Terima Kasih Pengkhianat

Penulis: Denik


Wow! Enggak salah judul nih? Enggak. Tenang saja.

Aku sadar-sesadarnya kok saat menulis kalimat ini. Karena tanpa pengkhianatan itu. Mungkin aku tak menjadi seperti ini. Bagaimana ceritanya? Bukankah pengkhianat itu harusnya dicaci maki. Dicincang kalau perlu. Iya, sih. Tapi bagi kamu yang tidak berpikir dengan jernih. Kalau bagi yang mau berpikir dengan jernih, yang namanya sakit hati, pengkhianatan dan patah hati. Itu semua ibarat bara yang menempa emas hitam menjadi sebuah perhiasan indah dan menarik.

Aku orang yang lurus pikiran. Artinya tidak punya pikiran buruk terhadap orang lain. Termasuk orang yang sudah dekat denganku. Sahabat misalnya. Jadi ketika memiliki kekasih dan sahabatku belum, tak segan ia kuajak pergi bersama. Atau saat sedang kencan di rumah saja. Sahabatku tak kuusir jika tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan. Sama-sama saja ngobrol dan makan bersama. Ketika tiba waktunya pulang, aku pun kerap meminta kekasihku untuk mengantarnya sekalian. Daripada sendirian. Tak pernah terlintas rasa takut kalau mereka akan macam-macam di belakangku. Karena aku mempercayai mereka.

Sampai suatu hari sahabatku datang dengan tiba-tiba. Lalu memelukku erat-erat sambil menangis tersedu-sedu.

“Nay! Maafkan aku. Aku hamil.”

“Astagfirullah! Sama siapa? Selama ini kamu kan bilang belum punya pacar?”

Tangis sahabatku semakin tersedu. Ia luruh ke lantai mencium kakiku.

“Maafkan aku. Aku harus menikah dengannya. Kekasihmu harus bertanggung jawab. Ia bapak dari calon bayi di perutku.”

Aku tak tahu seperti apa raut wajahku saat itu. Yang aku tahu, dadaku terasa sakit. Tapi aku tak meneteskan air mata. Inikah rasanya ditusuk dari belakang?

“Tolong aku, Nay! Katakan padanya. Karena ia sulit kuhubungi lagi.”

Seharusnya aku marah. Aku memaki-maki sahabatku ini. Tapi demi melihatnya seperti ini, aku tak tega. Maka meski dengan menahan rasa sakit atas pengkhianatan mereka. Aku bantu menyelesaikan masalah tersebut. Hingga mereka duduk di pelaminan dan aku menjadi tamu pertama yang datang.

Tapi setelah itu aku tidak ingin melihat mereka lagi. Meski berkali-kali sahabatku datang ke rumah. Kuusahakan setiap hari pulang larut malam. Jadi tiba di rumah tinggal tidur. Esoknya pagi-pagi sudah berangkat kerja. Begitu terus aktivitasku untuk beberapa lama. Tapi bukan nongkrong di cafe atau jalan-jalan di mall caraku menghabiskan waktu. Tapi pergi ke perpustakaan dan membaca semua jenis buku di sana sepuas aku.

Sampai akhirnya dari membaca itu aku mendapatkan hidayah untuk mengenakan hijab. Ini bukan suatu hal yang mudah mengingat diriku ini seperti apa. Belum lagi urusan pekerjaan yang mungkin bisa bermasalah dengan keputusanku berhijab ini. Tapi aku merasa mantap. Tanpa ada satu pun yang bisa menghalangiku.

Setelah itu aku semakin memperdalam pengetahuan tentang agama. Dan tiba-tiba semua rasa sakit hati yang kurasakan sirna seketika.

Denik

Aku justru merasa plong karena telah ditunjukkan seperti apa tipe kekasihku saat itu? Tidak terbayangkan jika hal itu terjadi justru setelah kami menikah. Dan aku jadi berterima kasih atas pengkhianatan mereka. Sebab lantaran perbuatan mereka aku justru mendapatkan hidayah yang luar biasa berharganya. Selembar kain penutup rambut ini lebih berharga dibandingkan sesosok lelaki gagah tapi tak bermartabat. Jadi, terima kasih pengkhianat.


Editor: Lufti Avianto

Photo by Saad Chaudhry on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *