Cerpen Yeni Kartika: Celengan

Badannya yang kurus tertatih melangkahkan kaki menuju ruang tamu untuk menemui bapak. Tangannya mendekap erat sebuah celengan tanah liat berbentuk ayam berukuran kecil. Kakinya yang lelah bergerak perlahan mendekati bapak yang menunggu di ruang tamu.

Bapak meluruskan kakinya, ia duduk di atas tikar berwarna coklat yang pudar dan usang. Dari kejauhan ia melihat senyum ibu yang merekah sambil melirik celengan yang dibawanya.

“Semoga cukup ya, Pak” ucap ibu.

“Iya Bu, semoga cukup untuk Ibu berkurban tahun ini.”

Sudah tidak sabar lagi rasanya ingin menghitung jumlah uang di dalam celengan yang sudah berumur satu tahun.

Ibu yang masih berdiri, menjatuhkan celengan yang ada dalam dekapan. Hancur berserakan di atas lantai. Ibu mendekati kepingan yang pecah, jari-jemarinya mengambil uang-uang yang berhamburan. Kerutan di dahinya muncul sembari mengumpulkan uang di dalam genggaman. Bapak terdiam melihat uang-uang logam dari celengan yang baru saja pecah.

Suasana hening sejenak, ibu dan bapak sama-sama saling melihat.

“Uang kita, Bu,” ucap bapak.

“Uang kertasnya kok tidak ada ya, Pak?”

Bapak mendekat, membantu ibu mencari uang kertas di antara uang-uang logam. Satu per satu serpihan celengan disingkirkan di sudut ruangan dan tinggallah uang logam yang tersisa.

“Bu…” ucap bapak sambil menyentuh pundak ibu.

Ibu tidak menjawab, matanya berlinang. Tangannya menghapus air mata yang jatuh sedikit di ujung mata. Semua uang kertas dua ribu dan lima ribu semuanya hilang. Tidak ada satupun yang tersisa.

“Mungkin belum rezeki tahun ini, Bu. Bapak akan kerja keras lagi, nanti kita simpan uangnya ke tempat yang lebih aman ya, Bu,” ucap bapak.

Ibu masih terdiam, ia berdiri dan masuk ke dalam kamar.

Bapak tidak menyusul, ia tahu ibu benar-benar sedih dengan kejadian ini. Perlahan bapak berdiri dan pindah untuk duduk di bawah pohon yang ada di depan rumah. Mengingat kembali, mencoba menghitung jumlah uang yang sudah ia masukan ke dalam tabungan.

Usia yang sudah menua, membuat bapak sulit untuk mengingat jumlahnya. Yang jelas setiap hari bapak selalu memasukkan uang kertas. Kalau tidak lima ribu, biasanya dua ribu. Begitu ingatnya.

Kebingungan memenuhi kepalanya. Angin sore semakin membawa bapak ke dalam lamunan.

“Kok bisa hilang ya?”

“Celengannya, kan tanah liat, kok bisa hilang?”

“Kalau maling, pasti dia ambil beserta celengannya ‘kan?”

Pertanyaan-pertanyaan muncul tapi jawabannya tak kunjung ketemu.

Dari seberang, Pak Anwar tetangga depan rumah memperhatikannya. Dari kejauhan ia berjalan mendekat

“Ada masalah pak?” tanyanya.

Pak Anwar memang tetangga yang baik, selalu peduli dan memperhatikan lingkungan sekitar. Keadaannya cukup berada dan ia sering berbagi dengan tetangga yang sedang kesusahan.

“Saya sedang bingung dan mengingat-ingat.”

Pak Anwar terus memperhatikan.

“Uang di celengan saya hilang, tapi hanya uang kertas saja, uang logamnya tidak.”

“Lumayan banyak jumlahnya, untuk istri berkurban tahun ini.”

Spontan Pak Anwar mengingat kejadian di desa akhir-akhir ini dan langsung menjawab,

“Wah pasti tuyul!” seru Pak Anwar.

“Tuyul? Yang benar saja?”

“Iya Pak, desa kita sekarang sedang ada tuyul berkeliaran, sudah banyak korban. Jadi kita harus lebih hati-hati. Di grup whatsapp heboh sekali karena tuyul ini.”

Bapak yang sudah tua berangsur-angsur percaya, dirinya yang tidak memiliki gawai membuatnya buta akan kejadian yang sedang terjadi di desa. Hanya tetangga sekitar saja yang Bapak tahu, selebihnya di luar jangkauan.

“Maaf Pak, bagaimana kalau saya ganti dengan uang saya saja, istri bapak pasti sedih sekali sekarang,” ucap Pak Anwar.

“Tidak usah repot-repot Pak. Mungkin tahun depan saja berkurbannya.”

Pak Anwar tidak mau membahas lebih jauh dan tidak ingin mempersedih keadaan. Yang hilang, biarlah hilang dan yang sudah, biarlah berlalu.

