Penulis: Sri Bandiyah
Pernahkah Anda ditampar? Bagaimana rasanya? Sakit dan malu? Iya, aku pernah. Dan hingga kini, tamparan itu masih jelas terasa. Kejadian itu menimpaku di bulan Ramadan tahun 2015. Tak hanya air mata yang menderas, bahkan hatiku berguncang. Tercerabut sudah segala ujub dan bangga.
“Bagaimana mungkin, seorang anak didik mendaratkan tamparan di wajah gurunya?” berontak hati dalam pilu.
***
Namanya Farah, siswi kelas empat SD itu telah lama menjadi yatim. Selain sekolah formal, ia juga nyantri di pondok tahfidz. Dalam hal pelajaran, Farah bukanlah siswi istimewa. Nilai-nilainya tidak pernah jauh dari KKM. Barangkali, kesibukan di pondok membuatnya tak punya banyak waktu untuk belajar.
Farah berwajah tirus dengan kulit berwarna coklat. Mata bulat dan alis tebal membuat kesan tegas terpancar. Tak banyak kata yang ia keluarkan. Si pendiam, begitu aku menuliskannya di buku kepribadian siswa.
Seseorang pernah memberiku nasehat, “Berhati-hatilah dengan orang pendiam. Karena, Si hemat kata sering menyimpan sesuatu yang tak terduga. Sesuatu yang bisa meledak seperti bom.”
Sebagai wali kelas, kudekati siswa pendiam itu. Trik dan jurus menyentuh hati siswa introvet adalah dengan banyak memberinya pujian. Kukatakan pada Farah, ia anak hebat dan mandiri. Bahkan kuacungkan jempol untuk kegigihannya ke sekolah dengan bersepeda sejauh dua belas kilo meter.
Tak banyak reaksi yang Farah berikan ketika aku memujinya. Hanya senyum malu-malu, atau justru diam dan menunduk.
Olehkarenanya, aku kaget ketika Farah ternyata menyimpan BOM untukku, kejutan dari siswa pendiam karena kelalaianku.
Saat itu ….
Ramadan hari kedua puluh. Pagi jam enam dua puluh menit, aku telah berdiri menyambut kedatangan siswa di pintu gerbang sekolah. Bukan karena rajin, tapi karena piket sepekan sekali. Tak lama kemudian, kulihat Farah memarkir sepeda. Perlahan ia mendekatiku, mengucap salam dan mencium tangan.
“Bu guru, nanti aku mau sodaqoh.” Tangannya terulur memberikan kresek hitam.
“Oya, taruh di meja saja ya ….” Tak kuperhatikan lagi wajah gadis yatim itu. Aku sibuk menulisi buku absen guru.
Tradisi bersedekah di sekolah sudah sangat familiar. Terutama hari Jumat. Akan ada lebih dari satu murid yang membagikan camilan untuk teman-temannya. Ini hari Jumat, bulan Ramadan pula. Waktu yang istimewa untuk bersedekah.
***
Ada tiga kresek di meja. Semuanya berisi camilan. Kubuka satu kresek, nampak puding berwarna pelangi menempati wadah plastik. Cantik.
“Ini siapa yang sodaqoh?”
“Mbak Fitri Bu guru ….” jawab beberapa anak serempak.
Plastik kresek kedua. Pizza mini berjejer. Warna orange dari irisan sosis berpadu hijau daun bawang dan putih keju membuat pizza mini itu eksotis.
“Pizza ini siapa yang sodaqoh?”
“Mbak Ame, Bu guru ….”
Plastik terakhir kubuka. Bungkusan plastik kecil berisi kurma dua butir menyembul.
“Yang ini, pasti Mbak Farah yang sodaqoh ya?” tanyaku dengan seulas tersenyum.
Tunggu! Sebelum kucampur camilan-camilan tadi, mataku menangkap kertas putih terselip di antara tumpukan kurma. Gegas kuambil kertas itu. Tulisan tegak bersambung tertata dengan rapi.
Bu guru maaf, jumlah sodaqohnya dua puluh. Pas dibagi untuk teman-teman. Saya tidak perlu dibagi. Untuk Bu guru besok insyaAllah saya berikan.
Aku tak mencerna kalimat maaf dari Farah. Itu kelalaian pertamaku. Segera kubagikan sedekah anak-anak. Setiap anak mendapat satu puding, satu pizza mini, dan satu plastik kecil berisi dua biji kurma. Kecuali Farah, tidak mendapat kurma yang ia bawa.
***
Hari berikutnya, setelah do’a pulang Farah menghampiriku.
“Ini kurma untuk Bu guru,” ekspresi wajah gadis penghafal Qur’an itu tak dapat aku tafsirkan maknanya.
Kuambil kurma yang ia ulurkan. Kuucap terimakasih dan kuhadiahkan senyum termanis padanya.
“Kenapa punya Bu guru ketinggalan?” tanyaku bercanda.
“Punya Bu guru baru aku dapat kemarin Maghrib,” ucapnya lirih sambil mencium tanganku dan pamit.
Hey! Apa maksud baru didapatkan kemarin Maghrib? Jangan … jangan! Kesadaran itu terlambat. Farah telah mengayuh sepedanya meninggalkan sekolah. Ini kelalaian berikutnya.
***
Ya Allah … hamba malu ….
Ya Rahman … tamparan ini ….
“Farah begitu semangat mendengar hadis yang Ibu baca. Memberi makan orang berpuasa itu pahalanya sama dengan orang yang berpuasa. Karenanya, ia bertekad memberi takjil.”
“Ia tak mungkin membeli takjil, maka disisihkanlah kurma jatah dari pondok. Tiga kurma jatah takjil, ia makan satu dan dua sisanya disimpan. Kemarin hari terakhir di pondok, ia minta ijin pada saya untuk tidak makan kurma saat berbuka. Katanya kurma itu untuk Bu Sri. Ia kagum dan bangga dengan Ibu.”
Penjelasan Ustadzah di pondok saat ingin kutemui Farah, membuat dadaku bergemuruh. Mata mulai memanas, pada akhirnya bulir bening yang sedari tadi ditahan meluncur juga, menyusuri lembah dan meninggalkan jejak basah pada kain kerudung.
Kelalaian terakhirku, terlambat menemui Farah dan memeluknya serta berbisik “Bu guru bangga padamu, Nak!”
Empat puluh kurma, ia tabung selama dua puluh hari. Jelas ini tamparan telak! []
Note: KKM = Kriteria Ketuntasan Minimal, batas minimal nilai suatu mata pelajaran sehingga dinyatakan lulus.
Editor: Lufti Avianto
Photo by Rachael Gorjestani on Unsplash