Penulis: Cicih Mulyaningsih
Sebisa mungkin, sambutlah niat tulus tersebut dengan suka cita dan adab yang baik di hadapannya. Apalagi jika kita menerima sambil memberikan komentar negatif, pastinya akan menyakiti perasaan orang yang memberi.
“Ci, mau enggak nih, buku tulis. Buat kamu!” kata temanku Mia, si rambut keriting. Kami adalah sahabat dekat di kelas 2 SD kala itu.
“Enggak, ah…!” jawabku malu-malu.
“Kenapa? Ya sudah kalau enggak mau,” tukasnya kemudian.
Duh, padahal dalam hati aku, mau banget. Tapi aku ingat kata-kata ibuku, jangan-jangan nanti ibu marah punya anak celamitan.
Saat pulang sekolah, aku cerita pada kakakku. “Kak, tadi di sekolah aku dikasi buku, lho sama Mia.”
“Oh, lalu mana bukunya?” tanya kakak penasaran.
“Aku bilang aku enggak mau kak, ya sudah enggak jadi dikasih,” tambahku sedikit menyesal.
“Loh, kok enggak mau? Padahal ambil saja,” ujar kakakku menyesalinya.
“Memang boleh kak minta-minta begitu? Bukannya kata ibu tidak boleh minta-minta? Itu namanya celamitan,” terheran-heran aku minta penjelasan.
Terus terang aku kaget dengan pendapat kakakku. Kok bisa-bisanya kakak mengatakan bahwa minta-minta barang dari orang lain itu boleh dan tidak bikin malu. Padahal selama ini, jika aku berkunjung ke rumah saudara atau teman ibu, aku diminta diam sama ibu, tidak boleh berlarian, tidak boleh pegang ini-itu, tidak boleh mengambil makanan. Itu namanya tidak sopan. Ibu akan senang kalau aku duduk manis, bahkan kalau tidak bergerak sedikit pun tampak semakin manis. Itu persepsiku selama ini.
“Kalau dikasih, ya terima saja!” enteng kakakku menjelaskan.
“Maksudnya kita boleh minta-minta ke orang lain?” tanyaku masih heran.
“Bukan begitu, kalau minta-minta mah enggak boleh. Itu enggak sopan. Tapi kalau dikasih lalu menolak, juga enggak sopan,” terang kakakku.
Aku hanya bengong, berusaha mencerna kalimat-kalimat yang diucapkan kakakku. Lantas aku pun mengangguk-angguk tanda mulai mengerti.
Di suatu hari beberapa puluh tahun kemudian. Aku kedatangan kerabat jauh. Aku berusaha memberikan sambutan yang baik untuk seorang tamu. Malam sebelum tamuku pulang, aku menyibukkan diri di dapur. Membuat kue bolu untuk dibawakan besok sebagai oleh-oleh. Lumayan, daripada ia kembali dengan ‘tangan kosong’. Besoknya saat tamuku pamit, aku berikan kue bolu itu kepadanya untuk bekal dan oleh-oleh. Tapi di luar harapanku, tamuku menolak dibawakan kue hasil susah payahku semalaman itu.
“Aduh Dek, enggak usahlah dibawakan kayak begini segala. Merepotkan kamu saja. Buat di sini saja, buat anak-anakmu. Kalau di rumahku, enggak ada siapa-siapa, jadi enggak ada yang makan,” tolaknya dengan yakin.
Aku berusaha membujuknya agar mau membawa kue tersebut. Tapi dia juga semakin keras menolaknya. Perasaanku saat itu sangat sedih. Padahal aku sudah berusaha memberikan yang terbaik, tetapi ternyata ditolak. Mungkin kerabatku itu bermaksud baik, tetapi niat tulusku yang tertolak membuat aku kecewa dan sedih.
Di lain waktu, seorang teman pulang dari Jogja, memberiku banyak oleh-oleh.
“Ci, ini ada sedikit oleh-oleh dari Jogja. Semoga kamu suka ya. Maaf enggak banyak,” katanya sambil meneyerahkan bungkusan besar.
“Waduh, kok kamu repot-repot sekali sih?” kataku berseri-seri. “Makasih banyak ya!” tambahku dengan senangnya.
Sebenarnya aku belum tahu isinya, aku suka atau tidak. Tapi, respons seperti inilah yang kupikir harus kutunjukkan kepadanya, sebagai bentuk penghormatan atas pemberiannya.
“Iya, semoga kamu suka. Maaf, aku cuma ngasih ke kamu saja,” bisik temanku.
“Oh, begitu ya? Wah jadi enggak enak nih!” kataku sambil sedikit bingung.
“Iya, habisnya aku mau ngasih Bu Laila takut ditolak. Aku malu. Pernah aku ngasih ke beliau, tapi tanggapannya hambar. Cuma bilang ‘Oh iya’, begitu saja, lalu pemberianku ditaruh begitu saja di laci. Pernah juga aku ngasih ke Bu Joni, dia bilang terima kasih sih, tapi pas dibuka, dia komentarnya nggak enak. Ya warnanya kurang cerahlah, ya bentuknya kurang pas, ya inilah, ya itulah. Aku ‘kan malah enggak enak hati,” cerocos temanku sambil cemberut.
“Aih… sudah, kok malah ngomongin orang,” kataku sambil tertawa.
Temanku hanya tersenyum. “Beda kalau aku ngasih kamu, kok kayaknya bahagia banget. Aku jadi merasa berarti dan ikut bahagia. Makanya kali ini aku ngasih kamu saja deh!”
“Sip, terima kasih banget ya, sering-sering saja nih,” ucapku bercanda.
“Gampang, siap,” jawab temanku sembari kami tertawa.
Aku geleng-geleng kepala. Benar kata al-Quran. “Jika kamu bersyukur, maka nikmatmu akan bertambah. Jika kamu mengingkari, maka sesungguhnya adzab Allah sangat pedih.”
Dari sini aku belajar cara menerima pemberian orang lain. Apalagi orang yang sudah memiliki niat tulus, jika kita menolaknya dengan berbagai alasan yang mungkin kita anggap baik, tetap saja akan membuat kecewa. Sebisa mungkin, sambutlah niat tulus tersebut dengan suka cita dan adab yang baik di hadapannya. Apalagi jika kita menerima sambil memberikan komentar negatif, pastinya akan menyakiti perasaan orang yang memberi.
Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, tetapi kita bisa menjadi seseorang yang juga mulia saat kita menjadi tangan di bawah, dengan menjadi penerima yang pandai bersyukur dan pandai menghargai niat tulus tangan yang di atas.
Tersenyumlah, wahai tangan yang di bawah! Karena kita tak selamanya di atas.
Editor: Lufti Avianto
Photo by Riz Mooney on Unsplash