Oleh: Siti Atikah
Tanggal 1 Ramadan 1442 H menjadi momen pertama bagi putra bungsu 5 tahunku dalam menjalani ibadah puasa. Ia bertekad melakukannya karena minta hadiah coklat berbungkus biru yang muncul di iklan TV kabel sebanyak tiga batang ketika nanti ia berhasil puasa selama 30 hari. Pukul 04.05 WIB ia begitu mudah dibangunkan sahur, kugendong, kucuci mukanya, dan kusuapi santap sahurnya. Sekitar pukul 10.30 WIB, ia merengek minta susu UHT. Karena baru berlatih, kubiarkanlah hingga ia pun kusuapi makan siang pada pukul 12.30 WIB. Lalu, ia berhasil melanjutkan puasanya hingga adzan Magrib tiba. Semua berjalan lancar tanpa drama. Aku bahagia atas keberhasilannya melalui pengalaman puasa pertamanya.
Tiga tahun lalu si sulung, di usia yang malah belum genap 5 tahun juga mengalami proses yang sama. Belajar berpuasa. Dia justru lebih banyak dramanya saat pengalaman pertama puasa dulu. Tiap 2 atau 3 jam sekali ia pasti sudah merengek ribut minta minum dan ngemil. Namun, perlahan-lahan, ia mampu juga memperpanjang jarak rengekannya. Aku memaklumi karena memang tidak mudah untuk memulai sesuatu yang belum terbiasa dilakukan. Hingga akhirnya, si sulung mulai berhasil sebulan penuh tanpa batal puasa pada Ramadan tahun lalu, saat kami terkurung dalam pandemi. Aku sungguh bahagia karena nyatanya anakku lebih berhasil dariku yang kalau diingat-ingat aku baru mampu berpuasa tanpa batal itu saat kelas 6 SD. Hahahahahha. Tentunya tanpa sepengetahuan kedua orangtuaku, ya.
Nah, pastinya setiap muslim punya pengalaman tersendiri saat berpuasa di masa kecil dulu. Beberapa di antara potongan memori itu mungkin muncul lagi setiap kali Ramadan tiba di tengah-tengah lingkungan kita. Tabuhan musik pukul atau teriakan anak-anak yang keliling sekitar jam 2.30 dini hari guna membangunkan warga untuk sahur. Jalan – jalan keliling kampung atau area perumahan selepas solat Subuh bersama teman-teman sepermainan. Kakak-beradik rebutan mangkuk es buah yang isinya terlihat paling banyak menjelang berbuka puasa. Keusilan sabet-sabetan sarung antara anak lelaki menuju maupun sepulang dari mushola atau mesjid. Hingga letupan petasan banting yang dilakukan anak-anak lelaki untuk menakuti anak-anak perempuan yang melintas sepulang solat tarawih. Semua itu masih terasa di lingkungan tempat saya tinggal. Sungguh selalu mampu membuat saya memutar memori masa kecil untuk sekadar membuat hati tersenyum dan berbagi cerita tentang masa-masa itu pada si sulung dan si bungsuku.
Salah satu kenangan masa Ramadan yang saya masih ingat hingga sekarang adalah bermain “pintu tol” dan “sekolah-sekolahan”. Kedua permainan ini selalu hanya dilakukan setiap kali Ramadan di gang perumahan tempat saya menghabiskan masa kecil saya dahulu. Permainan masa kecil yang masih membawa senyum hingga saat ini.
Permainan pertama adalah pintu tol. Saat itu, saya dan kawan-kawan merasa takjub setiap kali melakukan permainan ini. Ya, kami terinspirasi dari iklan vitamin isap oleh petugas pintu tol yang muncul di TV swasta pertama saat itu. Menurut kami, bermain menjadi petugas pintu tol dan pengendara mobil yang membayar tiket untuk memasuki jalan bebas hambatan itu begitu seru. Maklumlah, dulu hanya segelintir orang yang mampu melintasi jalan bebas hambatan itu dengan mobil pribadinya. Belum lagi tarifnya saat itu harus membuat beberapa orang berpikir apakah layak mengeluarkan sejumlah uang demi melintasi sebuah jalan. Maka, dengan bermodalkan sepeda sebagai mobil, kartu dan uang monopoli sebagai tiket dan alat pembayaran, permen segala rasa sebagai hadiah vitamin isap, galah penyengget jambu untuk pintu tol, serta topi dan koran sebagai atribut petugas pintu tol, maka terwujudlah imajinasi kami, anak-anak gang perumahanku. Melintasi pintu tol bolak-balik.
Permainan yang kedua adalah sekolah-sekolahan. Entah mengapa saat itu setiap kali bermain bersama di gang tempatku tinggal, anak yang usianya tertua adalah aku. Sebenarnya ada yang usianya di atasku, namun mereka jarang main bersama yang usianya lebih kecil. Oleh karena alasan usia inilah, akhirnya setiap kali Ramadan tiba, aku berinisiatif menjadi guru buat bocah-bocah lainnya, yang padahal sih paling usianya hanya 2-3 tahun lebih muda dariku. Kebetulan di rumahku ada papan tulis kecil dan kapur yang selalu tersedia. Maka, jika kami bosan main pintu tol, maka beralihlah teras rumahku dan teras rumah teman-teman yang lain, bergantian menjadi lokasi sekolah ala-ala kami. Pelajaran yang biasa kami lakukan adalah belajar membaca huruf hijaiyah, menulis ejaan berbahasa Indonesia, atau menjawab soal dari buku LKS. Pernah ada yang meminta untuk belajar Matematika, namun kutolak karena sesungguhnya itu adalah mata pelajaran kelemahanku. Hehehehehe.
Karena dua permainan itulah, rasa haus dan lapar akibat kelelahan bermain beberapa kali sering melanda diriku saat berpuasa. Maka, jikalau sudah tak tertahankan, aku diam-diam ke dapur meneguk segelas air atau mencomot makanan apa pun yang ada di meja. Rasanya? Uuuuh sungguh mendebarkan, takut ketahuan. Bisa diamuk oleh Umi, ibuku yang super duper galaknya. Biasanya aku berhasil melakukan hal itu setelah melihat situasi kalau Umi sedang tidur siang atau sekadar rebahan di kamarnya. Namun, jika ingat hal ini, duuuuh, aku menyesal loh karena telah membohongi kedua orang tuaku saat itu, terutama Umi. Seharusnya aku mampu menahan godaan haus dan lapar. Aaaaah, ternyata aku kecil nakal juga, ya.
Oleh karenanya, lagi-lagi sungguh aku merasa bahagia melihat usaha kedua putraku melewati pengalaman berpuasa mereka. Aku mengakui mereka jauh lebih baik dariku. Untuk urusan makan, mereka memang terbiasa izin terlebih dahulu sebelum mengambil atau menyantap makanan, minuman, dan camilan apapun di rumah. Hingga saat ini, tak sekalipun mereka berani diam-diam melakukannya. Bahkan si sulung saja sampai khawatir dan mengadu padaku atau ibuku setiap ia tak sengaja menyikat gigi saat mandi sore ketika berpuasa. Hehehehe, jadi ada untungnya untuk melatih mereka tertib berpuasa, tidak seperti aku dulu.
Namun, bagiku setiap orang memiliki prosesnya sendiri – sendiri untuk menjalani ibadah paling rahasia ini. Ibadah yang memang hanya Allah dan hambaNya itu sendiri paling tahu tentang dilaksanakan atau tidaknya puasa itu. Maka, yang terpenting adalah bagaimana proses itu kemudian mewujud pada pemahaman bahwa puasa ini adalah bagian dari perintah Allah, Sang Maha Khalik. Perintah untuk melatih kita mengendalikan segala hawa nafsu dan merasakan lapar serta dahaganya sebagian orang yang kehidupannya begitu keras hingga untuk makan dan minum sehari sekali saja pun sulit. Maka niscayanya, dengan berpuasa, hati ini lebih terbuka untuk mengulurkan tangan ini bagi mereka yang membutuhkan. Insyaa Allah.
-Catatan Ramadan Atik-
#RamadhanWritingChallenge #RamadhanBersamaBooks4care #RamadhanProduktif
Photo by Luke Southern on Unsplash