Tiga Belas September

Penulis: Cicih Mulyaningsih


Aku masih menekuri panduan kurikulum K13, meskipun jam dinding di kantorku sudah menunjukkan pukul 16.13 menit. Besok, tepat pukul 13.00 aku harus meminpin rapat tentang penilaian K 13. Hasil penilaian selama ini harus dikumpulkan untuk dilakukan evaluasi pencapaian. Beberapa materi ini memerlukan penguatan agar tidak terjadi kesalahan.

Hari ini, 13 September hari kelahiran anakku. Anak laki-laki pertamaku yang sudah sebulan ini jauh dari genggamanku. “Kapan kakak pulang, Mah?” pertanyaain ini entah sudah berapa puluh kali dilontarkan si bungsu.

“Kakak mau dijemput jam berapa Mah?” pertanyaan yang dilontarkan seminggu lalu. Begitu juga adiknya yang lain masih selalu bertanya, meskipun berkali-kali sudah dijelaskan bahwa kakak butuh waktu yang sangat lama untuk kuliah.

Delapan belas tahun yang lalu ternyata bukan waktu yang lama. Masih jelas dalam ingatanku, subuh pagi yang tak dingin, hari Rabu di bulan September, tepatnya hari bersejarah 13 September, aku mendapatiku ketuban pecah di tempat tidurku. Aku dan kehamilan pertamaku. Tak ada rasa takut sedikitpun menyelinap di hatiku, tentang sebuah persalinan.

Menurutku, persalinan adalah hal biasa yang dialami oleh semua wanita hamil. Bahkan ibuku sanggup melewati persalinan sebanyak sembilan kali tanpa pengawasan dokter ataupun bidan. Bahkan salah satu di antaranya ibuku melahirkan sendirian tanpa pertolongan. Jadi, apa masalahnya dengan persalinan? Semua akan melewatinya dengan baik-baik saja.

Saat itu aku yang lugu menganggapnya enteng. Dengan kelahiran normal bayi pertamaku lahir pukul 9.20 menit. Usiaku saat itu  21 tahun, saat aku melahirkan anak pertamaku. Usia yang tergolong muda dan tak berpengalaman. Usia dimana aku sangat polos dan konyol, jauh dari kata matang.

Beberapa jam kemudian aku bergelut dengan kontraksi. Sakit sekali rasanya. Suamiku mondar-mandir di luar kamar. Sesekali aku melihatnya panik dari pintu kamar yang terbuka. Ibu menyuruh suamiku berdoa dan mengaji, tapi aku mendengar suamiku mengaji bolak-balik juga, tidak ada yang beres. Itukah yang namanya panik dan galau? Kalau ingat sekarang, aku geli rasanya.

Alhamdulillah, anaknya  laki-laki. Badannya besar sekali 3,6 kilogram” kata Bu Bidan yang membantu kelahiranku. Aku saat itu hanya tersenyum kecil, lelah setelah berusaha mengeluarkan bayi besarku dengan sekuat tenaga.

Sepertinya aku masih terlalu muda untuk memiliki anak, ataukah aku memang kekanak-kanakan? Hehe… bisa keduanya. Yang jelas ke mana saja aku pergi dengan anakku, orang-orang pasti menyangka itu keponakanku atau adikku. Ketidakmatangan aku memiliki anak juga tergambar dari perilakuku sehari-hari.

Pernah suatu kali, aku meninggalkannya tidur di hotel sendirian. Pintunya aku kunci dari luar, sementara aku dan suamiku pergi ke luar hotel mencari makan malam. Jika diingat sekarang, sungguh perbuatan itu konyol sekali. Bagaimana jika bayiku bangun dan menangis? Bagaimana jika bayiku jatuh? Dan berbagai kemungkinan lainnya. Sayangnya saat itu memang pikiranku belum matang, aku tidak pernah berpikir sejauh itu dan serumit itu. Ya ampun…. dan masih banyak kekonyolan lainnya yang aku malu menceritakan. Tapi di diary-ku banyak kisah perjalanan tentangnya yang kutulis dengan detail.

Tahun demi tahun berlalu. Sekarang anak ini sudah berumur 18 tahun. Waktu berlalu cepat sekali. “Selamat ulang tahun yang ke-18 ya kakak!” tulisku di grup WA keluarga kecilku.

“Terimakasih Mah…, mohon doanya.” kakak menjawab dengan riang. “Nanti kalau kakak pulang, kakak traktir semuanya ya…” tambahnya.

Rupanya dia sekarang sudah dewasa, sudah mengerti arti tanggung jawab dan lain-lainnya. Meskipun aku dan adik-adiknya  harus merasa kehilangan sejak dia berangkat menuju tempat kuliah. Aku sudah harus belajar mengikhlaskan dan mempersiapkan diri kehilangan dia untuk selanjutnya, karena sekarang dia harus memikirkan hidupnya sendiri, dan mempersiapkan diri untuk memikirkan keluarganya kelak. Ah….rasanya baru kemarin.

Semoga, bukan hanya kamu saja yang dewasa nak, sebaiknya ibumu juga bisa lebih dewasa.


Editor: Lufti Avianto

Photo by Lukas Eggers on Unsplash

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *