“Lo mau resign…?”
Tiga detik kemudian, “… lagi?”
Suaraku terdengar mengambang di udara, tak mendapat balasan suara. Hanya anggukan kepala, dengan tatapan yang kembali ke langit-langit kafe, sore itu.
Jadi benar, dia mengambil keputusan meninggalkan perusahaan yang telah memberinya, tak hanya pengalaman, juga berbagai fasilitas kelas satu, di samping tentu saja, gaji bulanan dan bonus tahunan yang menggiurkan. Semua orang, rasanya, menginginkan posisi dia saat ini.
Tapi dengan ego yang tak sepenuhnya bisa ia kendalikan, kurasa, ia memutuskan pergi.
Dia, lelaki yang aku kenal sejak SMA kelas satu, adalah lelaki idealis dan nyentrik yang berbakat. Ia nyaris selalu beruntung, pindah dari kantor agensi periklanan yang satu, lalu dipinang perusahaan konsultan komunikasi kelas internasional. Begitu terus, seolah ia berhasil mengawini Dewi Fortuna, dan bebas memilih mau kerja di mana saja, dan selalu beruntung.
Dan, dari curhat-curhat rutinnya soal pekerjaan itu, aku jadi tahu, kalau ia sering bermasalah dengan atasannya. Aku kira, penulis kreatif macam dia, adalah perpaduan seorang profesional dan seniman, yang cenderung tak mau diatur dan suka semaunya.
“Gue nggak suka dia. Bukan orang komunikasi, kok, sok-sok ngajari. Akibatnya proyek kami berantakan, dan pastinya klien kami ngamuk karena saran dia yang gak tepat. Akhirnya gue juga yang cuci piring,” keluhnya suatu ketika.
Dan karena bosnya yang -sok tahu dan arogan- itu, dia pindah ke kantornya saat ini.
Dan kau tahu, kawan, di tengah pandemi seperti sekarang ini, di saat banyak orang membutuhkan pekerjaan, eh sorry, juga uang akibat banyak PHK massal dan potongan gaji di sana-sini, eh, lelaki ini dengan seenak jidatnya malah mau resign?
Setelah dia mengucapkan “resign” dengan wajah datar tanpa ekspresi itu, aku segera menyambarnya dengan rentetan petuah, entah dia butuhkan atau tidak sebenarnya.
“Ini pasti soal bos baru lo lagi? Kenapa dia memangnya? Bukannya gaji lo udah dua kali lipat dari sebelumnya?” Tak lupa, aku juga memvonis dia sebagai Lelaki beruntung yang tak pandai bersyukur.
Aku terus memberondong dengan kombinasi pernyataan dan pertanyaan. Tapi dia memilih diam, dengan wajah yang agak pucat, dan sorot mata yang tak bercahaya seperti biasanya. Tapi aku nyaris tak peduli.
“Trus, lo udah dapet Kerja lagi, atau udah ada perusahaan yang ngajak lo gabung?”
Ia menggeleng, dengan wajah yang nyaris tertekuk.
“Anjing! Lo masih punya istri dan dua balita, Wan?!” aku nyaris berteriak begitu menangkap –biasa aja, resign ‘kan bukan akhir hidup.
“Lo mau ngasih makan apa, Bangsat?”
Aku geram dengan sikapnya yang sesantai itu, meski tahu, ini pertanyaan retorik. Aku tahu, ia punya cukup tabungan, sejumlah investasi bahkan dana darurat. Tapi dengan biaya hidup di ibukota yang sangat tinggi, itu semua akan cepat menguap, bukan? Apalagi, aku tahu betul sahabatku ini, tak punya bakat, apalagi minat untuk berwirausaha.
“Persoalan, bukan untuk dihindari, Kawan. Jadi resign, bukan jawaban. Eh, omong-omong, lo tahu kenapa Tuhan menciptakan pundak? Agar ia bisa memikul beban, Bro. Jangan cemen dong!”
Aku terus menghujaninya dengan nasihat, dari bernada protes, sampai bernuansa filosofis. Tapi, ia tetap bergeming, menunjukkan wajah ketidaksetujuan dan keengganannya mendengarkan celotehanku.
Setelah menyeruput hot avocado sore itu, aku berhenti. Bukan karena lelah, tapi karena kehabisan kata-kata. Rasanya, semua saran, komentar atau pendapat, sudah pernah aku sampaikan di sesi seperti ini. Sesi curhat resign-nya.
Eh, sebentar, apa tadi dia memintaku untuk berpendapat?
Kami diam, dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Ia lalu bangkit, menyambar tas kulitnya, lalu pergi dengan wajah yang ingin mengatakan, “Bukan itu yang ingin gue dengar dari lo, Rob,” ia lalu pamit, dan menghilang bersamaan dengan terbenamnya matahari senja itu.
Aku melihat punggungnya menjauh menuju pintu, lalu hilang di balik suara lonceng kecil yang berdentang menempel di satu sudutnya. Aku tahu, pendapatku bukan yang ia inginkan.
“Apa lagi sih yang dia cari?” aku mendesis pelan. Sebetulnya, aku sama sekali tak heran dengan watakmya yang begitu keras. Aku cuma ingin, sahabat baikku ini, tidak mengambil keputusan salah, yang bisa merugikan diri dan keluarga kecilnya. Apa salah aku bersikap begitu?
Setelah pertemuan di kafe sore itu, kami tak berkomunikasi. Biasanya, ada saja dalam sehari, ia memberi kabar, tautan berita, atau guyonan garing. Begitupun di grup alumni SMA, ia tak berkomentar apapun.
Mungkin kupikir, ia membutuhkan waktu untuk sendiri. Merenungi soal keputusannya yang tak didukung sahabatnya, mungkin juga keluarga kecilnya. Aku juga ikut mengevaluasi diri, mungkin ada pendapat atau saran yang justru yang memberi solusi. Namun, kuingat-ingat sore itu, ia hanya baru saja mengucapkan “Aku ingin resign,” namun aku telah memberondongnya dengan ceramah dan nasihat yang belum tentu ia butuhkan, seperti sesi curhat sebelumnya.
“Apa mungkin kali itu, ia tak membutuhkan nasihat seperti sebelumnya? Apa yang ingin ia sampaikan sebetulnya?” Ah bodoh sekali aku ini. Kecerdasan mendengarkanku betul-betul di titik terendah sore itu. bisa jadi, ia hanya butuh tempat untuk bercerita tentang unek-uneknya seperti biasa. Atau ada hal lain yang ingin dia ceritakan?
Tujuh hari berlalu, masih juga tak ada kabar. Aku lihat akun Instagram dan Facebook-nya, tak ada update posting-an apa-apa. Aku merasa tak enak hati, apa ia tersinggung? Tapi perasaan itu buru-buru kutepis, karena aku tahu betul si kepala batu itu. Sikapnya, cara berpikir, dan perangainya.
Hari keempat belas. Tak terasa, kesibukan bekerja di rumah, bisa menyita perhatianku darinya. Aku tersadar, sudah dua pekan ini, kami tak saling berkomunikasi. Aku harus meneleponnya, pikirku. Ya, sekadar menanyakan kabar, berbasa-basi, atau minta maaf?
Belum sempat kutekan ikon telepon pada namanya di ponselku, ada panggilan masuk dari nomor tak dikenal.
“Halo… Mas Robby?” suara perempuan di seberang, terdengar pelan dan bergetar. “Aku Raras…”
Tentu saja aku tahu, Raras itu istri si kepala batu itu, Arwan.
“Ya, Ras, apa kabar?” aku berusaha berbasa-basi, meski perasaan tak enak mulai menyelusup pelan-pelan. Tentu saja dia bukan sekadar iseng menelepon sahabat suaminya. Pasti ada sesuatu yang penting, atau genting?
“Mas Arwan sedang kritis, Mas. Sejak tadi pagi, dia menyebut nama Mas Robby terus…”
Deg!
Perasaan yang menyusup tadi, kini telah menguasai tiga perempat jantungku, dan membuat kegaduhan di sana, membuat degupnya kian tak beraturan.
“Hah, kritis? Sakit apa? Di mana?” kepanikan menyergap dengan cepat ke ubun-ubun kepalaku. Apa yang sudah terjadi selama empat belas hari ini dan aku tak tahu, lalu tiba-tiba Arwan kritis? Dia sakit apa?
Sahabat macam apa aku? Rasa bersalah kian mengepung. Aku lelaki, tapi aku ingin menangis.
“Nanti aku ceritakan, Mas.” Ia menyebut ruang ICU di sebuah rumah sakit kanker di pusat kota, lalu menutup telepon, membiarkan tanda tanya di kepalaku menggelembung begitu saja.
Aku segera berkemas, lalu memacu mobilku dengan kecepatan tinggi.
