Penulis: Lisa Adhrianti
“Perhatian ya… Tahun 2015 nanti yang angkatan 2010 itu harus sudah lulus ujian proposal disertasi semuanya, jika tidak akan di DO (Droup Out), masa studi kalian sudah hampir masuk tahun terakhir kecuali yang pernah ambil cuti kuliah satu semester,” begitulah isi pengumuman Ketua Program Pasca Sarjana Komunikasi UI Prof. Billy di pertemuan jelang pertengahan 2014 itu.
Aku dan teman-teman lain satu angkatan yang mendengar pengumuman Prof. Billy itu langsung tersenyum kecut dan bercanda tentang penyelesaian studi kami. Dari sembilan orang teman satu angkatan, ada satu orang yang sudah dinyatakan gugur yaitu Mbak As, dan ada satu orang lagi yang kurang jelas juga keberadaannya yaitu Mbak Tari. Sisanya tujuh orang lagi Mas Santo, Mbak Kus, Mbak Sri, Mbak Yem, Mas Yudi, Uda Cel, serta diriku pun penuh dengan problema dan kesibukan masing-masing.
“Wah, gimana nih ya Mas? Aduh stres deh, bisa ngga ya kira-kira aku lanjutin tentang groupthink itu?” tanyaku gusar pada Mas Santo.
“Ya bisalah Mbak, apa aja bisa asal memang kita yakin dan bisa cari kasus yang tepat dengan teorinya,” jawabnya.
“Ntar aku konsultasi sama dikau ya, tolong dikoreksi nanti maksudnya kira-kira udah bener belum pemikiranku,” aku memelas dan begitu khawatir dengan rancangan disertasiku.
“Siap mbak, boleh. Coba juga sering diskusi sama Mas Yanto, atau Prof. Dahlan tuh mbak biar aman hehehe,” jawabnya lagi.
“Oiya ya Mas, sip-sip deh,” ujarku senang.
“Sudah mau 2015 saja ni ya?” gumamku. Suamiku juga akan menyelesaikan studi magisternya di kampus yang sama ketika itu. Alhamdulillah Mr. A mendapat kesempatan beasiswa studi lanjut di kampus yang sama denganku sehingga praktis ketika menjadi mahasiswa dia juga tidak terlalu sibuk di kantor sehingga bisa banyak membantuku mengurus bayi ketiga kami.
“Yah, ayah kan selesai dan wisuda S2 tahun ini, nah tahun depannya giliran Unda gitu ya, Yah?” tanyaku pada Mr. A. “Amin insyaaAllah sayang, semoga lancar semuanya, makanya Unda semangat dong, doain juga Ayah bisa lulus dan wisuda tahun ini,” jawab Mr. A.
Seingatku akhir Agustus 2014 Mr. A berhasil diwisuda setelah mengalami kepanikan atas masalah revisi selepas ujian tesis. Saat wisudanya kami pun ikut mengiringinya dengan dresscode oranye sesuai warna ikon FISIP UI. Pencapaian jenjang pendidikan kami adalah anugerah bagiku dan bagi Mr. A tentunya.
Masa penyelesaian disertasi begitu membuatku stress karena sudah hampir setahun aku vakum dari aktivitas kuliah dan belajar ilmiah sejak kehadiran Afifa. Mulai sejak dia datang aktivitasku penuh fokus dengan perawatan dan pengasuhannya sendiri hingga dia bisa agak dilepas dengan bantuan pengasuh mulai jelang usianya setahun. Alhamdulillah Afifa tumbuh dan berkembang dengan baik sebagaimana bayi-bayi pada umumnya walaupun agak lambat dari bayi seusianya. Kehadirannya menceriakan hari-hari kami dengan badannya yang juga montok dan lucu sehingga jadi “mainan” kami bersama di rumah.
Aku begitu menikmati menjadi ibu rumah tangga murni ketika mengurus Afifa. Jika dahulu anak pertama aku masih sangat stress dengan kondisi tanpa asisten rumah tangga, kemudian anak kedua mulai kurang stres-nya lalu sejak ada Afifa aku sudah mulai terbiasa dengan ritme tugas rumah tangga tanpa asisten.
“Is, rumahmu ga ada pembantu dengan tiga anak kecil-kecil kok rapi dan bersih banget sih?” sering kudengar komentar teman-temanku yang datang ke rumah ketika aku tidak memiliki asisten rumah tangga. Meskipun mengurus anak dan rumah sendiri, aku jarang sekali absen datang ke kajian agama di sekitar perumahan. Afifa sering kugendong sambil menyetir dengan santainya aku jalani semuanya dengan riang bersama teman-teman terdekatku. Afifa sudah rajin kuajak keliling taklim dari dalam kandungan, sehingga banyak orang-orang yang ikut mengasuh Afifa jika sedang dibawa ke kajian.
Sejak ada Afifa pula aku diminta salah seorang rekan baik yang juga tetanggaku untuk bergabung di kepengurusan majelis taklim masjid baru di komplekku sebagai koordinator seksi acara. Praktis aktivitasku sebagai ibu rumah tangga hanya berkisar pada mengurus anak, rumah, suami dan mengurus kegiatan taklim. Semuanya telah melalaikanku pada penyeselesaian disertasi itu.
“Yah, bingung ni mau nulis apaan ya? kasusnya apa ya? Duh gimana ya udah ga terbiasa begadang harus mikir dan begadang lagi deh! Capek juga ni,” aku mengeluh pada Mr. A.
“Ya, nulislah yang udah pernah dirancang waktu itu lanjutin aja tentang groupthink itu Nda, coba ikutin saran dosen waktu itu yang cari dulu jurnal-jurnal penelitiannya biar bisa ketemu kasus yang pas,” ujar suamiku.
“Itu dia kayaknya susah ni groupthink diteliti, kasusnya susah juga dan penelitiannya ribet deh kayaknya, mana harus nyari buku aslinya ke mana itu teori terus semua jurnal dan rujukannya kan bahasa Inggris yang lama buat aku cerna yah,” sungutku.
“Bisa, pelan-pelan dikerjain bisa kok,” Mr. A kembali meyakinkanku.
“Kapan coba mau ngetik yah? Secara tugas rumah aja udah banyak gini,” ujarku.
“Ya unda kurang-kuranginlaah kegiatan luarnya dulu. Itu taklim-taklimnya diatur dulu jangan terlalu penuh jadi bisa ngetik disertasi di rumah, cari juga pembantu deh kalau gitu,” usul suamiku.
“Iya deh yah. Pengennya ada pembantu yang bisa bagus sama anak-anak jadi Unda yakin kalo ngelepas sama dia, itu susahnya minta ampun deh sekarang! Banyak yang belagu cuma pengen gaji besar, tapi kerja ngga mau rajin! Bosen bolak balik gonta ganti bayar tebusan lagi,” oceh ala ibu-ibu keluar deh dari mulutku.
Waktu terus bergulir dan setelah mendapat asisten rumah tangga yang bernama baik, barulah aku bisa agak beralih fokus memikirkan disertasiku. Bik Lela sangat membantuku menjaga anak-anak ketika aku harus menyendiri di kamar dengan ketikan-ketikan pengerjaan disertasiku.
“Ayo jangan ganggung bunda ya, kita maen lagi ya?” begitu bunyi bujukan Bik Lela kepada Afifa yang sering berusaha membuyarkan konsentrasiku. Bik Lela terlihat sangat menyangi anak-anak terlebih Afifa dan anak-anak pun terlihat nyaman bersamanya. Aku sangat bersyukur atas pertolongan kemudahan dari Allah di detik-detik akhir masa studiku.
Tahapan penyelesaian disertasi itu banyak sekali, mulai dari ujian kualifikasi untuk memutuskan kita bisa jadi kandidat doktor atau tidak, kemudian harus menyiapkan qoloqium proposal disertasi sebelum dapat mengikuti ujian proposal. Kedua tahap ini sudah bisa terlewati setahun yang lalu. Setelah dilakukan penelitian nanti akan ada qoloqium seminar hasil disertasi sebelum menempuh ujian hasil disertasi, setelah itu baru jika dinyatakan lulus maka diuji di tahap akhir sekaligus seremoni di ujian promosi doktor.
Aku baru mau lanjut ke tahapan ketiga dari enam tahapan ujian penyelesaian disertasi yang harus dilalui, bayangkan betapa semua itu membuatku cukup stress, ditambah lagi pikiran bahwa setelah itu aku harus kembali pulang ke daerah untuk mengabdi.
“Aduh Yah, masih panjang banget ya ini prosesnya? Mana ntar harus balik lagi tugas ke daerah,” keluhku.
“Udah jangan mikirin itu dulu, beresin dulu aja daripada Unda mengeluh terus ga akan ada penyelesaiannya,” saran Mr. A.
“Iya sih, tapi apa ni yah kasusnya ya kalau mau lanjutin soal groupthink itu?” tanyaku sambil mengajak Mr. A berpikir.
Sejak menempuh tahapan qoloqium proposal aku dibuat bingung dengan kasus dari teori groupthink yang aku pilih. Beberapa dosen senior sudah pernah kuajak diskusi untuk penerapan kasus bagi teori groupthink tersebut, namun belum ada yang dapat betul-betul membuatku yakin hingga sampai suatu hari dalam perjalanan kembali menuju rumah bersama Mr. A selepas aku dari kampus, dia berujar, “Nda, bisa tidak ya kalau kasusnya tentang groupthink di perumusan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang cukup alot dan memakan waktu lama banget itu? Dan sampe sekarang pun implementasinya juga masih tidak bagus,” tanya Mr. A.
“Oogtu yah? Iya ya… bisa tidak ya? Terus nanti lihat groupthink-nya di mananya?” aku yang lanjut bertanya.
“Yaa di pembahasaannya, kan, pasti ada kelompok-kelompok yang mendominasi kelompok lain, intrik-intrik tarik ulurnya antara DPR dan Pemerintah dan sudah ketok palu tetep aja sekarang dianggap Undang-Undang itu banyak kegagalan,” ujar Mr. A fasih karena dia banyak mengurusi sosialisasi UU KIP sebagai bidang tugasnya di kantor Kementerian itu.
Wah aku serasa mendapat energi baru yang mencerahkan dengan usulan dari suami tersebut. “Iya ya Yah sepertinya menarik dan bisa ya itu aja kasusnya?” ujarku.
“Iya coba deh Unda tanya-tanya dulu ke dosen-dosen kira-kira bagaimana? Nanti data-datanya kan bisa minta sama ayah kalau misalnya oke, narasumbernya juga banyak kenalan ayah,” saran Mr. A.
“Sip oke sayang, makasih ya!” aku menghadiahinya senyuman paling manis selama perjalanan pulang ke rumah itu. Dia pun membalasnya dengan anggukan plus senyum manis ditambah dengan sentuhan kasih elus pundakku.
Aku mencoba mengajak diskusi salah satu senior teladan di kampus yang sering dimintai saran atas pengerjaan disertasi mahasiswa. Mas Yanto kumintai pendapat atas usulan kasus yang diungkapkan Mr. A kepadaku. “Mas, kalau kasusnya groupthink ku itu tentang perumusan UU KIP yang lama dan hasilnya pun saat ini masih dianggap banyak kekurangan itu apa bisa ya mas?” tanyaku suatu ketika.
Sejenak Mas Yanto berpikir lalu kemudian berujar, “heemmm…saya pikir bisa itu mbak! Groupthink itu kan dianggap sebagai suatu kegagalan pengambilan keputusan ya dan jika mbak beranggapan bahwa UU KIP menyimpan kegagalan itu maka itu bisa diteliti.”
“Wah bener ni ya Mas?” aku kembali bertanya untuk meyakinkan.
Sambil mengangguk-angguk pasti dia berkata, “Ya… bisa, saya pikir pengujian groupthink untuk kasus di pemerintahan memang paling pas di DPR RI mbak karena mereka punya data rekaman percakapan rapat yang disebut risalah dan itu Mbak bisa memintanya jadi itu dari sana Mbak bisa memakai metode studi dokumen untuk menelusuri secara detail apa yang mereka bicarakan ketika pembahasan UU KIP itu, nah itu sudah kuat mbak kalau bisa dapet dan cermati risalah rapatnya nanti kan ketauan si A ngomong apa si B ngomong apa? Terus nanti bisa diwawancara siapa-siapa kira-kira tokoh yang dianggap vokal dan berpengaruh dalam perumusan UU KIP itu untuk melihat proses groupthink-nya” jelas Mas Yanto menjelaskan panjang lebar kepadaku.
“Oiya iya Mas… menarik juga kayaknya ya?” timpalku.
“Menarik mbak, menarik banget kalau mbak bisa bedah itu keren itu Mbak! Saya punya buku dari Hinca Panjaitan yang isinya dia ambil dari risalah rapat perumusan UU di DPR RI itu mbak, jadi bisa diminta itu sepertinya risalah rapatnya, nanti saya bawa bukunya mbak bisa liat dan baca-baca dulu,” ujar mas Yanto.
“Waah makasih banyak ya Mas!” sahutku kegirangan. Pertolongan Allah memang begitu nyata bagiku. Thanks God!
“Yah, Unda udah diskusi sama Mas Yanto soal kasus yang ayah bilang itu UU KIP, dan katanya bisa banget yah dan pas banget di DPR RI karena mereka punya risalah rapat yang bisa ditelusuri isi percakapan selama rapat pembahasan undang-undangnya,” ujarku ketika bertemu Mr. A di rumah.
“Oyaa? Alhamdulilah… jadi pas kan apalagi sudah ada risalah rapat itu jadi insyaaAllah bisa sangat membantu itu Nda! Ayo semangat mulai kerjakan sayang!” kata-katanya membakar semangatku. Sejak itu aku mulai gencar melakukan penelusuran dan penggalian informasi terkait dengan UU KIP untuk bahan penulisan proposal disertasiku.
Orang tuaku pun kerap menanyakan perkembangan pengerjaan disertasiku, terutama ibu. “Hayooo…sudah batas mana itu disertasimu? Jangan sampai nggak selesai loh, malu Is kalo ga selesai!” sering ibuku mengingatkan demikian. Aku selalu mengiya-iyakan saja perintahnya untuk menenangkannya.
Alhamdulillah jelang akhir 2014 aku berhasil melalui tahapan proposal disertasi untuk dapat ditentukan siapa yang akan jadi Promotor dan Co-Promotorku sebagai pembimbing pengerjaan disertasi. Ujian Proposal itu begitu mendebarkan bagiku namun begitu istimewa dengan kehadiran Mr. A yang langsung datang menunggui ujian untuk mendukungku. “Waaah Mbak sampe ditungguin si cinta yo asik bangeet!” komentar rekan seniorku kala itu.
Promotor dan co-promotor yang dipilihkan untukku juga Alhamdulillah sangat baik dan kusukai. Seorang Professor cantik yang terkenal di kampus dengan seorang professor bidang ilmu politik dari LIPI yang sudah menjadi public figure karena sering muncul di media itu akan menjadi teman diskusi sebagai pembimbingku. Prof. Dahlan yang sempat kumintai pendapat beberapa kali sebelum ujian proposal tidak dapat menjadi promotor lagi karena usia beliau yang sudah tergolong sebagai dosen emeritus.
“Selamat ya sayang… Unda tampil sangat baik dan meyakinkan!” ujar Mr. A selepas aku dinyatakan lulus ujian proposal disertasi yang diuji oleh tujuh orang dosen Professor tersebut.
“Makasih ya sayang…. alhamdulillah lewat juga ini,” ujarku. Proses ujian yang memakan waktu lama tersebut cukup menguji nyaliku.
Perbaikan proposal disertasiku juga sangat banyak dan tentunya membuatku pusing, namun proses pembimbingan, penggalian data dan pengerjaan ketikan mulai intensif dan rajin kulakukan mengingat target penyelesaian studiku di pertengahan 2015.
Urusan rumah agak sedikit kuabaikan untuk dipercayakan kepada Bik Lela sementara aku sibuk berkutat dengan disertasi. Mr. A selalu mendkung dan mengingatkan perkembangan pekerjaan disertasiku setiap harinya. “Hayoo.. Nda..ketikannya sudah sampe mana sayangku?” pertanyaan itu kerap kuterima setiap harinya ketika MR. A tiba di rumah.
Bergadang pun kembali menjadi santapan harianku…. namun kerap aneka cemilan disajikan oleh Mr. A di meja kerjaku. Dia memang sering pulang larut dan rajin membuatkan plus menyuapkan aneka cemilan begadang untukku. Ketika lagi asyik serius mengetik, sering tiba-tiba dia menyodorkan makanan ke mulutku… ”Aaaa makan dulu ini enak sayang,” padahal bobot tubuhku belum susut tetap saja diumpan makanan tengah malam.
Aku sangat merasakan dukungan penuh darinya untuk disertasiku. “Alhamdulillah ya Allah punya suami begitu mendukung hal positif apapun yang kupilih” gumamku.
Perjuangan penelitian untuk dapat menuju tahapan qoloqium hasil disertasi sangat menyita waktuku dan berhasil memangkas semua waktu kenikmatan diri sendiri. Lelah sekali…
Editor: Lufti Avianto
Photo by Jessie McCall on Unsplash