap Sang Maha Kuasa sejak dalam buaian. Aku memiliki karakter yang begitu berbeda dengan saudaraku yang lainnya. Sejak kecil, waktu kusibukkan untuk aktif di berbagai kegiatan keagamaan. Aku aktif menjadi panitia musala di belakang rumah bersama tetangga yang sudah kuanggap sebagai kakak kandungku sendiri.

Aku seorang bungsu, tetapi pertemananku sangat jarang dengan teman seusia. Entah, berteman dengan seusia terkadang banyak perbedaan dan tidak saling memahami. Sejak kecil, aku bermain dengan tetangga yang usianya terpaut jauh. Sebut aja, ‘Mbak Wi’. Aku terbiasa bergaul dengan yang lebih tua. Sifatnya yang mengayomi dan membimbing, membuat sebagian masa muda kuhabiskan untuk membantu kegiatan keagamaan bersama remaja-remaja musala lainnya.

Kala Ramadan datang bertamu, petugas musala sudah siap untuk menyusun rencana selama sebulan penuh. Kegiatan itu disusun dan dibuat untuk memakmurkan musala dan menggerakkan generasi mudanya yang hampir ditelan oleh aktivitas pergaulan bebas.

Kegiatan Ramadan yang rutin dilakukan itu seperti; menyiapkan menu buka puasa, tilawah Alquran selepas Tarawih dan Subuh, belajar membaca Alquran selepas Maghrib, mendengarkan ceramah selepas Tarawih dan Subuh, membersihkan musala tiap Ahad, menjadi panitia zakat, menjadi panitia kampung bersih, dan kegiatan bermain sambil belajar lainnya.

Usiaku adalah usia yang paling muda di antara para remaja musala. Tepatnya, usiaku baru 6 tahun dan usia remaja lainnya yaitu 10 hingga 15 tahun. Keaktifanku hanya menuruti hobiku yang tidak bisa anteng. Alhasil aku ikut ke sana ke mari mengikuti kegiatan musala. Kenapa itu aku lakukan? Bosan! Kebosanan kerap menjangkitiku jika hanya bermain engklek dan paper doll family untuk menghabiskan masa kecil. Aku bosan bergaul dengan seusia sebab mudah terbawa amarah dan akhirnya diam beberapa lama, lalu kami tidak berteman lagi. Terasa bosan rasanya.

Bulan Ramadan adalah bulan istimewa yang siapapun akan menantinya. Termasuk aku. Perasaan riang dan gembira turut menghiasi kegiatanku dalam menghabiskan bulan Ramadan. Sejak kelas 1 SD, aku sudah belajar berpuasa 1 hari penuh. Mbak Wi yang mengajari dan membimbingku belajar berpuasa. Membimbing mengisi Buku Risalah Ramadan yang dibagikan sekolah dan turut menemani masa kecilku bermain sambil belajar.

Selepas duduk manis mendengar kultum atau kuliah tujuh menit yang biasa dilakukan selepas Subuh, kami pun membaca beberapa lembar Alquran. Aku yang masih terbata-bata, hanya membaca surat-surat pendek. Aku teringat, saat itu aku membaca Surah Attakatsur hingga Surah Annas yang kuulang-ulang kembali sambil mengumpulkan keberanianku memegang microphone. Suaraku yang tak kalah seperti suara kodok, sempat berpikir dua kali untuk tidak membaca Alquran menggunakan pengeras suara. Sayangnya, Mbak Wi kembali menyemangatiku.

“Tak apa Dik, namanya juga belajar. Salah itu wajar,” tukasnya. Niatku menutup lembaran mushaf sempat kuurungkan. Butuh 5 hingga 10 menit untuk mengatur deru nafas dan keberanian membuka mulut agar mulai membaca. Ketegangan mulai mengetarkan tubuhku. Keringat sudah mengucur deras. Padahal, tidak ada ustaz yang melihatku membaca Alquran. Hanya aku dan Mbak Wi yang sudah bersiap di mihrab. Dengan nada bergetar dan hati berucap basmallah, kumemberanikan diri membuka mulut. Lalu, lamat-lamat aku berucap, “A’uudzubillaahiminasy syaithaanirrojiim…

Aku mengatur nafas kembali. Disapunya keringat yang membutir di keningku. Rasanya hari terasa gerah dan lembab. Padahal subuh yang terasa dinginnya mencucuk tulang. Tetap saja, panas yang kurasa.

