Flash Fiction Windystone: Nazar Qurban

Fatih mengusap keningnya. Tidak ada keringat di sana. Setelah menutup panggilan telepon dari Bagas, pikirannya bercabang.

“Ayolah, Tih. Lo satu-satunya orang yang bisa melengkapi tim paduan suara kampus.”

“Gimana ya? Ada subsidi gak?”

“Kampus nanggung setengah dari budget proposal kita. Bu Ida maulah nambahin bakal ongkos.”

“Mmm…”

“Lo ga mau tim kita menang?”

Pertanyaan macam ini selalu meninju hati Fatih.

“Okelah. Gue ikut.”

Yes! Thanks, Bro. Nanti gue kabarin kapan latihannya.”

Telepon ditutup.

Sekali lagi Fatih mengusap keningnya. Kali ini dengan kedua tangan seperti gerakan menyapu kepala saat berwudhu. Mata Fatih lalu tertuju pada kalender yang tertempel di dinding kamar kost-kostan berukuran sembilan meter persegi itu. Jari kurusnya memutar-mutari angka yang telah dilingkari dengan spidol warna merah.

Tiga bulan lagi, bisa gak ya?

Ketika batinnya sedang berdialog, telepon pintarnya berbunyi, tanda pesan masuk. Sambil menggaruk ujung alisnya, ia meraih ponsel itu.

“Kita latihan mulai besok, Tih. Tiap Senin dan Rabu, jam lima sore. Catet ya.”

Fatih menghembuskan napas panjang. Dibenamkannya kepalanya ke bantal yang bertengger di kasur. Kakinya menendang-nendang tak tentu arah di sepanjang ranjang.

Ya Allah, susah banget sih mau qurban.


Jam dinding tepat menunjuk angka empat ketika Bu Eka baru saja keluar kelas. Tak perlu menunggu lama, para mahasiswa pun mengekor jejak bu Eka. Setelah merampungkan penjelasannya dan memberikan tugas Ekonomi Syariah kepada mahasiswa, Bu Eka buru-buru meninggalkan kelas. Ada urusan keluarga katanya.

“Woy! Ngelamun aja lo, Tih! Kesambet, baru tau! Gak balik lo?”

“Kantin yuk! Pusing gue.”

“Kuy lah.”

Di kantin yang masih ramai, untungnya Fatih masih menemukan meja kosong. Ia letakkan tasnya di meja itu agar tidak ditempati orang lain. Sedangkan Eza memesan dan membawa sendiri pesanan lemon tea mereka.

Gelas lemon tea Fatih hampir kosong saat baru saja mendarat di meja. Terheran melihat tingkah Fatih, Eza tak mau kalah dalam hal seruput-menyeruput.

“Weitz, kalem, Tih. Lo kayak orang kagak pernah nemu air. Napa sih?”

Fatih menimbang-nimbang. Apakah ia perlu menceritakan percabangan pikirannya ke Eza atau tidak. Sejujurnya, ia butuh solusi. Kepalanya bisa meledak karena dua hal yang mengganggu pikirannya itu.

“Napa sih? Soal cewek ya?”

Fatih melotot. Eza balas menyeringai. Jemari Fatih mulai mengetuk-ngetuk meja.

“Za, lo pernah qurban ga?”

“Belom. Emang napa? Kan gue belom punya penghasilan. Slow ajalah.”

Fatih mengusap mukanya. Menatap sekeliling sebentar, dan tanpa sadar termenung lagi.

“Lo mau qurban?” Eza menyeruput lagi lemon tea-nya.

“Dari tahun lalu, Za. Tapi susah banget.”

“Kalo udah niat, ya kerjain aja. Harusnya lo udah punya tabungan dong kalau niat dari tahun lalu mah.”

Fatih menggeser fokus pupilnya ke teman sejurusannya itu. Sudah kepalang tanggung. Di kepala Fatih hanya ingin solusi.

“Gue udah ada tabungan, tapi kemarin gue diminta ikut ke Singapura buat lomba paduan suara.”

“Biasanya ada subsidi dari kampus kan?”

“Ada, cuma setengah. Paling cuma bisa buat ongkos berangkat.”

“Kalau lo undur qurbannya jadi tahun depan ga bisa?”

“Udah nazar, Bro. Kalau IP gue di atas tiga semester lalu, gue bakal qurban.”

“Susah tuh.”

Eza bersedekap sambil mengusap-ngusap dagunya yang tidak berjenggot. Ia diam sejenak. Menaik-naikkan alisnya.

“Istikhoroh deh lo. Bu Umi pernah bilang kan, kalau bingung milih antara dua pilihan, istikhorohin.”

Bola mata Fatih membulat. Diusapnya lagi muka tirusnya itu.

“Lo kalau soal Bu Umi inget aja sih!” Fatih menyeringai. Eza tergelak.

“Emak gue paling baik tuh dia. Haha…”

Fatih melirik jam tangannya. Jarum panjang hampir menunjuk angka sembilan. Lima belas menit lagi ia harus ke aula kecil kampus untuk latihan paduan suara.


Tiga bulan berlari seperti kuda. Tim paduan suara kampus Fatih semakin menemukan chemistry para pesertanya. Termasuk Fatih.

Sejak mendapatkan jawaban dari istikhorohnya, Fatih mantap berqurban.

InsyaAllah, ada rezekinya kalau udah niat.

Hari ini, adalah yang ditunggu-tunggu Fatih. Seekor kambing gemuk berwarna coklat dibawa panitia qurban menunggu giliran. Betapa bangganya Fatih dengan kerja kerasnya. Sekarang, ia akan menyaksikan sendiri qurban hasil tabungannya disembelih.

Matanya basah ketika qurbannya mendapatkan giliran. Teringat bagaimana dua bulan lalu setelah ia mantap memutuskan untuk berqurban, telepon pintarnya tak henti-henti menerima chat pesanan kaos sablonan. Bisnis yang sudah ia tekuni sejak tahun lalu.

Bahkan seminggu lalu, ia menerima pesanan dalam partai besar. Dengan ini, cukup sudah ia memenuhi nazarnya. Bahkan dengan pesanan partai besar ini, Fatih tidak perlu lagi pusing-pusing memikirkan dari mana dana untuk ongkos ke Singapura.

Saat melihat kambingnya mulai digantung, telepon pintarnya bergetar lagi. Panggilan dari klien kaos sablon dalam partai besar. Wajah Fatih berubah sumringah.

“Halo?”panggilan tiba-tiba diputus. Fatih bertanya-tanya dalam hati. Tapi segala tanda tanya Fatih segera berganti menjadi kabar yang sangat menegangkan.

“Tih, sorry banget. Rekening gue dibajak orang. Abis ga bersisa. Ini gue lagi ngurus kasusnya di kantor polisi. Bisa gak gue ambil yang setengahnya aja?”

Jantung Fatih mencelos. Kakinya lemas. Tidak tahu harus membalas pesan dari kliennya itu.


“Za, punya teman jago jualan ga? Gue mau jual mobil gue nih. Lagi butuh duit.”

“Gak tau sih jago apa ga. Tapi yang gue tau, dia emang sering jualan. Kayak sekarang, lagi jual kaos sablonan.”

“Sini kirimin kontaknya.”

cling cling…

Pesan masuk Whatsapp dari Eza di seberang sana. Saat menyimpannya di daftar kontak, Erwan menambahkan “Jual Mobil” di belakang nama Fatih.


Editor: Lufti Avianto

Photo by Fabrizio Conti on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *