Aku, Bubur dan Cinta

Penulis: Cicih Mulyaningsih

Sesaat angin menyeruak masuk ke pekarangan rumah. Baunya sedikit terendus bau kambing. Ya, sebentar lagi Idul Adha. Banyak lahan-lahan kosong sekitar rumah yang berubah menjadi tempat lapak penjualan kambing. Entah mengapa, aku tidak terlalu terganggu dengan bau udara khas Idul Adha begini. Mungkin jaraknya juga tidak terlalu dekat dengan pemukimanku. Semoga orang-orang Islam tahun ini diberi kemudahan untuk berqurban. Iya, berqurban kan? Aku tersenyum.

Matahari mulai memerah, pertanda Magrib sebentar lagi akan tiba. Hari ini aku dan anak-anakku sedang melaksanakan ibadah puasa Arafah. Meskipun kakak Iqbal masih kelas satu SD, dia juga ikut berpuasa. Karena alhamdulillah di sekolah dianjurkan hari ini semuanya berpuasa. Kantin libur. Catering libur. Insya allah kuat.

Keluarga kecilku menyiapkan bukaan yang akan dihidangkan. Biasanya juga tidak terlalu banyak dan mewah, cukup air putih atau teh manis, kurma, dan gorengan. Aku tidak ingin menanamkan kesan kepada anak-anakku bahwa kalau berbuka puasa itu harus banyak makanan.

“Teng…teng…teng..!” Dua puluh menit sebelum adzan, tiba-tiba pedagang bubur kacang hijau campur ketan hitam lewat menawarkan dagangannya.

“Umi mau beli bubur nggak?” si bungsu Alitha bertanya. Kadang-kadang memang aku beli bubur kacang hijau tersebut, tapi amat jarang. Sejenak aku diam, terbayang di mataku ketan hitamnya yang legit dipadu air santan yang banyak.

“Hmmm…. boleh juga ya buat buka puasa sepertinya enak. Jadi nanti aku tidak usah makan nasi lagi,” batinku.

“Iya ya Alitha… yuk kita beli bubur kacang di si mamang yang lewat,” ujarku sambil mengambil selembaran uang lima ribu rupiah dari kantong tasku.

“Kakak, tolong belikan bubur nih, semangkok aja,” perintahku pada anak keduaku, Yasya. Biasanya yang sering aku mintai tolong ini itu adalah anakku yang pertama. Tapi kali ini kakak Zaky sudah ke Bandung untuk kuliah di sana. Agak repot sih tidak ada kakak Zaky, tapi syukurlah masih ada tiga anak yang lain lagi di rumah. Rezeki yang berharga dari Allah, memiliki anak yang banyak. Alhamdulillah.

Agak lama Yasya tak kembali. Rupanya menunggu banyak pelanggan yang membeli. “Terima kasih Kak, nanti kita makan bareng-bareng saat buka ya…. Tak biasanya Umi kok sepertinya sudah kebita banget… hehe,” selorohku.

“Awas Mi… itu ada kuciiiing…” teriak Yasya mengagetkanku. Tapi terlambat, kucing itu dengan manisnya sudah berdiri di atas meja sambil seruput santan kental dari mangkok bubur.

“Whoaaaa……! Ya Allah…” Tanpa rasa bersalah kucing tersebut berlalu setelah puas menyeruput sebagian santannya. Kita semua hanya terbengong-bengong menatap satu sama lain.

“Lalu, bagimana nih buburnya? Masa harus dimakan? Hiiiiy… jijik… Masa mau dibuang?” tanya kakak Yasya.

Aku diam saja sambil cemberut. Hilang sudah semua angan-anganku berbuka dengan bubur yang manis. “Haduuuh….padahal tumben-tumbennya aku pengen banget,” sedikit kesal aku melirik ke arah kucing yang sedang mengibas-ibaskan ekornya di teras luar.

“Assalamualaikum… Abi pulang….!” suara yang tak asing lagi, suamiku datang. Aku cuma tersenyum sedikit dan mencium tangannya.

“Masih pada puasa kan, anak-anak Abi?” tanya suamiku riang sambil satu per satu mengacak rambut mereka.

“Iya Bi, tapi bubur kacang yang itu ‘dah gak bisa dimakan buat buka lagi, padahal Umi pengen banget…” jelas kakak Yasya mengadu sambil menunjuk ke arah mangkok hijau.

“Loh kenapa? ini masih utuh,” kata Abi sambil mengamati bubur yang ada di atas meja.

“Sudah dicicip kucing Abi… kotor ih,” Alitha menimpali.

“Oh… jadi karena itu ya Umi terlihat tidak semangat sore ini… he..he..he”, goda suamiku. Aku cemberut.

“Padahal Umi pengen banget….” aku menjawab pelan.

“Yaudah… ini buang aja… taro di luar biar dihabiskan sama kucing atau ayam yang lewat….” kata suamiku sambil menyingkirkan mangkok bubur tersebut.

“Tapi sayang kan Abi. Hilang deh uang lima ribu begitu saja,” rajukku.

“Ya Allah, Umi, katanya besok mau qurban? Masa qurban seharga lima ribu aja buat kucing nggak rela? Gimana mau qurban kambing atau sapi? Ha..ha..ha… lagian memberi makan hewan ternak itu termasuk shodaqoh Umi, ibadah. Asalkan ikhlas insya Allah bernilai ibadah. Ingat, di sebagian harta yang kita miliki ada hak makhluk lain. Allah mengirimkan kucing tadi untuk mengambil haknya. Kenapa kita harus marah dan sedih? Ayolah, masa Umi nggak paham sih hal-hal begini?” nasihat suamiku panjang lebar.

Aku cuma mengangguk tersenyum kecil. Malu.  “Biar Abi yang buang ini, pasti Umi mah pantang buang makanan. Nunggu busuk dulu di kulkas baru dibuang,” ledeknya. Memang aku paling tidak suka membuang makanan, meskipun ada sosis sepotong sisa makan anak-anak, aku akan masukkan ke kulkas. Sayang, mubadzir kalau dibuang pikirku. Padahal kan bisa ya diberikan ke kucing atau ayam. Shodaqoh, hehe…

“Yaudah, Abi keluar dulu ya….!” pamit suamiku sambil mengambil kunci motor. “Mau kemana lagi Abi…? duduk aja belum udah mau pergi lagi?” protesku.

“Bentar, ah nyari pedagang bubur tadi, mau beli gantiin bubur yang dimakan kucing. Apasih arti uang lima ribu dibandingkan kebahagiaan Umi? Rugi besar deh hanya gara-gara uang segitu membuat Umi sedih berkepanjangan. Siap-siap aja dulu, bentar lagi adzan Maghrib!” kata suamiku sambil tersenyum, lalu pergi mengejar tukang bubur.

Aku hanya tersenyum senang. Bukan masalah bubur yang akan kunikmati nanti. Bukan masalah uang lima ribu yang dijatahkan untuk kucing akhirnya terganti. Tapi nasihat suamiku yang menyadarkanku tentang keikhlasan berqurban.

Ya besok, besok Hari Raya Qurban. Aku juga tersenyum senang karena mungkin ini artinya dia mencintaiku?. Lho….??? He..he..hee…

Pada setiap sedekah terhadap mahluk yang memiliki hati (jantung) yang basah (hidup) akan dapatkan pahala kebaikan. Seorang muslim yang menanam tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang kemudian dimakan oleh burung-burung, manusia, atau binatang, maka baginya sebagai sedekah.

Hadits Riwayat Bukhori-Muslim

Editor: Lufti Avianto

Photo by Birte Liu on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *