Keseruan Ramadhan Ala Bocah

Oleh: Ainag Inairah

Masa kecilku dihabiskan dengan pindah dari satu kota ke kota yang lain, mengikuti mutasi kerja yang dialami ayahku, yang bekerja di salah satu BUMN di negara ini. Salah satu kota yang pernah kutinggali  saat kecil adalah Nganjuk, sebuah kota kecil dan sepi di Jawa Timur.

Meski hanya tinggal di sana dari TK sampai kelas dua sekolah dasar, masa itu adalah saat aku mulai belajar berpuasa. Pada tahun 80-an, tidak ada anak-anak produk sekolah Islam yang sudah terbiasa melakukan ritual ibadah bahkan sampai menjadi unsur penilaian seperti saat ini. Sehingga belajar berpuasa adalah suatu keterpaksaan bagiku.

Bagaimana tidak terpaksa, jika setiap mendengar adzan, aku akan merengek-rengek supaya diijinkan berbuka. Rasanya menderita sekali, hahaha. Beda jauh dengan anak-anak jaman sekarang bukan? Kebanyakan karena lingkungan pergaulan, anak-anak sekarang malah termotivasi puasa penuh, terlebih melihat teman-temannya melakukan hal yang sama.

Setiap sore sepulang dari kantor, ayah akan memboncengku dengan vespanya menuju alun-alun yang terletak di antara masjid jamik dan pendopo kabupaten. Kami berada di sana hanya beberapa menit, sekedar menunggu bunyi meriam terdengar, sebagai penanda waktu berbuka puasa.

Sebenarnya aku tidak benar-benar ingat apa yang dibunyikan secara rutin setiap hari selama bulan ramadhan saat itu. Hanya ayahku mengatakan bahwa itu meriam, bekas peninggalan tentara Belanda. Aku percaya saja, karena bunyinya menggelegar dan mengagetkan, sekalipun aku sudah sering mendengarnya dari jarak dekat. Setelah meriam itu dibunyikan, kami pun kembali pulang untuk menikmati makanan berbuka yang telah disiapkan ibu.

Kota berikutnya yang kami tinggali cukup lama adalah Situbondo. Masih kota kecil, yang terletak di jalur pantura (pantai utara) Jawa Timur.

Kota ini saat kutinggali memproklamirkan diri sebagai kota Santri. Jangan salah, kota Santri adalah kepanjangan dari Sehat, Aman, Nyaman, Tertib, Rapi dan Indah. Namun selain sebagai akronim, Situbondo juga dikenal sebagai kota santri yang sesungguhnya. Hal ini terlihat dari banyaknya pondok pesantren yang berada di seluruh pelosok kabupaten ini.

Keluargaku menempati sebuah rumah dinas yang berada di sebuah jalan bertetangga dengan rumah-rumah dinas dari instansi atau kantor lain. Para penghuni rumah dinas yang berasal dari berbagai kantor yang berbeda itu adalah orang-orang yang hanya tinggal dalam beberapa tahun, selama masa penugasan di kota itu. Bukan penduduk asli.

Penduduk asli kota ini pun sudah mengalami akulturasi budaya antara etnis Madura dan Jawa. Nyaris semua orang mengadopsi bahasa dan budaya kedua suku tersebut, termasuk para pendatang yang berkesempatan tinggal agak lama di sana. Jangan heran bila kalian melihat kemampuan bilingual kami, termasuk aku, saat tinggal di sana. Kami terbiasa menggunakan bahasa Jawa dan Madura sekaligus dalam satu kalimat. Hebat kan…

Saat ramadhan tiba, warga di sekitar rumahku akan bersama-sama melaksanakan shalat tarawih yang diadakan di rumah salah seorang ketua RT. Ruang tamu dan ruang keluarga di rumah beliau yang tanpa sekat, dijadikan mushola setiap ramadhan.

Masjid terdekat jaraknya lebih dari tiga kilometer dari kompleks tempat kami tinggal, sehingga wajar jika warga mengadakan tarawih berjamaah di rumah-rumah penduduk. Meski ironi dengan sebutan kota santri tadi.

Pondok pesantren bertebaran bahkan menjadi jujugan ribuan santri dari seluruh Indonesia, namun keberadaan masjid masih terbatas. Hingga rumah-rumah yang menjadi mushola dadakan selalu sesak dengan warga yang mengejar pahala ramadhan.

Beberapa teman seumuran akan menjemputku ke rumah sebelum adzan isya berkumandang. Mereka memanggil-manggil namaku setengah berteriak agar aku bergegas keluar. Kami selalu berlomba-lomba untuk segera mendatangi tempat tarawih diadakan, demi mendapatkan tempat paling nyaman.

Kalau kalian mengira tempat yang selalu kami buru adalah shaf terdepan, kalian keliru. Kami malah berburu shaf paling belakang.

Dengan berada di shaf paling belakang, anak-anak seusia kami lebih bebas. Kalau capek bisa tiduran, kalau bosan bisa ngobrol sambil cekikikan, bahkan bisa mengganggu teman lain yang terlihat, berusaha keras, tetap khusyu shalat. Karena jika kami ribut di shaf depan, ibu-ibu akan memarahi kami habis-habisan. Hahaha…

Sebenarnya kami punya cara lain yang diyakini jitu untuk menangkal kantuk dan bosan. Yaitu dengan cara menjawab “Aamiin…” setiap kali imam mengakhiri bacaan surat al-Fathihah, dengan suara yang sekencang-kencangnya. Jika perlu dengan tone yang berbeda dari jamah lain, sehingga terdengar fals. Mau coba?

Selepas tarawih biasanya kami tak langsung pulang dan berkumpul di halaman rumah salah seorang di antara kami. Biasa, kami pasti melanjutkan ritual khas ramadhan seperti yang dilakukan anak-anak di daerah lain. Menyalakan kembang api dan petasan.

Aku tidak cukup berani menyalakan petasan, karena ayahku sudah sering mengancam. Tapi ayah selalu membelikan kembang api aneka rupa. Kami saling membawa milik masing-masing dan lalu menyalakannya bersama-sama.

Suatu ketika karena iseng dan spontan, kembang api yang tengah menyala, kulemparkan pada seorang kawan perempuan. Ternyata tak hanya terkejut, ia juga menangis tersedu-sedu dan tak bisa dibujuk untuk mereda. Malah ia mengancam akan melaporkan kepada bapaknya.

Hahaha. Sebenarnya aku tidak takut meski bapaknya akan memarahiku. Toh sudah beberapa kali, aku menghadapi bapak temanku dengan gagah berani, tak punya rasa takut untuk anak usia SD, ketika aku dan temanku bertengkar karena sesuatu.

Lalu yang kutakuti sebenarnya?

Ayahku.

Kalau sampai beliau tahu, bisa-bisa aku dihukum tak boleh lagi bermain bersama teman-teman dan menyalakan kembang api bersama. Terbayang sudah betapa suram ramadhanku.

Dasar anak bandel!


Photo by Li Wubin on Unsplash


Penulis adalah seorang ASN di Kementerian Keuangan RI. Penggila novel yang jumlahnya ratusan, dan memenuhi rak buku yang menjulang hingga harus menggunakan kursi untuk meraih rak tertingginya. Menulis adalah panggilan hati, sebagaimana apresiasinya pada puisi dan seni. Aktif di Komunitas Sastra Kemenkeu, bergabung dengan beberapa grup/komunitas literasi di luar itu,  menjadi kontributor freelance di situs instansinya, serta menulis di mana pun tulisannya diterima. Saat ini berkeinginan menerbitkan buku solo yang bisa dinikmati banyak orang, setelah 7 antologi yang diikutinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *