Penulis: Prima Sari
Kalian tahu aku dulu tidak tertarik sama sekali soal kambing. Yang kutahu kambing adalah peliharaan orang pedesaan. Seperti tetangga nenek di wilayah Kediri. Kambing, sapi, kerbau hal-hal semacam itu tidak terlalu kupedulikan. Namun bukan berarti aku tak suka karena di tempat tinggalku pun, semasa kecil masih bisa kutemui hewan seperti kerbau atau kambing gibas. Bahkan seingatku aku sempat menaiki punggung kerbau yang biasanya siang hari sepulang sekolah kadang kami jumpai sedang merumput di lapangan desa. Kasar. Tak banyak bulu tapi ada dan besar-besar, mengesankan kulit tebal kerbau memang bukan ditakdirkan untuk dielus dan dimanja. Tak sehalus kambing dan sapi yang kudekati ketika hari raya kurban, apalagi kucing anggora yang terawat.
“Apa ya nama usaha aqiqah yang bagus?” tanya seseorang di seberang telepon.
“Barokah? Al Amanah?” jawabku antusias.
Tidak tepat mengingat apa jawabanku kala itu. Yang jelas, aku mengusulkan nama-nama islami yang setahuku maknanya baik, harapanku demikian. Pada dirinya, pada usahanya yang dirintis. Aku yang berumur 28 tahun dengan pergaulan yang bisa dikategorikan kurang, berusaha menyenangkan hati seseorang yang sudah berumur kepala tiga. Walau sejujurnya ia menelepon di saat yang tidak tepat. Aku sedang berkumpul dengan keluarga besar di Blitar.
Kok gak pengertian gini si dia…
Aku yang tidak ingin dia sedih akhirnya yang tak enak sendiri karena harus menepi, sedikit menjauh dari riuh ramai perbincangan keluarga agar bisa melanjutkan pembicaraannya yang sedang bersemangat. Aku pun turut bahagia untuknya, mengetahui aku berarti dalam hidupnya. Selepas menelepon dengannya, aku segera bergabung dengan keluarga besar untuk menyantap sajian spesial hari raya kurban.
Maafkan aku keluargaku, sudah melewatkan beberapa momen karena memilih orang lain yang semoga suatu saat jadi bagian keluarga ini juga. Aku santap makanan yang sudah ada dalam piringku. Daging kambing berkuah.
Ingatan lain tentang kambing yang tertancap di benak karena dirinya selain aku mulai tertarik dengan kambing adalah suka duka dia berusaha. Bagaimana tidak sedih, kalau kambing peliharaanmu yang kurus akhirnya tidak dipilih oleh orang tua teman wanita yang menarik hatimu? Sedih. Itu yang kutangkap dari mimik wajahnya di foto linimasa facebook-nya.
Ya, setelah ibu melihat kambing-kambing peliharaannya, dan menjamu kami di rumahnya, ia harus menghadiri acara makan-makan bersama kolega kerjanya, teman –teman sesama guru karate. Matanya memandang kamera dengan senyum yang sangat mahal, nyaris seperti tak tersenyum. Sementara kawannya, bisa dilihat gigi-gigi putihnya yang berjajar.
Maafkan aku…. Batinku yang kala itu masih menyalahkan ibu karena merasa tak didukung.
Aku teringat mendatangi kandang kambingnya, membantunya membersihkan kandang dan menikmati ia memberi makan kambing-kambingnya. Kala itu, indah sekali. Bersama seseorang yang kita sayang melakukan sesuatu yang membuat kita melihatnya senang. Bau kotoran kambing mungkin sudah jadi sesedap kue blackforest favorit. Ambyar. Meski jelas-jelas tidak realistis… tapi perasaan itu yang nikmatnya masih terpatri di pikiran, syahdu.
Kandangnya berada di dekat kuburan, sangat sederhana. Ketika mencoba berani bermimpi, selalu kuajukan pertanyaan atau gagasan agar kelak punya farming besar. Hingga waktu kita harus disediakan lebih banyak sehari-harinya. Sayangnya, kami sama-sama seperti kembang api. Semangat di depan atau kurang sekali persiapan. Bisa jadi juga karena dari awal kami yang kurang kompak. Tak sepenuh hati dan jelas untuk sepakat usaha bersama. Dari sepenggal memoar ini saja, aku yakin kalian bisa menebak apakah farming itu terwujud atau tidak.
Iman itu benar adanya diperlukan di segala sisi kehidupan. Tak cukup hanya membantu iklan sekali dua kali, menyemangati ucap dan kata berjejal, atau berhasil mengajak calon pembeli datang ke kandang untuk melihat agar usaha itu tetap ia pegang dengan keteguhan dan keyakinan.
Ah, mungkin karena iman yang kurang tadi jua, akhirnya hubungan asmara bisa dikatakan kandas. Dia begitu suka sate kambing, seperti halnya ia dulu begitu menyukaiku, dan menghadirkanku dalam rencana hidupnya. Usaha akikah.
Yup, itulah secuil tentang diriku yang mengenang satu dua tiga episode kehidupanku tatkala Hari Raya Idul Qurban tiba. Hal lain yang ingin kutimbulkan dari kenangan soal hari raya kurban adalah tulisan tentang hari raya kurban itu sendiri. Diminta mengisi buletin TPQ di depan rumah yang bertepatan dengan momen hari raya kurban, aku coba mengajak pembaca menyelami argumenku soal hari raya kurban. Benarkah kurban itu sejatinya tidak ada dalam momen penyembelihan Ismail oleh Ibrahim? Haruskah ini kurekonstruksikan ulang? Hahaha kupikir lebih baik tidak karena sebagian besar komposisinya sudah tak bisa kuingat jelas. Makna yang kudapat akan aku siratkan dalam sebuah sajak saja. Bak cinta Ismail dan Ibrahim pada Rabbnya, level keyakinan itu semoga bisa tergambar indah, baik, dan benar dalam sajak pegiat literasi pemula ini.
#17
Ingin kutulis suatu makna
Berlarian dalam kepala
Kutangkap satu
Yang lain lepas
Bukan sedang bermain!
Menggerutu
Batinku
#18
Duduk tasyahud akhir
Bersandar bahu kiri
Pada kaki dipan
Tempatku merasa payah
Bersandar bahu kiri
Mengakui lemahnya diri
Tempatku merasa payah
Duniawi dalam sembah
Ah, sudah
Aku ini bukan Ibrahim
Aku juga bukan Ismail
Aku hanya hamba Tuhan
Yang masih inginkan
Anak-anak makna tak lagi berlarian
#19
Bagian otak itu
Tak berhasil jadi mayoret
Musiknya tak karuan
Langkahnya tak serempak
Apa yang harus kulakukan
#20
Masih
Parade itu berjalan
Dengan mayoret gadungan
Jiwa menjerit
Meronta
Hentikan
Naas
Tak terdengar apa-apa
#30
Anak-anak itu masih berlarian
Anak-anak itu masih berlarian
Anak-anakku tetap saja berlarian
Anak-anakku tak lagi harus kukejar
Anak-anakku tak lagi buat gentar
Anak-anakku biarlah melihatku berlari riang
Memimpin
Sebuah pilihan
Berlari ke arah yang sama
Sembari…
Bermimpi atau berkelakar
Ada Tuhan dalam diri, hati
Allahu Akbar
Editor: Lufti Avianto
Photo by Annie Spratt on Unsplash