“Kontrol nafasmu, Dik. Tenanglah. Di sini hanya kamu dan Mbak,” betul memang. Di mihrab hanya kami berdua, tetapi entah mengapa aku tidak berani mengeraskan suara. Ingin kusudahi doa isti’adzah dengan hamdalah. Tetapi, rasanya itu tidak mungkin. Mbak Wi akan kecewa denganku yang memiliki keberanian sebesar buah petai.

Aku mencoba mendekatkan bibirku kembali ke pengeras suara dengan menahan getaran di tangan kananku. “Ya Tuhan, tolonglah aku. Kenapa tangan kananku tak mau diam…?!” gumamku.

“Ucapkanlah bismillah. Tenanglah…” ucapnya menenangkan.

Tenggorokanku seakan tercekat. Rasanya aku ingin meminum walau seteguk saja. Apa daya itu pun tak dapat aku lakukan. Baru saja Subuh, jika aku mendahului pertanda maghrib, tentu itu terlalu konyol bagiku. Hancurlah komitmen yang selama ini kubangun.

Aku diam beberapa saat. Butuh waktu hanya untuk memulai membaca ayat pertama Surah Attakatsur. Surah yang bacaannya pendek, terasa panjang bagiku yang baru seumur jagung.

Mbak Wi memberi isyarat untuk mendekatkan kembali pengeras suara ke bibirku. Ia menyuruhku untuk mengatur nafas dan tenang. Aku pun mengikuti, meskipun rasanya ingin menyudahi saja.

Sudah 15 menit berlalu. Akhirnya, ayat pertama hingga ayat terakhir berhasil aku lantunkan dengan segenap keberanian yang kukumpulkan. Aku takut ditertawakan mengingat bacaanku yang masih berantakan. Lidah yang cadel seakan bergerak kaku. Keringat sebesar biji jengkol membasahi baju panjangku. Tetapi, saat bacaan Attakatsur kutuntaskan, rasanya begitu lega. Keringat itu seakan masuk kembali ke sudut pori-pori. Seketika hawa dingin menyeruak ke dalam sumsum tulangku.

“Iyakan, kamu bisa?” ucap Mbak Wi dengan senyum yang membentuk lengkungan indah.

“Alhamdulillah lega, Mbak.” Ucapku polos.

Pengalaman pertamaku memegang microphone ketika mengaji, bagai memegang gerigi besi yang panasnya membakar seluruh organ penuh dengan peluh dengan tetap menahan deburan rasa. Seperti rasa seorang hamba kepada Tuhannya. Seperti cinta seorang hamba kepada Penciptanya. Kala itu dalam sebuah hadits Qudsi yang dikutip oleh para spiritualis muslim: “Aku adalah sumber kekayaan tak terbatas yang tersembunyi. Aku ingin (Cinta) dikenal. Maka Aku ciptakan semesta. Berkat (Cinta) Ku, mereka mengenal-Ku.”


*Pipit Fitria, seorang penyuka sastra yang memiliki hobi membaca dan browsing ini lahir di Cirebon pada tanggal 10 Februari 1996. Aktivitasnya sebagai pengajar di salah satu sekolah swasta yang ada di Cirebon, SMK PUI Cirebon sekaligus operator yang sedang merambah ke dunia tulis-menulis. Keinginannya untuk menulis sempat ia wujudkan di tahun 2019, meski di tahun ini harus dengan pandai mengatur waktu di sela-sela kegiatan nyata. Penulis dengan nama pena Fitria Abdella ini memiliki cita-cita agar menjadi penulis produktif yang terus menebar manfaat. Semoga keinginannya terwujud. Ia dapat dihubungi melalui; Email : pipitfitria074@gmail.com


Photo by Rumman Amin on Unsplash

One Comment on “Ramadan dan Bacaan Alquranku”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *