Beberapa bulan lalu, seorang teman mengirimi utas yang mengarah pada artikel yang ditulis oleh mantan pemimpin redaksi di tempat saya bekerja beberapa tahun lalu. Ada sejumlah poin di artikel itu yang menohok, sekaligus mewakili kejujuran saya sebagai mantan wartawati dan mentor di Kelas Literasi Media oleh Aksara Institute, terutama pernyataan: menulis bagi saya adalah proses yang menyiksa.
Pak Dalipin, penulis artikel itu, mengatakan bahwa dia selalu kesulitan menuangkan ide, menemukan kata yang tepat, menata bahasanya, dan merunutkan logika. Kalau pun saya berani tidak setuju dengan kalimat itu, saya hanya bisa menyanggah satu hal: mengganti keterangan waktu dari “selalu” menjadi “sering”. Saya tidak selalu kesulitan menemukan kata yang tepat atau menuangkan ide, tetapi saya sering menghadapi siksaan-siksaan itu.
Sependek pengalaman saya menjadi wartawan, menulis berubah menjadi proses yang menyiksa ketika diksi saya terbatas dan akhirnya tak cukup punya kata untuk mewakili cerita atau fakta yang ingin saya tulis. Seperti saat sedang menulis catatan ini, sudah berjam-jam saya di depan laptop, tapi alih-alih bertambah, setiap paragrafnya justru semakin berkurang, seiring waktu, meski akhirnya selesai juga. Sementara dengan nekat saya membuat judul “menulis berita yang enak dibaca” seolah-olah selalu bisa melakukannya.
Meski seringkali gagal menulis yang enak dibaca, sebagai pembaca, saya punya kriteria seperti apa berita yang enak dibaca itu. Pertama, punya banyak diksi. Membaca akan membosankan jika misalnya, menemukan kata “juga” berkali-kali, dalam kalimat atau paragraf yang sama. Kedua, penempatan tanda baca. Soal tanda baca ini, saya jadi teringat unggahan di akun Facebook Uksu Suhardi, Koordinator Redaksi Bahasa Tempo Media yang akrab disapa Kang Uu, beberapa waktu lalu, begini katanya:
Koma dapat membedakan makna. Koma bisa ditulis setelah “burung”, bisa juga sebelum “burung”: “Menurut kabar burung Setyo sakit.”
Jika ditulis setelah “burung”, maka kalimatnya: Menurut kabar burung, Setyo sakit. Dan jika ditulis sebelum “burung”, maka: Menurut kabar, burung Setyo sakit. Lucu, ya? Saya sangat merekomendasikan pembaca yang ingin belajar Bahasa Indonesia (Jurnalistik) untuk mengikuti akun Facebook Kang Uu.
Pasti akan asyik sekali kalau membaca berita yang penempatan tanda bacanya tepat, atau setidak-tidaknya, punya tanda baca. Pernah baca berita yang hampir tak punya tanda baca?
Menulis berubah menjadi proses yang menyiksa ketika diksi saya terbatas dan akhirnya tak cukup punya kata untuk mewakili cerita atau fakta yang ingin saya tulis.
R. Dewi Kandi, Aksara institute
Ketiga, pemilihan kutipan langsung narasumber. Bahasa Indonesia punya sejumlah ragam, di antaranya ragam lisan dan tulisan. Penulisan berita menggunakan bahasa tulis, yang di antaranya menuliskan kembali pernyataan lisan narasumber, baik sebagai kutipan langsung maupun tak langsung. Penjelasan lisan itu kadang tidak memerhatikan tata bahasa karena pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan air muka, gerak tangan, atau isyarat untuk mengungkapkan ide.
Saat masih menjadi wartawati, biasanya saya berhati-hati memilih kutipan agar pembaca tidak semakin bingung memahami ucapan langsung narasumber di berita itu. Ini saya pelajari ketika Kuliah Kerja Lapangan di Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT). Saya ingat percakapan di antara wartawan Tempo ketika itu bahwa fungsi kutipan langsung narasumber adalah untuk mempertegas kalimat tak langsung dan tidak perlu ditulis terlalu panjang. Saya mempraktikkannya sambil menambahkan, pilih pernyataan yang paling jelas.
Menulis berita yang enak dibaca, setiap hari—bahkan bagi wartawan media siber, setiap waktu dan sepanjang hari—memang menyiksa. Tapi begitulah, artikel yang enak dibaca akan memudahkan pembaca memahami isu yang tidak mereka kuasai.
Penulis: R. Dewi Kandi
Featured Photo by Jayson Hinrichsen on Unsplash
Photo by Cathryn Lavery on Unsplash