“Santi!” teriak Pak Anwar dari seberang ketika melihat anaknya yang sedang menyapu di halaman rumah.

“Tolong buatkan Bapak kopi, dua ya nak!” lanjutnya.

Santi menganggukkan kepala seraya mengiyakan seruan bapaknya. Ia berhenti menyapu kemudian masuk ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian ia keluar membawa dua gelas kopi hitam dan sepiring goreng pisang.

“Wah mantap sekali, terima kasih anakku,” ucap Pak Anwar.

Santi mengangguk dan kembali ke rumah untuk melanjutkan menyapu.

“Ngopi dulu Pak sebentar, biar pikirannya tenang sejenak,” ucap Anwar sambil memberikan secangkir kopi hitam buatan anaknya.

Bapak menyambut cangkirnya, menutup mata dan menghirup kopi hitam. Pahitnya kopi membuatnya ingat akan perjuangannya menabung hari demi hari agar istrinya bisa berkurban hari ini.

Ia bekerja di ujung desa, setiap hari berjalan kaki untuk bisa sampai ke tempat kerja. Di sana bapak menjadi tukang kayu dengan alat yang seadanya, dan butuh tenaga ekstra. Bapak harus kerja keras untuk menabung, untuk biaya kehidupan dan untuk membeli obat istrinya yang mulai sakit-sakitan.

Selepas Subuh ia selalu menapakkan kaki untuk berjalan, melewati rumah-rumah tetangga. Menyandang sebuah tas dengan bekal botol minuman dan handuk kecil untuk mengelap keringat.

Tempat kerja bapak penuh dengan polusi serbuk kayu, suasananya sangat berisik dipenuhi dengan hilir mudik orang dan bunyi alat-alat kerja.

“Bapak kerjanya jangan lama-lama seperti ini, nanti konsumen bisa marah, saya yang rugi!”

Bos besar di tempat bapak selalu seperti itu, ia tidak memandang bapak yang mulai menua dengan badannya yang kecil dan kurus. Wajar saja tenaganya tidak seperti yang lain. Tidak membantah sedikitpun, Bapak hanya terus melanjutkan pekerjaannya dengan menambah tenaga ekstra semaksimal mungkin agar pesanan konsumen dapat cepat terselesaikan.

Selesai bekerja bapak harus menyiapkan hati untuk bersabar melewati rumah Pak Burhan. Ia tetangga yang kaya raya di desa. Ketika pagi, bapak lega hati tidak bertemu karena penghuni rumah masih hilir-mudik di dalamnya.

Tetapi, ketika pulang kerja, bapak harus tahan hati dan bersabar. Setiap sore keluarga Pak Burhan selalu bersantai duduk di depan teras rumah.

“Aduh selalu saja mengganggu pemandangan sore, hus pergi-pergi!”

“Dasar bau!”

“Tidak usah lihat-lihat, nanti kami ketularan virus miskin!”

Sungguh sombong sekali, bapak hanya berjalan lurus saja tidak mengganggu bahkan tidak mengeluarkan satu katapun.

Bapak yang lelah bekerja, berjalan tertunduk dengan keringat yang bercucuran dari teriknya matahari. Melirik keluarga Pak Burhan yang sedang makan-makan di teras rumah dengan lahap yang diiringi dengan senyum dan tawa keluarga mereka.

Bapak hanya bisa diam, samar-samar ia memegang perutnya dan terus berjalan pulang ke rumah.

“Pak, dimakan goreng pisangnya,” ajak Pak Anwar.

Lamunan bapak terpecahkan dengan suara Pak Anwar yang sedang asyik makan goreng pisang dari anaknya. Bapak menghela napas berusaha melupakan kejadian-kejadian pahit dalam hidupnya.

Ia menaruh cangkir kopi kemudian mengambil pisang. Pikiran bapak masih tidak tenang, istrinya pasti masih sedih menangis di dalam kamar. Bapak bingung harus bagaimana.

“Kembalikanlah tuyul, kami butuh uang itu,” ucap bapak dalam hati.

Hari semakin sore, Pak Anwar berpamitan untuk pulang ke rumah, dipanggilnya Santi untuk membereskan cangkir kopi dan piring, lalu memberikan sepiring goreng pisang yang baru untuk bapak.

“Terima kasih banyak Pak Anwar dan Santi,” ucap Bapak.

Bapak masuk membawa sepiring goreng pisang. Kembali duduk di atas tikar yang lusuh. Dari ruang tamu, bapak melihat ibu masih bersedih di dalam kamar.

“Bu, kemarilah,” ucap bapak.

Tidak ada jawaban apa-apa. Ibu keluar dari dalam kamar, matanya merah lesu, air matanya masih terlihat jelas di pipi.

“Assalamualaikum…” ucap laki-laki dari luar yang membuka pintu rumah.

Ia anak bapak dan ibu, namanya Rudi, memakai kaos oblong hitam yang mulai memudar menjadi abu-abu dan celana training. Badannya yang kurus dan tidak terlalu tinggi itu membuatnya terlihat mirip sekali dengan bapak

“Ibu?” Rudi berjalan mendekat. “Kenapa menangis? Ada apa?”

“Ibu kenapa, Pak?” tanya Rudi.

“Ada tuyul, Nak, uang kertas di celengan hilang,” jawab bapak.

Ibu yang sedang menangis terheran menatap bapak. Sedih dan bingung bercampur menjadi satu. Sebenarnya ada apa ini.

“Tuyul? Tuyul bagaimana, Pak?” tanya Rudi lagi.

“Iya, tadi Pak Anwar bilang di desa kita sedang ada tuyul berkeliaran, bapak tidak tahu apa-apa. Uang di celengan sudah hilang saja. Uang logamnya masih ada, hanya yang kertas saja yang hilang.”

Rudi melihat di sudut ruangan masih ada pecahan celengan yang belum sempat dibereskan, begitu pula dengan uang logam yang masih tersusun rapi di sebelah serpihannya. Rudi mencoba melihat celengan itu. Pecahannya hanya sedikit.

Rudi ikut bingung dan memutuskan untuk mengambil minum di dapur.

“Ibu!” seru Rudi. Secepat mungkin Rudi berlari ke ruang tamu.

“Pantas saja Bu, uang kertasnya tidak ada, ibu salah memecahkan celengan, ini celengan ibu,” ucap Rudi sambil memberikan celengan ayam yang bentuknya serupa tetapi ukurannya lebih besar.

“Yang ibu pecahkan itu celengan Rudi, memang tidak ada uang kertasnya,” lanjut Rudi sambil menggarukkan kepala sambil menahan senyum malu.

Seketika ibu berhenti menangis, dan saling bertatapan dengan bapak. Tidak ada yang menyadarinya sedari tadi. Berlarut dalam kesedihan membuat mereka semakin tak sadar kalau mereka salah memecahkan celengan.

“Ayo Pak, kita pecahkan celengan kita,” seru ibu bahagia walaupun dengan suara yang parau.

Ibu meraih celengannya, dan bapak sudah tidak sabar menunggu celengan pecah.

“Bu, jangan!” seru Rudi.

Celengan yang tadinya ingin meluncur ke lantai, sekarang berhenti dalam dekapan ibu.

“Kenapa ?” tanya ibu.

“Tidak usah dipecahkan, Bu” ucap Rudi.

“Ibu ingin berkurban tahun ini Nak,” ucap Bapak.

“Disimpan saja Pak, sebelum pulang ke rumah, tadi Rudi sudah membayarkan uang kurban untuk Bapak dan Ibu.”

Ibu meneteskan air mata haru, ia mendekati Rudi dan memeluknya.

“Jangan menangis lagi, Bu,” ucap Rudi

Ibu tersenyum, pun dengan bapak. Raut wajah yang lusuh sekarang berubah bahagia. Akhirnya tahun ini ibu dan bapak bisa berkurban. Tuhan memang punya rencana yang baik dan Tuhan memang selalu memberi pelangi yang indah ketika hujan turun.

“Permisi…” Pak Anwar datang bersama istrinya membawa buah semangka.

“Masuk Pak, masuk,” jawab Ibu.

Mereka duduk bersama di ruang tamu yang beralasan tikar.

“Bagaimana Pak? Sudah ketemu belum uangnya? Ternyata tuyul yang saya bilang tadi berita hoax Pak,” ucap Pak Anwar sambil menggaruk-garuk kepala.

Masyarakat desa masih rendah sekali pengetahuannya untuk memfilter berita yang masuk. Hoax menyebar dimana-mana terutama di grup-grup keluarga dan grup masyarakat desa. Pak Anwar pun sudah menjadi korbannya hari ini.

“Ternyata tadi istri saya salah memecahkan celengan, Pak,” seru bapak.

“Waduh…” Pak Anwar tertawa kecil dan diikuti dengan yang lainnya juga ikut tertawa.

“Kita ini sudah tua Pak, pikunnya sudah mulai menyebar di kepala kita ini,” lanjut Pak Anwar.

Istri Pak Anwar menatap celengan ayam yang masih dalam dekapan ibu, untuk memastikannya ia bertanya,

“Itu celengannya ya Bu?” tanya Istri Pak Anwar sambil menatap celengan.

“Iya Bu, tadi mau dipecahkan tapi Alhamdulillah kurban saya sudah dibayarkan Rudi, Bapaknya juga, Alhamdulillah,” ucap ibu.

“Rudi memang anak yang baik, rajin, semoga selalu membuat ibu dan Bapak bahagia ya,” ucap Pak Anwar.

Rudi hanya diam dan tersenyum, keadaan menjadi tenang kembali, tangis ibu sudah berhenti, tatapan lesu bapak pun sudah berganti bahagia. Juga Pak Anwar yang turut bahagia dan lega dengan kejadian bapak dan ibu yang sudah terselesaikan.


Editor: Lufti Avianto

Photo by Mitchell Luo on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *