Bumi dan Cucu Eyang

Menjaga marwah reformasi adalah menjaga demokrasi, menjaga negeri dari serangan masif oligarki yang akan mengorupsi republik ini. Melawan korupsi adalah menjaga anak-anak kita.

PADA SEBUAH PAGI. Bumi masih bobok saat ayah dan ibunya bersiap siap ke Car Free Day (CFD) Jakarta. “Gendong saja, Yah,” pinta sang istri sambil berkemas.

Ini bukan agenda CFD biasa. Keluarga kecil ini, pun tancap gas menuju titik kumpul di sekitaran Bundaran Hotel Indonesia (HI). Bumi, bocah lelaki yang masih terlelap saat dibawa orang tuanya, berusia 3 tahun.

Tepat pukul enam pagi, waktu yang disepakati untuk berkumpul, keluarga kecil itu telah bergabung dengan serombongan keluarga lainnya, bercampur-baur dengan masyarakat yang ingin berolahraga di CFD, termasuk mereka yang baru saja menghabiskan malam Minggu di ibu kota. Mau pulang tanggung, mana tahu itu CFD terakhir di ibu kota, kira-kira begitu yang ada di pikiran mereka, termasuk saya.

Di Bundaran HI, Bumi sudah bangun dan telah berlari-lari bersama teman sebaya, anak dari kawan-kawan ayahnya. Mereka ceria saja. Bumi dan kawan-kawan kecilnya mungkin tidak tahu apa yang sedang terjadi. Begitu juga mungkin dengan ribuan masyarakat yang sedang menikmati kegiatan paginya di CFD, termasuk jutaan rakyat Indonesia di seluruh pelosok negeri.

Ayah Bumi dan kawan-kawannya, telah bersiap dengan ribuan tangkai bunga duka cita di tangan, bersama ribuan lembar kertas yang siap dibagikan ke peserta CFD pagi itu.

Sementara itu di lain tempat, cucu Eyang -bocah lucu yang menggemeskan, seusia Bumi-, sedang menikmati akhir pekan dengan keluarga bersama sang Eyang. Sungguh menggembirakan. Cermin keluarga harapan, dan penuh masa depan. Kita turut berbangga, pemimpin bangsa yang sederhana dan sayang keluarga ini, selalu menyempatkan diri bermain dengan anak dan cucunya.

Kembali ke Bumi dan anak-anak seusianya di tempat yang berbeda, dalam keceriaannya tercermin hitamnya harapan dan gelapnya masa depan. Apa yang selama ini dilakukan Ayah Bumi dan kawan-kawan seperjuangannya akan sirna dalam hitungan hari yang tak bisa ditebak kecepatannya.

Mungkin Bumi pun Cucu Eyang yang lucu itu dan jutaan anak lainnya tidak paham apa yang terjadi. Memang masa depan dan nasib bukan prerogatif manusia. Tapi masa depan juga bisa sirna oleh ulah dan sikap manusia.

Hari itu, Ayah Bumi juga kawan-kawannya, sedang mengadukan nasib lembaganya kepada Sang Eyang.

Banyak yang ikut bersuara, ikut mendukung, dan turut berjuang bersama Ayah Bumi. Ada akademisi lintas jurusan, para profesor dari berbagai bidang, ahli hukum, tokoh lintas agama, termasuk masyarakat awam yang ingin tahu apa yang terjadi. Tidak sedikit pula media nasional dan global yang terus memberitakan apa yang sedang terjadi.

Di lain pihak, tak sedikit pula yang sinis, dan mengatakan, “Ini hanya soal asap dapur yang sedang diperjuangkan.”

Betul juga sih, nggak ada yang salah dengan itu.

Lalu ada juga yang bilang, “Ini karena ada sekelompok anak muda yang ingin menguasai lembaganya.”

Waduh gila! Apa iya bisa? Jika ada riak dan aksi kecil-kecilan yang dilakukan, semata-mata ingin menegakkan apa yang seharusnya mereka lakukan. Lain tidak. Justru jika mereka diam dan membiarkan kekeliruan dan nirintegritas di depan mata, maka mereka bisa lebih buruk dari mereka yang bermasalah itu.

Ayah Bumi, bukan kali ini saja melakukannya. Bahkan, sejak masih menjadi mahasiswa sudah mulai menyuarakan perlawanan akan ketidakadilan hukum termasuk perlawanan terhadap korupsi yang semakin menggila. Sebagaimana amanat reformasi, dua hal itu harus terus diperjuangkan karena banyak persoalan negeri yang terus tumbuh dan berkelindan dengan busuknya politik hukum di negeri ini.

Wajah buruk demokrasi kita, berkelahi berebut kekuasaan, bersatu padu membunuh asa pemberantasan korupsi. Alih-alih memperkuat lembaga antikorupsinya, yang terlihat malah tak berhenti menggerogoti dan mematikannya.

Berbagai argumentasi dan janji-janji kosong di berbagai kesempatan tidak malu-malu mereka umbar. Jejak digital menyimpan semua dengan rapi. Itulah yang dituntut Ayah Bumi dan kawan-kawannya. Menjaga marwah reformasi adalah menjaga demokrasi, menjaga negeri dari serangan masif oligarki yang akan mengorupsi republik ini. Melawan korupsi adalah menjaga Bumi. Juga menjaga jutaan anak-anak Indonesia sebagai harapan baru kita di masa depan. Termasuk si cucu Eyang.


Photo by Allen Taylor on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *