Ruang Gerak Wartawan di Media Sosial, Perlukah Dibatasi?

Cerita teman saya dalam seri diskusi Rabu malam (11/11), sangat menarik tentang pengalamannya menghadapi pembongkaran data pribadi (doxing), yang kala itu belum jamak terjadi (atau mungkin sudah?). Saat itu, dia mengomentari salah satu tweet seorang pejabat publik dengan pernyataan, yang bagi sejumlah pihak biasa saja, tetapi memicu kemarahan para pendukung sang pejabat.

Satu komentarnya berbuntut panjang. Alamat rumah, kampus tempatnya kuliah, profesinya sebagai wartawan, berita dan analisis yang dia tulis, dikulik seluruhnya hingga dia tak kuasa membalas semua mention di akun media sosial. Jelas bahwa komentarnya atas tweet pejabat itu tak berkenaan dengan profesinya sebagai wartawan. Tetapi, topik ini menarik dan relevan untuk dibahas.

Tahun 2014 saat saya menjadi wartawan di salah satu media siber, ada ketentuan untuk tidak menjawab komentar publik mengenai pemberitaan yang kita buat. Pernyataan dan komentar, terutama yang berpotensi dianggap mencemarkan nama baik, juga dilarang. Baru-baru ini, saya membaca berita mengenai pedoman yang lebih ketat bagi jurnalis BBC dalam berinteraksi di media sosial.

Dalam pedoman baru menggunakan akun Twitter, Facebook, dan Instagram tersebut, wartawan BBC diperintahkan untuk menghentikan “virtue signalling” dan dilarang mengunggah opini kontroversial, termasuk like atau retweet. Virtue signalling adalah upaya menunjukkan kepada orang lain bahwa kita adalah orang baik, misal dengan cara mengungkapkan pendapat yang dapat diterima orang lain, terutama di media sosial.

Komentar wartawan di media sosial, bisa berpotensi membahayakan diri dan profesinya.

Jurnalis BBC juga diminta berhati-hati menghadiri demonstrasi maupun pertemuan publik, untuk mencegah kehadiran mereka membuat ketidakberpihakan BBC dipertanyakan. Begitu pedoman baru diberlakukan, pro dan kontra muncul di antara para staf BBC.

Menahan diri untuk tidak berkomentar atau bertindak atas isu tertentu memang sulit dilakukan, pun saya alami saat masih menjadi jurnalis. Kita di Indonesia juga punya contohnya baru-baru ini, ketika wartawan, dan termasuk organisasi profesi, menyatakan penolakannya—melalui media sosial dan demonstrasi—atas Omnibus Law Cipta Kerja yang kontroversial dan ketentuannya yang memengaruhi status wartawan sebagai buruh.

Contoh lain adalah dalam polemik berkepanjangan Cicak vs Buaya, yang memunculkan dukungan dari wartawan kepada Cicak maupun Buaya lewat akun media sosial, dengan berbagai alasan dan argumentasi. Dalam konteks mendukung pemberantasan korupsi, yang tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri atau hanya mengandalkan satu institusi, saya sependapat. Tetapi, bagaimana bentuk dukungan ini dan di mana peran wartawan dalam konteks ini, tidak cukup mengulasnya sekarang.

Pada diskusi yang sama tadi malam, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Asnil Bambani Amri mengatakan, wartawan harus hati-hati dan membatasi aktivitas di media sosial. Mas Asnil menggarisbawahi, terutama jurnalis yang meliput isu-isu sensitif dan investigasi demi meminimalisasi pembongkaran data pribadi di media sosial atau mengurangi dampak buruk bagi wartawan yang informasi pribadinya dipublikasikan secara ilegal.

Wartawan harus hati-hati dan membatasi aktivitas di media sosial.

Asnil Bambani Amri, Ketua AJI Jakarta

Lantas, bagaimana idealnya wartawan bersikap di media sosial?

Pertama-tama, kita tahu wartawan punya ruang menulis pendapat dan analisisnya atas sebuah isu melalui rubrik kolom atau opini. Setelah dimuat, wartawan bisa membagikannya di media sosial. Dalam hal wartawan belum punya kemampuan menulis opini, menyebarkan berita atau opini yang dimuat medianya ke media sosial pribadi dan mengutip pernyataan pada artikel itu tentunya bukan masalah.

Kedua, saya beranggapan, mengunggah pernyataan pribadi wartawan di media sosial sah-sah saja selama topik yang dikomentari (1) berkenaan dengan kepentingan publik, dan (2) semendesak apa pandangan pribadi tersebut harus dikemukakan. Di antara dua contoh di atas, menyampaikan opini pribadi atas Omnibus Law Ciptaker harus dilakukan semua pihak, dan terutama dan termasuk wartawan karena memenuhi dua alasan tadi: merupakan kepentingan publik dan sangat mendesak untuk disuarakan.

Secara umum, saya sependapat dengan batasan-batasan yang harus diterapkan untuk profesi wartawan. Batasan itu di antaranya sudah ada dalam kode etik dan bukan dimaksudkan untuk mengekang kebebasan pers. Dalam hal bermedia sosial, dua poin saya di atas cukup untuk sementara dan mari berdiskusi.


Penulis: R. Dewi Kandi

Feature Photo by Yasin Yusuf on Unsplash

Photo by Azamat E on Unsplash

One Comment on “Ruang Gerak Wartawan di Media Sosial, Perlukah Dibatasi?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *