Penulis: Atik
Aku selalu menyukai pemandangan setiap hari aku menuju sekolahku bertugas. Pondok Cabe – Cipete Utara. Mengapa demikian? Simple alasannya. Aku suka melihat apa saja yang terjadi di sepanjang jalan yang kutemui.
Yang paling sering menarik perhatianku adalah pemandangan perempuan-perempuan perkasa yang bekerja sebagai pemulung maupun pembersih jalan Jakarta yang penuh debu.
Tak jarang kulihat mereka bekerja sambil menggendong anaknya yang masih balita di punggung mereka yang kuat karena Allah yang menguatkan. Sambil memilah-milah sampah yang dapat dijual di pengepul, sesekali kain gendongnya yang lusuh ditariknya untuk dikuatkan agar anaknya tidak jatuh.
Saat itulah terlihat mereka pun menghimpun lagi sisa tenaga yang dimiliki karena lelah yang amat sangat menjalani pekerjaan itu. Melihat pemandangan itu, aku bersyukur tidak terkira pada Allah karena nikmat-Nya yang tak terhingga aku tidak perlu berada di posisi sulit seperti itu karena aku tak yakin bisa lebih kuat seperti mereka.
Salah satu perempuan perkasa bagiku adalah tanteku sendiri. Adik bungsu ibuku yang usianya hanya terpaut enam tahun dariku. Kami adalah tante-keponakan sekaligus teman. Sejak ia belum menikah, sampai takdir Allah menentukan ia harus berjuang sendirian membesarkan kedua anaknya, sepupu-sepupuku, setelah kematian suaminya akibat tabrak lari 9 tahun lalu.
Tanteku sangat tegar menghadapi hidupnya. Setahun sebelum suaminya meninggal, tante diuji dengan harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya berbagi hati dengan menikahi perempuan lain saat bekerja di Palembang, sementara saat itu anak-anaknya baru berusia 1,5 tahun dan 9 tahun. Namun, tante tak mundur dari pernikahannya. Ia tetap tegar menahan perasaannya yang terluka demi anak-anaknya.
Allah Maha Adil dan tak pernah menelantarkan hamba-hamba-Nya yang bertakwa serta berserah diri pada-Nya. Selepas kepergian suaminya ke haribaan-Nya, bertahun-tahun tente menghidupi anak-anaknya dengan berjualan kue, es batu, es mambo, dan rental playstation.
Saudara-saudara iparnya sangat menyayangi tante dan sepupu-sepupuku sehingga urusan sekolah mereka tak pernah kekurangan. Oleh karenanya, meskipun sedikit, aku pun rutin mengirimkan sebagian kecil rezekiku untuk sepupu-sepupuku itu. Di kala keadaan hidup terjepit, aku yakinkan tanteku untuk tak sungkan meminta bantuanku kapan pun karena pasti akan kuusahakan.
Tanteku memiliki rasa syukur yang begitu besar atas apa saja yang ia miliki. Berkahnya, ia memiliki anak-anak yang berbudi pekerti baik dan menyanyangi ibunya sepenuh hati. Harta dunia akhirat telah tante miliki, anak-anak soleh dan solehah.
Melihat pemandangan perempuan-perempuan perkasa di atas, aku pun bertekad bahwa aku pun harus dapat seperti mereka. Karena aku tak pernah tahu, kemana takdir Allah akan membawa dan menempatkanku dengan segala skenario-Nya, maka aku merasa perlu membenahi dan mempersiapkan diriku menjadi perempuan perkasa bagi diriku dan anak-anakku.
Aku yang awalnya selalu mengeluh dengan kondisi pekerjaanku di sekolah, kini perlahan-lahan kuubah dengan menikmati semua kesulitan dan kemudahan yang kutemui saat menghadapi murid-muridku, rekan-rekan kerja, pimpinan-pimpinan, dan semua hal yang berkaitan dengan sekilah tempatku mencari nafkah. Semoga Allah meridhoi dan menguatkanku untuk menjadi salah satu perempuan perkasa.
Editor: Lufti Avianto
Photo by Molly Belle on Unsplash