Butuh empat puluh lima menit, untuk tiba di ruang ICU rumah sakit itu. Selama itu pula, tanda tanya di kepalaku tentang keadaan Arwan, terus membesar seperti balon udara, yang kemudian pecah dengan penjelasan Raras.
“Mas Arwan divonis leukimia stadium empat, sebulan lalu,” Raras menjelaskan dengan sisa suara yang hampir parau, setelah aku menengok Arwan yang terbaring tak sadarkan diri. Sepertinya, sudah cukup lama ia menangisi keadaan suaminya.
Di ruang tunggu khusus pasien ICU, Raras didampingi kerabatnya. Ia mengeluarkan secarik kertas dari tasnnya.
“Mas Arwan cuma nitip surat ini. Katanya, kalau kondisinya memburuk, sampaikan surat ini ke Mas Robby,” surat dengan amplop berwarna kuning gading itu berpindah tangan. Tanganku bergetar, dengan tanda tanya kedua yang kembali menyusup.
Raras terus bercerita, kalau kondisi suaminya mulai memburuk sepekan terakhir, dan mulai tak sadarkan diri sejak kemarin. Ingin sekali aku bertanya, mengapa Raras tak mengabarkan kawan-kawan, atau aku, atau bahkan mem-posting di media sosial, sekadar untuk memohon doa seperti yang dilakukan kebanyakan orang?
Ah, hampir saja pertanyaan bodoh itu meluncur di waktu yang tidak tepat. Aku ingat, mereka adalah pasangan yang ‘kudet’ alias kurang update. Tidak semua kebahagiaan atau kesedihan mereka, tersaji dalam akun media sosial.
Aku halau tanda tanya itu, berganti perasaan bersalah yang kini mengendap-endap. Aku, lelaki yang mengaku sahabat dekat Arwan. Aku juga sangat mengenal Raras, mungkin lebih dari itu, di masa lalu, kini tak lebih dari seorang yang tak peka dan egois.
Getaran mulai merambat pada kedua tanganku, sehingga membuka amplop itu terasa sukar sekali. Ada tulisan tangan Arwan di sana, dengan tinta yang memudar di beberapa bagian.
My Bro, Robby
Maafkan sikap gue tempo hari di kafe sore itu. Gue tahu, Gue sangat menyebalkan. Susah ngomong detail dan lugas, sehingga susah banget gue cerita apa yang gue butuhin.
Gue pingin resign, Bro. Kali ini bukan karena Bos baru gue. Kayaknya, kuliah lo soal 1001 tips en trik menghadapi bos arogan, udah berhasil gue terapin deh. Percuma dong, saban gue mau resign, gue konsul ke lo.
Kali ini, gue resign dengan alasan yang berbeda, Bro. Gue harus fokus sama pengobatan dan menghabiskan waktu bersama orang tersayang di sisa umur gue.
Ya, gue sakit, Bro. Gue juga baru tahu awal bulan lalu. Kata dokter udah stadium empat. Sudah mentok. Gue cuma denger penjelasan kalo itu penyakit kanker, gitu aja. Gue nggak mau tahu lebih jauh soal penyebab, kenapa nggak terdeteksi dan lain-lain yang hanya akan bikin gue tambah shock.
Kata dokter, umur gue nggak lama, maksimal dua bulan.
Dan sore itu, gue cuma mau bilang: Gue titip anak-anak dan istri gue ya. Please, jagain mereka buat gue! Gue tahu, lo sama Raras masih saling cinta. Jadi, tolong penuhin permintaan terakhir gue.
Sekalian gue mau minta maaf sebenernya, kalau dulu itu, gue sama sekali nggak tahu, kalo perempuan yang lo cinta itu Raras. Dan gue tahu, Raras masih cinta sama lo. Kalau gue tahu lo udah menjalin hubungan sama Raras, pasti gue tolak perjodohan itu.
Sejak itu, gue sebenernya ngerasa bersalah. Karena gue tahu, sejak gue nikahin Raras, lo menutup hati buat perempuan lain.
Gue yakin, lo bisa jadi suami yang lebih baik dari gue buat Raras, juga ayah yang keren buat anak-anak.
Thanks ya, Bro.
Arwan
Lelaki yang lo sebut si kepala batu
Air mataku tak terbendung, begitu selesai membaca surat dari Arwan.
Air mata itu kian deras, ketika seorang perawat keluar dari ruang ICU dengan tergesa, lalu memanggil nama Raras dengan setengah berteriak, meminta agar ia menemani suaminya di detik-detik akhir menjelang ajalnya.
Sawangan, 16 September 2020