Aku adalah Seorang Guru

Penulis: Windu Utami


Gurunya guruku selalu mengatakan, “Sebelum menyuruh sesuatu berilah contoh terlebih dahulu. Lakukan pada dirimu kemudian baru kau menyuruh orang lain.”

Di masa itu aku tak tahu maknanya bahkan sama sekali tak paham hal penting yang ada di baliknya.  Ternyata itu adalah sebuah rumus dan ajian sakti mandraguna yang bisa memberikan sebuah kebaikan kecil.  Sebuah kebaikan yang jika dilakukan dengan ikhlas akan menimbulkan efek domino yang luar biasa. 

Ketika aku menjadi seorang guru,  hal itu yang kugenggam erat-erat.  Kutanamkan dalam-dalam di dalam hati. Agar selalu ingat,  selalu terjaga,  dan berada di tempatnya.  Bukankah guru itu sosok yang digugu dan ditiru. Sosok yang didengarkan kata–katanya dan diikuti seluruh tingkah lakunya. Paling tidak bagi murid–muridku si abu–abu putih dan kedua anak–anakku.

Aku adalah contoh, aku adalah panutan bagi mereka. Apa yang kukatakan dan yang kulakukan mereka akan melihatnya, mereka melihatnya,  dan mereka bisa mengikutinya. 

Sebelum aku menyuruh mereka rajin belajar, berarti akupun harus rajin belajar. Sebelum aku menyuruh mereka jangan terlambat, aku harus tepat waktu terlebih dahulu. Sebelum aku menyuruh mereka kerjakan tugas dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya, aku harus telah melakukannya terlebih dahulu.

Seandainya hanya omongan saja sama saja bohong. Tentu saja aku bukan yang terbaik, tapi aku berusaha menjadi lebih baik.

Windu Utami

Di sela–sela bertemu dengan si abu–abu putih, sesekali aku bercerita kepada mereka. Tentu saja cerita dan kisah yang pernah kualami, kuthau, atau sekadar membacanya. Bukankan sebuah kisah memiliki kekuatan luar biasa? Dan salah satunya adalah kisah yang akan kutuliskan.

Guru dan 3 Orang Muridnya

Pada suatu hari seorang guru memiliki tiga orang murid yang begitu rajin dan setia. Sang guru ingin memberikan ujian terakhir bagi ketiga muridnya. Sang guru menyuruh ketiganya melakukan apa yang diminta.

“Pergilah ke arah utara hingga kalian menemukan Sungai Kehidupan. Sungai dengan air yang jernih dan sejuk. Mampu melepaskan dahaga seketika. Dalam sungai tersebut banyak terdapat batu–batuan. Seandainya kalian ingin kaya ambilah batu tersebut sebanyak kalian bisa bawa. Setelah itu lanjutkan perjalanan ke timur menuju Hutan Kerinduan. Istirahatlah di sana, tunggu sampai pagi maka setelah matahari terbit maka kalian akan kaya.”

Hanya itu perintah gurunya. Sebuah perintah yang merupakan ujian akhir bagi mereka bertiga.

Ketiganya berjalan bersama. Sesekali menikmati pemandangan yang begitu memanjakan mata. Gunung hijau yang terpampang luas. Sesekali terdengar suara–suara hutan yang membuat hati riang. Desiran angin yang membawa aroma khas hutan bahkan aroma air yang menyejukkan hidung. Sesekali mereka berhenti menikmati ciptaan-Nya. Sebuah mahakarya yang tak bisa ditandingi oleh siapapun.

Sungai Kehidupan letaknya sangat jauh, memerlukan waktu 3 hari 2 malam berjalan kaki. Tanpa mengeluh bertiga terus berjalan beriringan. Hingga di hari ketiga bersamaan dengan kokok ayam pertama kali, mereka mulai mendengar suara gemericik air yang masih sayup–sayup. Suaranya menenangkan hati. Menjadikan damai dan nyaman.

Bersamaan mereka berlomba–lomba mengikuti sang suara. Bukan siapa yang menemukannya pertama kali sehingga ada pemenangnya. Tetapi segera ingin memenuhi permintaan Sang Guru.

Benar juga, tak jauh mereka berlari sebuah pemandangan luar biasa terbentang. Menawarkan surga dunia bagi yang ingin meraihnya. Sungai berkelok laksana ular membelah dataran hijau penuh warna. Sesekali kupu–kupu menyembul di antara hijaunya daun. Burung–burung berdendang tanpa dosa. Bahkan angin pun ikut memanjakan suasana.

Tanpa berkedip mereka berjalan beriringan menuju arah sungai. Tak ada sepatah katapun yang mampu melukiskan pemandangan dunia yang begitu mempesona. Tak cukup seluruh kata di dunia dirangkai untuk sekedar memujanya.

“Ambilah batu sebanyak–banyaknya,” tergiang perintah Sang Guru.

Murid pertama merasa perintah gurunya tak masuk akal. “Mana mungkin hanya batu bisa membuat kaya?” pikirnya dalam hati. Dan dia hanya mengambil sebongkah batu yang muat di genggamnya.

Murid kedua pun mempunyai pemikiran yang sama. “Seandainya hanya mengambil batu dan bisa menjadi kaya, maka akan mudah dan banyak sekali orang kaya di dunia ini.” pikirnya

Sedangkan murid yang ketiga, dia begitu mempercayai gurunya. Tak mungkin gurunya mempermainkan bahkan membuat sebuah kebohongan untuknya. Dengan mantap, dia keluarkan karung yang dibawanya. Dia penuhi karung dengan barbagai macam ukuran batu. Dimasukkan bongkahan demi bongkahan hingga karung itu tak muat lagi.

Tentu saja kedua murid yang lain dengan sangat mudah mencapai Hutan Kerinduan dengan sangat ringan. Tak ada beban berat yang harus di bawa di pundak atau dipunggungnya.

“Duluan saja saudaraku, aku tak ingin menjadi penghalang langkah kalian. Pergilah….”

Keduanya meninggalkan murid ketiga yang susah payah menyeret karung bawaannya. Dia tak mau berputus asa. Sesekali memangul karung itu di pundak atau di punggungnya. Di kali lain dia menyeret tanpa menyerah. Atau sambil istirahat dia menggunakan karung itu sebagai alas kepalanya bahkan sandaran punggungnya yang lelah.

Murid ke tiga, mencapai hutan kehidupan menjelang malam. Kedua temannya telah istirahat sedari tadi. Murid pertama berkata, “Kita telah sampai di Hutan Kerinduan, kita bermalam di sini dan menunggu guru.” Keduanya mengangguk. Merebahkan diri sebagai niat penghilang lelah, terutama untuk murid ketiga.

Menjelang pagi hari tanpa mereka sadari Sang Guru telah sampai di tempat mereka beristirahat. Wajah lelah terpancar dari ketiganya. Sang Guru hanya menunggu tak ada niat untuk menggangu istirahat mereka.

Murid pertama yang pertama kali membuka mata, “Guru…..”, sambil membungkuk hormat. Segera ia membangunkan kedua temannya yang lain.

“Mana batu yang kalian bawa?”

Masing – masing mengeluarkan batu yang berhasil mereka dapatkan. Dan batu itu seketika berubah menjadi permata elok yang menyilaukan mata. Mereka bertiga terpana. Dan tentu saja murid ketigalah yang paling kaya.

Kisah itu tentu saja tidak nyata. Hanya ada di khayalanku belaka. Tapi aku ingin membuat cerita untuk muridku, bahwa seorang guru itu hanya sekedar menunjukkan jalan yang benar yang bisa dilalui. Lalu menempuh atau tidaknya tergantung murid masing–masing. Tak ada seorang gurupun yang menginginkan hal yang buruk menimpa anak didiknya. Bahkan akan merasa sangat bangga jika suatu hari muridnya mampu melebihinya.

Jadi seandainya guru berkata:
Belajar yang rajin
Jangan terlambat
Membacalah sebanyak engkau mampu
Berdoalah memohon
Tetap semangat
Jangan pernah menyerah


Lakukanlah!

Karena akan ada permata di ujung jalan yang menanti, tetapi tentu saja semua target pada dirimu sendiri. Mau mengambil dan menggenggamnya erat–erat atau melepaskannya begitu saja.


Editor: Lufti Avianto

Photo by Julian Hochgesang on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *