Ramadhan dan Kisah yang Katanya Cinta

Oleh: Agit Yunita

Ramadhan datang, cinta tiga puluh hari pun berkembang. Entah mengapa bisa begitu, namun sejak cinta monyet itu mampir ke dalam perasaan salah satu sahabatku, momen tarawih di bulan Ramadhan selalu menghadirkan kisah yang manis.

Ini kisahku dan Widia, sahabatku. Di saat kami masih berseragam putih merah. Di saat masa pubertas. Dan menyukai lawan jenis menjadi kodrat yang penuh cerita.

Di saat kawanku merasakan ada bunga-bunga mekar di hatinya. Aku cukup jadi Mak comblang saja. Senang melihat pipi mereka yang kemerahan jika bertemu. Merasa lucu jika akhirnya memutuskan saling bertukar surat.

Itu masa, dua puluh tahun yang lalu. Bulan Ramadhan menjadi salah satu yang paling dirindu kedatangannya. Saat itu, setiap bulan Ramadhan sekolah diliburkan selama satu bulan. Digantikan oleh kegiatan pesantren kilat, baik itu dilaksanakan di sekolah atau di lingkungan rumah. Dan aku beserta kawan-kawanku biasanya lebih memilih berkegiatan di dekat rumah.

Menimba ilmu agama pada masa itu begitu dirasa sangat menyenangkan. Bermain sambil belajar biasanya menjadi konsep yang diajarkan oleh kakak-kakak pengajar. Biasanya pesantren kilat akan dimulai sejak pukul dua siang hingga magrib menjelang. Lalu kami akan melangsungkan salat magrib berjamaah lalu kembali ke rumah.

Dan malamnya, akan menjadi malam yang tak kalah serunya. Selain salat tarawih di masjid, kami akan menjadi pemburu tanda tangan para penceramah. Ya, dari sekolah setiap tahunnya pasti akan ada buku kegiatan Ramadhan yang harus kami isi, di antaranya menulis ceramah.

Tidak ketinggalan kisah romantika yang akan selalu terjadi di setiap malamnya. Entah mengapa selalu begitu.

Sahabatku Widia, dia yang selalu punya cerita manis di bulan Ramadhan di antara kami berdua. Mulai dari yang hanya bertemu di saat bulan Ramadhan saja. Hingga sampai ada yang berlanjut hingga Ramadhan usai.

Dan aku akan selalu setia menemaninya. Memberanikan diri untuk bertemu usai tarawih. Atau hanya sekedar saling menitipkan salam.

Suatu waktu, di bulan Ramadhan saat kami sudah beranjak menjadi siswi putih biru. Widia mendapatkan surat dari si dia yang selama ini selalu mencuri pandang. Seorang anak laki-laki yang rumahnya tak terlalu jauh dari kompleks rumah kami.

Namanya Fajar. Dia berumur setahun lebih tua dari Widia. Dia adalah kakak dari teman satu sekolah kami. Mungkin karena itu juga, Fajar lebih berani mendekati Widia terlebih dahulu. Mengiriminya surat yang berisi sebuah ajakan untuk berkenalan dan bertemu.

Masa itu, belum ada saling bertukar nomor telepon lalu chatting melalui WhatsApp. Kami akan saling menitipkan surat atau jika punya keberanian bertemu saja langsung.

Jika diingat saat ini, masa manis itu akan selalu menjadi kenangan yang tak akan pernah terlupakan dan akan selalu dirindu.

Pertemuan antara Widia dan Fajar pun terjadi. Di malam terakhir salat tarawih. Di saat takbir berkumandang. Ada ucap suka yang terlantun. Pipi yang tiba-tiba merona. Letupan kembang api yang seakan mewakili perasaan mereka saat itu. Dan cerita yang katanya cinta itu, berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya berakhir. Dan di Ramadhan berikutnya kami sudah tidak terlalu antusias melakukan hal macam itu lagi.

Begitu baiknya Allah pada masa remaja kami. Membiarkan kami melakukan apa pun yang kami inginkan. Sehingga saat ini, ketika kami sudah berjalan sejauh ini. Melewati berbagai macam hal, berlabuh pada kebahagiaan yang sebenarnya. Kisah masa kecil itu menjadi canda saat kami kembali bertemu dan berkumpul.

Kali ini jarak kami berjauhan. Sudah tak terhitung berapa kali Ramadhan kami tak bisa berjumpa. Namun doa tak pernah berhenti. Semoga kami dan keluarga kecil kami selalu sehat dan bahagia.

Bantul, 14 April 2021


Photo by Eri Pançi on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *