Kalau Saya Jadi Wartawan Tahun 2020

Menyandang profesi sebagai wartawan adalah impian yang terpatri dalam diri saya sejak masih berseragam putih biru. Bagi beberapa orang, bahkan yang sudah menekuni dunia jurnalistik puluhan tahun, menjadi jurnalis bukanlah cita-cita. Sebagian lain merespons sambil berkelakar: dari dulu lo sudah siap susah ya?

Senda gurau itu saya tanggapi dengan tertawa saja. Tapi hari ini saya menyadari, ternyata saya tak sesiap itu untuk (terus menerus) menjadi wartawan. Saya mengembalikan identitas pers ke media tempat saya bekerja pada 2017—meski dalam beberapa kesempatan, ada keinginan untuk kembali—dan memilih melanjutkan studi, lantas bekerja di bidang lain, meski masih di ranah komunikasi.

Pertanyaannya, sesusah itukah menggeluti kerja sebagai pewarta berita?

Jawabannya ialah, tidak dan iya. Tidak susah, melainkan menantang, karena, singkatnya, itu adalah pekerjaan yang saya inginkan. Dan iya sulit karena ada terlalu banyak alasan yang membuat pekerjaan sebagai jurnalis begitu berat. Bahkan hari-hari ini, kerja pewarta semakin pelik saja. Jika ada yang ingin mulai menggeluti dunia wartawan, catatan singkat ini bisa memberi gambaran kerja wartawan.

Konfirmasi, Klarifikasi, Verifikasi

Disiplin verifikasi adalah frasa yang sangat lekat dengan kerja jurnalistik. Begitu sulitnya melakukan verifikasi dan mencari data pendukung atas informasi agar dapat ditayangkan sebagai berita. Media yang menempatkan kredibilitas dan tanggung jawab di atas segalanya tidak akan mempublikasikan berita tanpa verifikasi. Kerja pada konteks ini semakin berat ketika wartawan harus ikut bertanggung jawab atas informasi palsu dan kabar bohong yang meramaikan jagat aplikasi pesan dan media sosial.

Saya tak menampik ada sejumlah media (abal-abal) yang dengan riang gembira memproduksi kabar bohong. Tapi lagi-lagi, media kredibel tidak melakukan itu dan justru disibukkan dengan tumpukan pekerjaan yang populer sekaligus melelahkan belakangan ini: memeriksa fakta. Melakukan klarifikasi juga konfirmasi. Dalam sebuah survei, jurnalis memang yang paling diharapkan meluruskan informasi palsu.

Intimidasi dan Kekerasan Fisik

Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyebutkan, sebanyak 787 kasus kekerasan terhadap pewarta terjadi pada periode 2006-2020. Ancaman kekerasan, kekerasan fisik, pemidanaan, mobilisasi massa, sensor atau pelarangan berita, adalah yang paling kerap dialami, dengan pelaku terbanyak adalah aparat. Kasus kekerasan fisik terbaru terjadi saat meliput aksi menolak Omnibus Law di sejumlah daerah, dengan jumlah 38 wartawan.

Kondisi itu belum termasuk kekerasan lainnya yang terjadi sepanjang tahun 2020 saat meliput beragam topik. Beberapa tahun lalu, saya dan rombongan diikuti preman saat meliput di suatu daerah. Meski liputan tetap dilakukan, tapi tindakan itu tentu saja mencemaskan dan membuat ciut nyali. Pertanyaannya, apakah hal yang sama kerap dialami wartawan di berbagai daerah tanpa pernah dilaporkan baik ke organisasi profesi maupun ke pihak berwenang lainnya?

Doxing terhadap Wartawan

Pembongkaran data pribadi (doxing) belakangan ini dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak suka dengan laporan jurnalistik. Sebagaimana dikatakan Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung, doxing ditujukan untk menyerang, membunuh karakter, dan melemahkan seseorang. Kerja wartawan sudah cukup berat tanpa ditambah lagi dengan teror yang ditujukan kepada mereka sebagai individu.

Yang saya perkirakan ketika dulu memutuskan menjadi wartawan adalah bahwa tantangan itu datangnya dari proses mencari ide, melakukan verifikasi, menemukan narasumber, dan keberanian dalam diri saya sendiri untuk mengungkap fakta. Tak terbayangkan bahwa profesi ini berkali-kali lipat lebih mengancam. Kita bahkan belum menyinggung bekerja di bawah tekanan deadline sambil terus menerus memberitakan kematian dan dampak negatif COVID-19 dari hari ke hari. Dan ada banyak hal lain yang belum disinggung dalam catatan sederhana ini yang membuat profesi jurnalis selalu menantang dan membutuhkan keberanian.

Jadi, apa rasanya kalau saya jadi wartawan (lagi) tahun 2020?


Penulis: R. Dewi Kandi

Featured photo by Welcome to all and thank you for your visit ! ツ dari Pixabaym

Photo by Austin Distel on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *