Liontin Berinisial Namaku

Penulis: Denik


Rombongan ibu-ibu pengajian satu per satu mulai masuk ke dalam bus. Hampir semua membawa tas kresek berisi belanjaan untuk oleh-oleh. Aku duduk di bangku kayu depan kios minuman. Menunggu ibu yang belum selesai berbelanja.

Hari itu aku mendampingi ibu yang ikut tour ke daerah Puncak bersama rombonganpengajian. Ini bukan kali pertama ibu mengikuti acara serupa. Dan biasanya aku tak mendampingi. Tapi kali ini aku harus ikut. Kondisi ibu beberapa bulan belakangan mulai tidak fit. Kerap sakit-sakitan. Jadi aku tak berani melepas ibu untuk pergi sendirian. Sebab diminta supaya tidak usah ikut acara pergi-pergi lagi tak mau. Alasannya, “Kapan lagi pergi bareng-bareng dengan teman pengajian.”

Maka begitulah. Untuk acara jalan-jalan kali ini akhirnya aku mesti bolos kerja demi ibu. Aku temani kemana pun ibu ingin tuju. Bahkan keliling belanja ketika hendak pulang. Padahal aku orang yang paling malas kalau diajak keliling untuk belanja. “Capek dan menjemukan,” menurutku. Tapi lagi-lagi demi ini aku rela dan ikhlas melakukan semua.

Ketika sudah selesai berbelanja dan siap menuju bus. Ibu berkata dengan lembut tetapi membuatku shock. “Kamu tunggu di warung itu sebentar ya? Ibu ke sana sebentar. Masih ada yang kurang. Tadi mau beli kok ribet sama bawaan. Jadi kami duduk aja jagain barang-barang ini,” kata ibu sambil menunjuk beberapa kumpulan pedagang. Itu artinya masih ada yang ingin ibu beli dan aku tak boleh ikut.

Wah, repot ini. Bisa lama. “Aku ikutlah, Bu!’ Tapi ibu tetap melarang. Jadilah aku duduk menanti di sebuah warung kopi.

Dan tebakanku benar. Ibu sangat lama belanjanya. Mau aku susul tapi repot dengan barang bawaan. Tidak disusul takut ada apa-apa mengingat kondisi ibu. Akhirnya dengan perasaan cemas aku hanya bisa duduk menunggu. Ditambah rombongan bus sudah lengkap. Tinggal menunggu ibu saja. Aku jadi merasa tak enak. Dan jadi ingin marah terhadap ibu.

“Bu… ke mana saja sih kok lama betul?” gerutuku. “Ibu beli apa lagi sih. Lama. Sudah ditanyain rombongan bus tadi.”

Ibu hanya senyum-senyum saja. “Namanya juga ibu-ibu. Ada saja yang terlintas di pikiran.”

Aku tak berusaha menanggapi kata-kata ibu. Langsung kuangkat barang-barang menuju bus. Di dalam bus aku minta maaf atas keterlambatan ini. Tetapi ibu biasa saja. Aku yang merasa kesal dan letih langsung mengambil posisi tidur begitu sampai di kursi. Sementara ibu ngobrol dengan ibu-ibu lain seputar belanjaannya.

Sampai tiba di rumah aku juga tak banyak bicara. Letih. Maka begitu selesai membersihkan badan aku tidur sampai pagi. Bahkan makan malam pun kulewatkan.

“Bangun, Nduk! Kamu enggak sholat subuh?” tanya ibu yang sudah ada di samping tempat tidurku.

Aku menggeliat. “Iya, Bu.”

Dengan langkah berat aku menuju ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk menunaikan sholat Subuh. Usai sholat aku kembali merebahkan diri ke kasur. Letih masih bergelayut di tubuh.

“Loh! Kamu enggak olahraga, Nduk?” tanya ibu.

“Enggak, Bu. Masih ngantuk,” sahutku.

“Ya, sudah. Ibu jalan-jalan pagi sama ibu-ibu ya? Ini buat kamu. Ibu beli di tempat wisata kemarin. Yang kamu ibu suruh tunggu itu. Ibu nyari-nyari ini susah betul.”

Dengan malas kuraih kotak kecil pemberian ibu. Begitu kubuka. “Ya ampun! Jadi ibu nyari-nyari ini kemarin?”

“Iya,” sahut ibu.

Kupeluk ibu dengan erat. “Makasih ya, Bu.”

“Kamu suka?” tanya ibu. Dan aku mengangguk pasti.

Tetapi yang lebih membuatku terharu. Rupanya di tengah keletihan dan kepayahannya, ibu memikirkan apa yang menjadi keinginan anaknya. Padahal anaknya sendiri sudah melupakannya. Sebuah kalung dengan liontin insial namaku. Yang kuinginkan tetapi kemarin di tempat wisata tapi karena terburu-buru menemani ibu, maka kuurungkan untuk membeli serta menawarnya. Rupanya ibu melihat hal itu. Lalu diam-diam membelikannya untukku.

Oh, ibu. I love you.


Editor: Lufti Avianto

Photo by Honey Yanibel Minaya Cruz on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *